Selasa, 14 September 2010

Dewi Drupadi Naik Ambulans

Ditulis oleh Sujiwo Tejo

Bukan kuntilanak bukan gendruwo. Rambut ikal selutut. Perempuan itu cuma' berdiri tengah malam nduk pinggir jalan. Tempatnya ndak jauh dari kamar mayat di Karangmenjangan. Tadinya konco-konco mbecak dan ojek cangkruk sekitar situ. Sekarang mereka satu-satu mulai mlipir menjauh. ''Soale lama-lama ta' lihat kok kaki perempuan itu ndak nyentuh aspal,'' bisik seorang tukang ojek sing ngaku bernama Zawawi Imron.
Bisik-bisik ojek lain menyambungnya, ''Minyak wanginya rodok-rodok bau melati gitu ya...'' Tukang becak yang dengar itu meralat. Pak jenggot ini sambil kepontal-pontal membawa radio kecilnya, siaran wayang Ki Panut Dharmoko dari Nganjuk, lakonnya Alap-alapan Dewi Drupadi. ''Hush...Ngawur awakmu,'' ralatnya, ''Bukan bau melati ini. Ini menyan...''
Wah, tambah cepat-cepatlah kaum pekerja malam itu meninggalkan sang perempuan. Angin dari arah kamar mayat sempat menggeraikan rambut dan syalnya ke arah Unair.
Ciiiiiiiiittttttttt.....!!!!!!
Kaum ojek dan pabecakan di sekitar Stasiun Gubeng itu sudah merinding kini mendadak kaget pula oleh derit suara taksi ujuk-ujuk ngerem. Jejak bannya sampai mbliyat-mbliyut di aspal. Taksi hampir masuk got. Setelah mandek, taksi seketika mundur cepat. Perempuan berambut selutut dengan dua koper itu naik. Taksi bablas.
Kini di atas becek sisa gerimis, tukang-tukang ojek dan becak masih mencium sisa bau kemenyan, melati, dan kembang kantil, di ruas jalan lengang, di suatu tengah malam, nduk Suroboyo.

***

Tukang taksi separo umur itu pasti butuh duit tenan sampai ndak sadar bahwa calon penumpangnya tadi mencurigakan. Malam-malam begini. Sudah larut lagi. Sendirian. Jalanan yang biasanya masih ditongkrongi satu-dua ojek dan tukang becak itu tadi sudah kosong lho. Ndak kayak malam-malam biasanya. Kok sopir ini nekad main tarik saja siapa pun yang nyegat. Mungkin karena anak tukang taksi ini sakit. Dia perlu ongkos dokter dan apotek. Mau minta sumbangan melalui koin buat si sakit takutnya masyarakat lama-lama bosen.
Dukun dari Sampang bilang, anak seusia TK itu sakit-sakitan karena namanya ndak cocok. ''Sabar Budi Yuwono itu ndak pas, Dik. Nanti kalau ada anggota Pansus DPR mbesuk ke sini yok opo? Iya kalau semua anggota dewan itu mau memanggil namanya lengkap. Kalau mereka males capek-capek lalu cuma mau manggil inisial Sabar Budi Yuwono? Masa' mereka sebut SBY? Hmm... Begini saja, Dik. Namai Heru Ardi Ibas-koro. Jaga-jaga kalau anggota pansus kurang sehat, energinya ndak sanggup menyebut nama panjang. Mereka cukup panggil inisial ''Hai''...Lebih mesra. Dan ''Hai'' juga lebih punya arti dibanding ''BO'' maupun ''SMI''. Salah-salah malah dikiro Sekolah Menengah Ibu-ibu...''
Begitulah pandangan akhir dukun kelahiran Ngawi ini. Lain lagi pandangan akhir dokter merangkap psikolog. Orang asli Nguling ini yakin, anak sopir taksi itu sakit gara-gara keseringan ndengar ibunya ngomel ke ayahnya. Memang istrinya selalu ribut siang malem non-stop persis warung Padang. Dan, kalau sudah ngomel buaaanter banget.
''Ya itulah risiko punya istri, Mas,'' dokter bertutur ke sopir taksi. Si sopir langsung tampak nglokro mendengar diagnosa dokter. Dokter tanggap. Hiburnya, ''Hmmm...Tapi ndak papa...Tahu beda antara istri dan senapan? Senapan masih bisa kita pasangi alat peredam.''
Ketika temuan fraksi dukun dan fraksi dokter-psikolog disampekno sopir taksi nang istrinya, sang istri yang berbaju biru itu tumben jadi tenang. Katanya, ''Sini ta' bilangi. Apa pun yang diutarakan fraksi-fraksi itu aku gak pateken. Itu baru temuan politik. Bukan temuan hukum. Hukumnya sudah jelas, hukum karma. Anak kita jadi sakit-sakitan begini karena karma Sampeyan. Sampeyan itu ngeluuuuuuuh terus kalau cari duit. Padahal aku kurang opo, Cak? Aku wis mbantu-bantu jadi tukang pijet. Sampek semua bapak-bapak di RW sini wis roto pernah tak pijeti...''
Gitu ceritanya kenapa kok malam ini pak sopir semangat sekali cari duit. Sampek ia ndak awas lagi jangan-jangan perempuan yang baru naik itu bukan perempuan biasa, tapi kuntilanak. Baru ketika melintas Jembatan Merah pak sopir yang gemar wayang itu tiba-tiba merasa aneh. Tumben-tumbennya ada penumpang tidak minta siaran radionya dipindah ke musik. Padahal radio taksi sedang muter wayang, acara kesukaan pak sopir. Perempuan itu malah ketawa-ketawa mendengar radio. ''Itu suara Bagong kan, Pak,'' tanyanya renyah.
''Yo mesti ae,'' kata suara di radio. Suaranya serak, tercekik namun tetap lantang. ''Mesti ae orang hukum ndak takut nang DPR soal hasil pansus. Mereka juga ndak ngrasa terikat, minimal ndak sungkan pada DPR sebabe DPR memang bukan rakyat. DPR itu cuma wakilnya. Wakil ya lebih rendah daripada yang diwakili, yaitu rakyat, pemegang kedaulatan tertinggi. Makanya aparat hukum merasa kurang dihargai, kurang diorangkan. Yang ngomong ke mereka belum rakyat sendiri, baru wakilnya. Rakyat masih terlalu padat jadwalnya untuk berkenan datang dan ngomong langsung. Ndak tahu kalau nanti-nanti...''

***

Waktu menunjuk pukul 02.10 dini hari.
''Betul kan Pak, tadi suara Bagong kan, Pak?'' tanya perempuan itu sekali lagi. Suaranya masih renyah, campur suara kuluman permen karet.
''Inggih, betul, Mbak, eh, Bu...''
''Hehe, Bapak ini...Ehmm...Panggil saja saya Drupadi...''
Sopir mengernyit.
''Bapak tahu Drupadi di wayang kan? Pasti mudeng soale Bapak penggemar wayang...''
Jelas si Bapak tahu. Drupadi, alias Dewi Kresna, adalah putri Raja Drupada di Pancala. Dia perempuan yang dinikahi rame-rame oleh Pandawa karena sejak remaja Pandawa telah bersumpah: ''satu untuk semua, semua untuk satu''. Aturannya, siapa pun tidak boleh memasuki kamar saudaranya yang sedang digilir oleh titisan Dewi Srigati, dewinya poliandri itu.
Di suatu malam tiba-tiba ada teriakan. Ada Pak Tani bengak-bengok minta tolong mengejar maling anak gadisnya yang akan membawanya kabur ke Arab Saudi jadi TKW. Arjuna yang mendengar jeritan itu spontan berpikir harus menolong petani. Pikirnya, kalau tidak ditolong, ini akan berdampak sistemik. Seluruh gadis di Kampung Amerta akan dilarikan ke Timur Tengah. Arjuna langsung mengambil senjata Pandawa yang semuanya disimpan di kamar sulung Yudistira. Kamar terkunci. Yudistira sedang main asmara dengan Drupadi. Arjuna mendobraknya. Gedubrak!!! Dengan senjata yang baru diambilnya kesusu-susu itu Arjuna langsung bablas mengejar maling dan berhasil meringkusnya.
Keempat anggota Pandawa plus Drupadi langsung menggelar sidang hak angket. Agendanya merembuk hukuman apa yang pantas untuk Arjuna karena melanggar kebijakan. Berani-beraninya Arjuna memasuki kamar saudaranya yang sedang digilir Dewi Drupadi. Akhirnya semua sepakat Arjuna tak perlu dihukum karena tujuan memasuki kamar yang ada Drupadi-nya itu mulia. Tiba-tiba sing dirasani muncul. Semua kaget. Drupadi malah sampai pingsan. Gara-garanya Arjuna menyatakan akan menghukum dirinya sendiri selama 12 tahun di tengah hutan.
Di dalam taksi, lewat tengah malam itu, dari jok belakang, tiba-tiba Drupadi njawil pundak sopir taksi. ''Pak?'' tegurnya. Pak sopir sangat kaget. Remnya dia injek tiba-tiba. Mobil sempoyongan berkelok-kelok hingga nyaris nabrak patung polisi. Sopir ngos-ngosan.
''Sampeyan itu lho dijawil wae kaget. Baru tukaran sama istri ta? Atau ngomong-ngomong soal Drupadi, Sampeyan marah-marah margo Arjuna ndak disalahkan malah menghukum diri sendiri...tapi manusia sekarang sudah disalahkan sama pansus masih ndak mau ngrumangsani, gitu? Sampeyan ngalamun bareng tak jawil kaget.''
''Bukan begitu Bu Drupadi. Saya sudah 20 tahun bawa mobil, tapi baru pertama naksi ya hari ini...''
''Lha opo hubungane. Saya itu tadi mau tanya Sampeyan tahu Jalan Century ndak? Makanya saya jawil. Naksi baru sehari, oke. Tapi sudah 20 tahun lho Sampeyan itu nyopir. Mestinya nggak kaget gitu nek tak jawil dari belakang...20 tahun pengalaman nyopir kok masih gampang panik...''
''Dua puluh tahun nyopir itu saya nyetir ambulans, Bu...'' (*)

Disadur sepenuhnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo Episode 28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar