Rabu, 08 September 2010

Vadamekum Serat Centhini


Serat Centhini secara keseluruhan terdiri dari 722 pupuh, 31.837 tembang (bait), 3.467 halaman pada 12 jilid buku ukuran 15cm X 21cm. Tembang yang dipergunakan adalah: Asmaradana 64 kali – 3.117 tembang, Balabak 16 kali – 676 tembang, Dhandhanggula (Sarkara) 73 kali – 5.207 tembang, Dudukwuluh (Megatruh) 52 kali – 1.929 tembang, Durma 17 kali – 483 tembang, Gambuh 55 kali – 975 tembang, Girisa 30 kali – 897 tembang, Jurudemung 42 kali – 1.168 tembang, Kinanthi 65 kali – 3.505 tembang, Lonthang 9 kali – 470 tembang, Maskumambang 42 kali – 1.704 tembang, Mijil 46 kali – 2.563 tembang, Pangkur 40 kali – 1.469 tembang, Pucung 58 kali – 2.388 tembang, Salasir 12 kali – 522 tembang, Sinom 64 kali – 2.675 tembang, Wirangrong 37 kali – 1.089 tembang.
Serat Centhini mendapat pujian dari Denys Lombard (orientalis asal Perancis, pengarang buku Le Carrefour Javanais --yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Nusa Jawa Silang Budaya), mengatakan dalam bukunya sebagai berikut: "... jika setiap pupuh mengandung rata-rata 40 bait dan setiap bait 7 larik/baris, maka diperoleh 200.000 larik/baris lebih. Wiracerita-wiracerita Yunani karangan Homeros: Iliad dan Odyssey masing-masing hanya mengandung 15,537 dan 12.363 larik.

Serat Centhini dibuka pada Jilid-1, Pupuh 1, Tembang 1 (Sinom):

Sri narpadmaja sudigbya,
talatahing tanah Jawi,
Surakarta Adiningrat,
agnya ring kang wadu carik,
Sutrasna kang kinanthi,
mangun reh cariteng dangu,
sanggyaning kawruh Jawa,
ingimpun tinrap kakawin,
mrih kemba karaya dhangan kang miyarsa.

Artinya: Sang putra mahkota, berwilayah tanah Jawa, Surakarta Adiningrat, memerintahkan jurutulis, Sutrasna yang dipercaya, mengumpulkan cerita lama, keseluruhan pengetahuan Jawa, digubah dalam bentuk tembang, agar mengenakkan dan menyenangkan (bagi) yang mendengar.

Sedangkan penutupannya pada Jilid-12, Pupuh 708, Tembang ke 672 (Dandanggula):

Kadarpaning panggalih sang aji,
kang jinumput wijanganing kata,
tinaliti saturute,
tetelane tinutur,
titi tatas tataning gati,
sakwehnung kang tinata,
wus samya ingimpun,
ala ayuning pakaryan,
kawruh miwah ngelmuning kang lair bathin,
winedhar mring para muda.

Artinya: Didorong oleh keinginan Sang Raja*, yang diambil makna kata-katanya, diteliti urutannya, nasehat yang disampaikan, teliti tuntas teratur maksud tujuannya, semua sudah diceritakan, semua sudah dikumpulkan, baik buruknya perbuatan, pengetahuan maupun ilmu lahir bathin, diuraikan buat para kawula muda.

* Keterangan: Serat Centhini digagas (pada 1742 tahun Jawa, kira-kira 1814 Masehi) oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, salah seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, dan baru selesai ketika putra mahkota tersebut diangkat sebagai raja Surakarta dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwana V (diangkat sebagai raja pada 1748 tahun Jawa atau 1820 Masehi).

Sebagai penutup Serat Centhini atau semula berjudul "Suluk Tambangraras" ada pada pupuh 722, tembang ke 55 (Asmaradana):

Titi tamat ingkang tulis,
telas ingkang cinarita,
Seh Mongraga lalakone,
kongsi amadeg narendra,
kendhang tekeng pralaya,
kran Sunan Tegalarum,
pisah sumarenira.

Artinya: Sudah tamat tulisannya, selesai ceritanya, riwayat Seh Amongraga, sampai menjadi raja, terusir meninggalnya, diberi nama Sunan Tegalarum, terpisah makamnya.

Dari tembang pembukaan dan penutup, maksud dan tujuan penulisan Serat Centhini adalah untuk melestarikan Budaya atau Pengetahuan Jawa agar bisa jadi pelajaran buat generasi muda. Jadi, pada saat itu pun tampaknya sudah ada problem komunikasi (dan mungkin orientasi) antara orangtua dan orangmuda, hingga "perlu digagas" sebuah karya yang dioerientasikan untuk generasi muda. Dan memang, bahasa Jawa Serat Centhini pada waktu itu, sangatlah berbeda dengan semangat teks sastra jamannya yang penuh simbol dan metafora. Dalam Serat Centhini bahkan penyebutan perangkat kelamin lelaki dan perempuan bisa sangat verbal dan vulgar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar