Senin, 17 Januari 2011

Novel Roro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat: Kelokalan Jawa dalam Narasi Sejarah Versi Kaum Minoritas

Puji Retno Hardiningtyas

Abstrak
Dalam sejarah pemikiran dan polemik kebudayaan yang panjang di masa lalu, ternyata telah begitu jauh bersinggungan dengan sisi sensitif nasionalisme dan kejatidirian kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa.Salah satunya terwujud pada sastra yang memperlihatkan bentuk struktural dari situasi historis, yaitu novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, Centhini karya Sunardian Wirodono, dan Madam Kalinyamat karya Zhaenal Fanani. Dalam konteks itu, ketiga novel tersebut merupakan novel sejarah yang bersumber dari Babad Tanah Jawi (Roro Mendut), Babad Tanah Jawi dan Babad Demak (Madam Kalinyamat), dan Serat Centhini (Centhini).Konklusi harapan besar dari komitmen sejarah membuka pemahaman bagi pembaca awam sebab budayanya dapat mempertahankan kelestarian ‘seperangkat mitologi’ penuh daya pengaruh yang dapat menyusup ke dalam liku masyarakat Jawa. Unsur-unsur sejarah ditunjukkan dengan memunculkan tokoh-tokoh—yang berdasar sumber lain diakui sebagai pelaku—sejarah dan peristiwa-peristiwa sejarah, seperti Hadiwijaya, Sultan Agung, dan Panembahan Senapati. Bahkan, tokoh wanita, seperti Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, Tambangraras, Centhini, Ratu Kalinyamat, dan Sarindil merupakan tokoh-tokoh yang berperan dalam sejarah Jawa, bahkan hidup dalam adat dan budaya Jawa. Berdirinya kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram merupakan peristiwa sejarah yang tidak mungkin dipungkiri.
Dengan segala kekhasannya, Y.B. Mangunwijya, Sunardian Wirodono, dan Zhaenal Fanani merekam situasi dan dinamika budaya masyarakat Jawa. Berbagai macam ungkapan budaya Jawa terekam dalam berbagai genredan bentuk karya sastranya. Betapa menyaksikan secara konkret bahwa selama ini telah terjadi paradigma ketidakadilan besar dalam dialektika kebudayaan yang dialami oleh masyarakat Jawa, khususnya perempuan kala itu dan para penguasa yang dikalahkan oleh penguasa lainnya dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Dalam hal ini, kaukus problematika yang terjadi di antaranya disebabkan: pertama, sikap perempuan Jawa dalam memaknai eksistensi kebudayaan diri perlu direvitalisasi; kedua, sikap laki-laki yang telah demikian memaksakan dan melegitimasi posisi dirinya sebagai ordinat hegemoni bagi semesta kebudayaan Jawa, dalam hal ini maknanya secara substansial, sebenarnya adalah potret dari pemimpin keluarga Jawa; dan ketiga,ketidakadilan yang harus ditanggung turunan penguasa kerajaan yang kalah dalam peperangan sehingga muncul penguasa-penguasa baru yang melahirkan kerjaan-kerajaan baru di Jawa. Perdebatan yang timbul dalam paradigma multikulturalisme melahirkan sebuah pertanyaan: sejarah dan kebenaran versi manakah yang akan didengar, versi kaum mayoritas atau minoritas? Narasi macam apa yang disuarakan tokoh kaum minoritas? Pertanyaan-pertanyaanini akan terjawab melalui telaah novelRoro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat sebagai bentuk kekuatan budaya bangsa yang multilingual.
Kata kunci: budaya Jawa, sejarah, eksistensialisme religius, Roro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat

1. Pendahuluan
Ketika membicarakan masalah apa yang dimaksud dengan istilah ‘novel’ dalam konteks Indonesia. Terkesan bahwa dalamesai Foulcher (dalam Will Derks, 2008:408—409) istilah ini digunakan agak terbatas, kurang lebih suka menyebutkan ‘novel seni’: pemaparan yang pada pokoknya panjang merupakan susunan, bercerita, berisi penjelasan, dicetak dalam bentuk buku dengan aura seperti abad ke-19. Sastra-sastra Barat,yaitu sastra-sastra postkolonial itu penuh dengan novel-novel seni seperti itu—sesuatu yang bisa membantu menjelaskan kenapa beberapa tahun yang lalu The God of small things karya Arundhati Roy memenangkan hadiah Booker Prize yang bergengsi itu. Dalam sastra Indonesia, novel-novel seperti itu hampir tidak ada. Di sini patut disinggung bahwa dalam penelitiannya mengenai novel berbahasa Jawa, George Quinn mengetengahkan citra yang berbeda mengenai genre ini. Yang penting adalah karakterisasi Quinn bahwa novel-novel ini sangat berorientasi lisan. ‘Sejumlah penulis Jawa rupanya merasa bahwa bisunya prosa merupakan hal yang sangat sukar diterima. Secara singkat Quinn membicarakan sebagian cara yang digunakan oleh para penulis dalam mengatasi kegelisahannya dan menekankan bahwa dalam banyak hal ‘kehadiran suara seorang pencerita praktis dijadikan norma’ (Quinn, 1992:95 dalam Will Derk, 2008:409).
Kehadiran novel warna lokal pada dekade 1980-an pernah menjadi perbincangan yang cukup ramai dalam Kongres Bahasa Indoensia V tahun 1988. permasalahan yang diangkat ke permukaan adalah tentang pemakaian kode ucap yang tumpang tindih, yaitu antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Ragam sastra warna lokal ini terutama didominasi oleh para pengarang dari Jawa. Munculnya pengarang-pengarang yang berasal dari Jawa, seperti Linus Suryadi A.G. (Pengakuan Pariyem, 1980), Umar Kayam (Para Priyayi, 1992), Y.B. Mangunwijaya (Rara Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri), Arswendo Atmowiloto (Canting, 1987), Bakdi Soemanto (Dari Kartu Natal ke Doktor Plimin, 1979) oleh Sumardjo (1980) pernah disinyalir sebagai renaisance kebudayaan Jawa (Santoso, 2004:124). Bahkan, sekarang tahun 2009 muncul pengarang dari Jawa yang mengangkat sastra warna lokal dengan latar belakang sejarah kerajaan Islam di Jawa, yaitu Sunardian Wirodono (Centhini) dan Zhaenal Fanani (Madam Kalinyamat) yang dapat dikategorikan sebagai sastra marginal karena posisinya berada di batas antara sastra daerah dan sastra Indoneisa.
Dalam kaitannya dengan novel warna kelokalan budaya daerah, terutama Jawa dapat dilakukan dengan analisis wacana, khususnya kaitannya dengan komposisi fakta-fakta sosiokultural mengandaikan keterlibatan total kondisi-kondisi sosiohidtoris di sekitarnya. Artinya, wacana, termasuk unit-unit yang lebih kecil, seperti kata dan kalimat, dipahami sebagai unsur-unsur naratif, yang secara genetis dapat ditelusuri melalui interaksi sosial, yaitu sebagai manifestasi aktivitas kultural (Ratna, 1999:9). Hal ini terlihat pula pada novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat, sebagai sublimasi ontologis wacana ke dalam teks fiksional pada sisi yang lain dapat dijelaskan melalui asumsi-asumsi teoretis yang sudah lama dikembangkan oleh kelompok strukturalis. Dengan demikian, tokoh-tokoh, plot, tema, dan sejumlah unsur-unsur pembangunnya, sesungguhnya diambil melalui fakta-fakta kehidupan sosial, latar belakang kehidupan kerajaan-kerajan di Jawa. Secara garis besarnya, dapat disimpulkan bahwa wacana naratif dalam penulisan sejarah novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat adalah pemahaman mengenai fakta-fakta kultural Jawa dengan mempertimbangkan secara intens hubungan antara cerita dengan penceritaan antartokohnya.
Sebagai medium komunikasi, novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat menampilkan identitas orang Jawa dan adat-istiadat yang melatarbelakanginya. Di satu sisi, para pengarang begitu tertarik pada teks-teks sejarah, tidak mengherankan kalau di antara karya-karya sastra lahir. Dengan mengubah sedikit sudut pandang dan penokohan dalam Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat sama sekali baru, Y.B. Mangunwijaya, Sunardian Wirodono, dan Zhaenal Fanani berani mentransformasi dan mengekspresikan budaya Jawa yang melambangkan ambivalensi sejarah.
Pokok pembicaraan di sini memngambil persoalan tentang sesuatu yang berkaitan dengan kehadiran novel sejarah munculnya kerajaan-kerajaan di Jawa, khususnya budaya Jawa, sejarah dan kebenaran versi manakah yang akan didengar, dan versi kaum mayoritas atau minoritas? Atau narasi macam apa yang disuarakan tokoh kaum minoritas? Secara sederhana kajian ini mengambil perspekstif analisis wacana filosofis dan budaya Jawa. Dengan demikian, pilihan tema dan pendekatan diharapkan memberikan kontribusi yang penting dalam melihat permasalahan kesastraan berkaitan dengan formasi sejarah, budaya, filosofi, dan eksistensialisme perempuan Jawa novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat.

2. Eksistensialisme Religius
Eksistensialisme (bahasa Latin: existentio) merupakan cabang filsafat yang lahir pada abad ke-20 mengenai wawasan manusia tentang dirinya dan mengungkapkan keadaan kesadaran secara mendalam (depth conciousness) tentang kemungkinan dan kemerdekaan sebagai persoalan terhadap hakikat manusia. Eksistensialisme merupakan gerakan kultural akibat hasil gemilang, yang telah mengisolasi manusia dari eksistensi kemanusiaan. Eksistensi selalu menjulangkan kebebasan manusia. Kebebasan tersebut sangat individual. Dalam kebebasannya manusia bertanggung jawab penuh atas implikasi perbuatannya. Mansuia yang sadar akan eksistensinya juga sadar bahwa dirinya bebas, dia harus memikul semua tanggung jawabnya. Hal inilah yang paling ditekankan oleh Sartre dalam karya-karyanya, sastra ataupun nonsastra. Bagi Sartre antara filsafat (maksudnya eksistensialisme) dengan sastra berkait erat satu dengan yang lain sebab keduanya merupakan teknik pengungkap diri yang paling konkret (Lathief, 2008:30).
Sementara itu, karya sastra eksistensialisme yang religius secara luas dapat didefinisikan sebagai karya sastra religius yang masih mengandung dimensi nilai-nilai pemikiran mendasar berupa keterlibatan manusia dengan segala realitas kehidupan dan problematika eksistensial dan berserah diri pada Tuhan (Latief, 2008:172). Eksistensi merupakan kebebasan telah dicabut dari posibilitasnya untuk dapat mengubah, mengisi, dan memberi nilai-nilai sendiri kepada eksistensi dirinya dan eksistensi mungkin dapat teralang untuk berhadapan dengan trandensi. Ini terlihat dalam karya Sunardian Wirodono berikut.

“Siapa yang mengingat-ingat kematian dalam kehidupannya, dialah yang bisa merasakan mati dalam hidup,”kataSyekh Amongraga kemudian mewejang. “Mengingat kematian bahwa hidup akanlah berakhir, menuju pada Allah, dan karena itu kita mempersiapkan dengan laku kebajikan. Mematikan segala napsu keburukan yang merusak tubuh, itulah hidup yang terbebaskan, hidup yang mulia sebab hidupnya akan terasa nikmat penuh syukur karena jika pun mati ia akan menyatu dalam Dzat Allah ....” (Centhini, 2009:286).

Ungkapan di atas akan dapat mencapai eksistensi kemanusiaannya jika tokoh perempuan mampu memaknai kehidupannya sendiri. Yang dimaksud adalahsecara pribadi dan rohani sebagai manusia mendapat kesempatan untuk merenung dan berkontemplasi tentang hakikat insan yang berada di tengah-tengah kehidupan. Di samping sebagai pribadi yang bersosialisasi dengan makhluk lainnya, manusia sebaiknya sadar secara rohani untuk memikirkan hubungan vertikal dengan Tuhan. Manusia sebaiknya memikirkan kebebasan untuk memuliakan hidup dan kematian.Pada dasarnya hidup dan mati akan menyatu dalam diri manusia jika manusia bisa menikmati penuh syukur. Kesadaran yang berpusat pada sebuah permasalahan eksistensial. Seorang manusia tentu akan melakukan perjalanan menuju dunia transendensi. Suatu saat ketika waktunya tiba, manusia bebas bertemu dengan Tuhannya.
“Nyi Ratu! Maafkan Kangmas ... Sepanjang hidupku, Nyi Ratu adalah kebahagiaan dan kebanggaanku. Aku berterima kasih atas semua itu. Nyi Ratu tentu tahu bagaimana cintaku kepada Nyi Ratu. Kalau boleh aku meminta, aku ingin hidup selamanya bersama Nyi Ratu. Tapi, semua manusia harus menjalani takdir kematian. Yang akan menjadi penyesalan ketika takdir itu datang, masih ada sesuatu yang belum terselesaikan! Maka, kalau aku meminta kepada Nyi Ratu untuk meninggalkan tempat ini, tak lebih karena masih ada hal yang belum selesai! Dan, aku percaya Nyi Ratu akan menyelesaiakannya ....” (Madam Kalinyamat, 2009:58)

Tokoh-tokoh dalam novel Madam Kalinyamat tersebut telah sadar melihat kehidupan yang sudah digariskan dan ditentukan oleh Tuhan. Akan tetapi, ia tidak tahu kapan dan siapa yang akan menemani kematiannya. Manusia terikat dan bergantung pada yang konkret dan empiris sehingga manusia mempunyai kehidupan yang terbatas, tidak menyeluruh, dan tidak sesuai dengan kehidupam manusia sebagai makhluk teomorfis. Manusai menjadi ketergantungan kepada aktualitas dalam memperoleh kehidupan dan mencari eksistensi manusia dihadapan transensensi yang menjelmakan kehidupan dan kematian menjadi manusia yang bersifat religius.
Karya sastra eksistensialisme yang religius secara luas dapat didefiniskan sebagai karya sastra religius yang masih mengandung dimensi nilai-nilai pemikiran mendasar berupa keterlibatan manusia dengan segala realitas kehidupan dan problematika eksistensial itu sendiri. Sebuah tantangan untuk bertemu dan berserah diri kepada Tuhan. Namun, begitu problematika eksistensial sering kali memojokkan manusia ke dalam sikap pesimisme-psikologis, hal itu pun disadari manusia bahwa semua itu merupakan pemberian dan kehendak Tuhan. Jika eksistensi kehidupan manusia ini dihadapi dengan pembrontakan (la revolte), seperti tokoh Barat Nietsche, Sartre, dan Camus dalam karya mereka, justru Y.B. Mangunwijaya, Sunardian Wirodono, dan Zhaenal Fanani menghadapi dan memberi eksistensi kehidupan melalui Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat sebagai karya yang penuh penyerahan diri secara total para tokoh perempuannya, seperti Rara Mendut, Tambangraras, Chenthini, dan Madam Kalinyamat.Berikut eksistensialisme yang religius terlihat dalam novel Rara Mendut dengan tokoh Rara Mendut yang memiliki kekuatan spiritual dan kekebasan menyelimuti perempuan menunjukkan pertentangan-pertentangan di dalam dirinya.

... Rara Mendut bersembah, lalu mengusapi luka-luka wajah itu dengan pucuk kainnya, sambil merintih, “Paduka, apabila Allah Mahakuasa sekaligus Maha Al Rakhman Al Rakhim mengapa keagungan ningrat manusia tidak sudi bermurah hati? Mengapa sekeras itu Yang Mulia bersikap terhadap kami?
Wiraguna membentak, “Mengapa? Hus, justru karena Wiraguna bukan Allah!”
...
Berlinang-linang Mendut mengucapkan spontanitas wanita yang bernaluri memelihara dan menjaga kehidupan.” (Rara Mendut, 2009:276—277)

Sastra transendental merupakan pernyataan hidup yang lebih dari segalanya dan dipengaruhi oleh gerakan roh.Keindahan dan kebenaran menyatu dalam simbol dengan ruang gerak yang tidak dibatasi oleh percepatan indrawi manusia. Akan tetapi, perempuan mampu bertahan dalam posisi apa pun, meskipun dalam kondisi lemah atas kehidupannya. Rara Mendut membalikkan tatanan konsep tanggung jawab dirinya dengan manusia, terutama kepada Tuhan, ia pasrahkan hidup dan matinya manusia. Oleh sebab itu, secara rohani di mana pun ia berada tidak merasa terganggu keasadarannya yang terpusat untuk kembali kepada Tuhan, yaitu permasalahan eksistensial. Dengan demikian, Rara Mendut mengetahui dan memberi nilai dan makna terhadap kehidupan, akhirnya menyadari kekurangan-kekurangan yang mendasar, menuju dunia transendensi dan bertemu dengan Tuhannya.

3. Budaya JawaRara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat
Novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamatini adalah novel yang berlatar belakang budaya Jawa, bermuatan gagasan filosofis kehidupan para tokoh perempuannya. Di Jawa, perababan Islam mulai berkembang terutama sejak berdirinya kerajaan Demak pada abad ke-13. Salah satu hasil yang menonjol dari Islam awal tersebut adalah bermunculan sastra mistik (Graaf dan Pegeaud, 1989:31 dalam Salam, 2004:37—38). Akan tetapi, pengaruh peradaban Hindu dan kepercayaan tradisional Jawa lainnya, mistik di sini cenderung heterodoks dan panteistik. Lambat laun ciri heterodoks ini berkurang karena semakin derasnya pengaruh dari Arab dan Persia, yaitu karya-karya Al Ghazali, Al Hallaj, dan Ibn Arabi yang dalam banyak hal mengakomodasi lokal Jawa.
Kebudayaan Jawa yang muncul sebagai akibat penyebaran agama Islam Jawa dan tema ini menjadi salah satu dasar lahirnya novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat. Penyebutan tersebut tidak terlalu berlebihan karena dengan derajat dan intensitas yang berbeda setiap agama selalu mengalami lokalisasi sesuai dengan nilai-nilai budaya setempat.
Hal pertama yang dapat dilihat dalam ketiga novel tersebut adalah “agama”. Istilah ini bercokol sebagai cara untuk memberi tahu pada pembaca bahwa “budaya” apa yang ada di Jawa, yaitu khazanah kepercayaan yang nyaris tidak berubah, yang dapat menjelaskan keseluruhan ini sebagai interaksi Budhisme, Hinduisme, Islam, dan (sering enggan diakui) Kristen (Vickers, 2009:137). Oleh karena itu, membahas agama, sejarah tidak perlu menghadapi persoalan epistemologis dalam kerangka konseptualnya. Tentu dimensi religius merupakan bagian penting dari kehidupan tokoh-tokoh dalam novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat.
Cerita tentang Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya merupakan salah satu permata dalam kesusastraan Jawa setelah masuknya Islam, bukan karena bentuk sastranya, tetapi makna sejarahnya. Rara Mendut-Pranacitra pernah dibelandakan dan dipranciskan, cerita ini belum, bahkan juga belum diindonesiakan. Penulisan dalam bahasa Jawa atau tepatnya Babad Tanah Jawi, terpaut 150—200 tahun setelah kejadian yang sesungguhnya, suatu jarak waktu yang nisbiah lama dan terlalu berlebihan sehingga melahirkan cerita-cerita lisan dengan berbagai versi, versi Mataram dan versi Mangir, versi istana, dan versi desa. Untuk konteks ini, perhatikan kutipan berikut.
Meledaklah gamelan dan menggeloralah tetabuhan penuh gairah. Rara Mendut, yang selama Penata Acara berpidato tadi berkacak pinggang seolah-olah acuh tak acuh, tetapi tegang berdebar-debar dari dalam, tiba-tiba melempar sampur -nya, sekaligus melemparkan keragu-raguannya yang terakhir. Bagaikan elang menyambarlah Mendut masuk lingkaran pendapa dan menari dengan gesit, .... (Rara Mendut, 2009:85)

Tampaknya budaya Jawa, seperti gamelan, tari-tarian (tayuban), dan bangunan menjadi alasan para pengarang mencipta karya sastra sehingga faktor kedua ini juga mendominasi cerita dalam novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat. Selain itu, pengarang berasal dari latar belakang Jawa. Orang Jawa biasa menerima berbagai penetrasi agama dari luar dan hal ini berpengaruh banyak bagi dinamika dan sikap masyarakat Jawa pada umumnya walaupun tentu saja tidak harus dipukul rata untuk “merumuskan” sikap budaya, agamanya, dan implikasinya dalam mengapresiasi kehidupan sehari-hari.
Entah bagaimana awal-mulanya, kemudian wilayah itu menjadi seperti sekarang. Ya, Wanamarta wilayah yang subur dan makmur. Beraneka jenis pepohonan, tetumbuhan, selengkap-lengkapnya menyediakan diri untuk orang-orang Wanamarta. Aneka macam jenis padi, buah-buahan, umbi-umbian, menjadi santapan bagi orang-orang desa. Bahkan, ia menjadi wulu-wetu, hasil bumi yang menjadi penghasilan bagi penghidupan. Aneka pepohonan yang besar, menyediakan kayu-kayu yang kokoh, bagi kerangka rumah tinggal dan segala jenis bangunan penyangga kehidupan mereka. (Centhini, 2009:433)

Gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa realitas budaya dalam novel Centhini, berupa kehidupan desa—sekitar Desa Wanamarta-- dengan bangunan-bangunan fisik simbol strata masyarakat dengan adat dan tata karma yang mengikat. Sementara itu, kehidupan orang-orang desa yang sopan dan santun menunjukkan sikap dan kebiasaan masyarakatnya. Meskipun perilaku sosial, budaya, agama, kemasyarakatan, dan bangunan dan kondisi alam diungkap secara langsung, menambah lengkap realitas budaya setempat. Kehidupan masyarakat desaa, khususnya keturunan Ki Bayi Panurta, banyak dibingkai dengan berbagai adat dan budaya Jawa yang tertata rapi.
Rumah-rumah penduduk, menunjukkan tingkat ekonomi mereka yang mapan.
Sebuah desa yang gemah ripah loh jinawi.
...
“Itu rumah penghulu Basorudin,” Ki Nuripin menunjuk rumah gedong besar.... (Centhini, 2009:40—41)

Kutipan di atas, menunjukkan bahwa tidak semua daerah terpencil di sekitar kerajaan-kerajaan di Jawa mengalami kondisi yang terpuruk. Budaya dan adat Jawa yang kental menjadi ciri khas dalam novel Centhini karya Sunardian Wirodono ini. Tidak berbeda dengan novel kedua novel tersebut, dalam novel Madam Kalinyamat juga menghadirkan adat dan budaya Jawa yang dominan dengan segala bentuk bangunan, terlihat kediaman Sultan Prawata, Kadipaten Demak, sebagai cikal bakal Kerajaan Demak berikut ini.

... Ia sedikit terhenyak manakala matanya melihat keris di peraduan sang sunan.... (Madam Kalinyamat, 2009:25)
Setelah memberi tahu akan kedatangannya, salah seorang utusan Sunan Kudus meminta Adipati Jipang menunggu di pendapa. Didampingi Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi, dan Raden Danang Sutawijaya, Adipati Pajang memasuki pendapa. Ternyata, Arya Penangsang telah duduk di sana. Adipati Jipang ini duduk dengan mengenakan pakaian kebesaran adipati. (Madam Kalinyamat, 2009:95)


4. Orientalisme Tokoh Perempuan dalam Budaya Jawa
Sartre (dalam Hassan, 1992:140—150), mendukung ajaran tentang kebebasan mutlak, akhirnya harus berhadapan dengan persoalan manusia. Di samping itu, kebebasan itu bertanggung jawab tanpa batas dan kesadaran pada tubuh sebagai pusat orientasi sehingga mengukuhkan manusia sebagai eksistensi. Konsep eksistensialisme itu sebagai berikut.

Tokoh Rara Mendut, Tambangraras, Centhini, dan Ratu Kalinyamat dalam konteks eksistensi untuk memaknai kehidupan diwujudkan melalui kebebasan berada-pada-dirinya (bentuk ini tidaklah diciptakan, tanpa maksud dan selamanya de trop, penuh, tanpa diharapkan, dan tidak merupakan penyebab bagi dirinya sendiri) dan berada-bagi-dirinya (bentuk ini terbuka dan tidak masif, melainkan retak) (Lathief, 2008:10—11). Artinya, bereksistensi secara tertutup, untuk menutup dirinya sendiri, masif; dan manusia dianggap sebagai manusia yang cerdas dan dapat memilih Tuhan yang dia khayalkan sendiri sebagai objek pemahaman, yaitu menyadari kebebasan keberadaan manusia dalam berpikir, bertindak, memilih dan bertanggung jawab, dan kecemasan. Dalam hal ini, tokoh perempuan berpikiran kebebasan dan pembrontakannya adalah pola pemikiran untuk memaknai dan hakikat hidup sebagai perempuan yang senantiasa merdeka.

4.1 Berada-Pada-Dirinya dan Berada-Bagi-Dirinya
Rara Mendut adalah perempuan pesisir yang hidup dengan segala kekebasannya, tidak mempermasalahkan apakah pekerjaan itu pantas dilakukan oleh seorang perempuan atau tidak? Yang pasti ia tidak pernah membedakannya. Sebagai bentuk pemikirannya, Rara Mendut berperan sebagai manusia yang berada sebagai manusia yang memiliki kekebebsan yang otonom. Otonom inilah yang menjadikan Rara Mendut sebagai manusia bertransendensi diri sendiri, dapat mengatakan ya atau tidakterhadap segala sesuatu yang dihadapinya. Rara Mendut bukan terletak pada eksistensi ini, ia berkehendak yang dapat menerobos baik ada-nya ataupun bukan ada-nya dirinya.
“Ayo, bangun! Ini waktu kerja! Tidak untuk tidur seperti bayi benggala ,” ejek Siwa tua. Tertawa gadis itu bangun. Sesudah membenahi kainnya dan membereskan kembalirambutnya yang kacau ke dalam ikatan yang sekarang agak tahu aturan, ia mendekati Siwa-nya, menangkap pergelangan tangannya dan merayu, “Wa, aku ikut kau terus sajalah.”
...
“Ikut berlayar cari ikan tadi. Jangan suka menggerutu.”
“Ya, itu kan dengan sendirinya.”
“Mana dengan sendirinya. Gadis ikut cari ikandi laut.”
“Memasak saya bisa juga. Mencuci, membersihkan rumah juga bisa. Nanti Paman dan Bibi saya manja. Tapi saya boleh tinggal di sini saja, ya ... Ayo, Wa, mbok bilang ya, begitu. Kan mudah. Cuma bilang: ya! Baik! Begitu .... (Rara Mendut, 2009:5—6)

Eksistensi manusia seperti Rara mendut di antara tidak berada dan berada. Rara Mendut berada dalam suatu dentik dengan tubuhnya, tetapi juga lebih daripada hanya tubuhnya saja. Aktivitas dan kejiwaan Rara Mendut menunjukkan penjelmaan berada yang otonom. Rara Mendut dan aku adalah pusat eksistensi. Sebagai perempuan Rara Mendut adalah seorang memiliki prinsip, seorang perempuan Jawa yang baik, bertanggung jawab, tetapi juga lemah. Sifat perempuan, kecantikannya, kepatuhannya, kesetiaannya, dan keterampilannya dalam “pekerjaan perempuan” di rumah ataupun di luar, membuat laki-laki mudah jatuh hati padanya. Sebagai perempuan bebas, ia tidak menggantung segala kebutuhannya kepada laki-laki. Tokoh Rara Mendut menegaskan pengakuan dirinya sebagai individu yang selalu berusaha mencapai kehidupan dengan segala keakuannya.
Terserah. Tugas yang dibebankan negara kepadanya di Pati telah ia selesaikan dengan sebaik mungkin walaupun mahal biaya yang harus dibayar oleh Mataram karena peristiwa Retna Jumilah dahulu itu. Sejak itu Pati begitu dikecewakan sehingga selamanya telah menarik kembali persahabatan dengan Mataram. Senapati diberontak oleh Adipati Pragola, saudara ipar Senapati, tiga kalo sembilan tahun yang lalu sehingga pasukan-pasukan Pati sudah sampai di Sungai Dengkeng dekat Prambanan. Sekarang putranya, Pragola II-lah yang melawan kedaulatan saudara kemenakannya, Susuhunan Mataram. Benar, Pragola yang muda ini pun telah kalah dan seluruh kota serta puri Pati sudah menjadi karang merah dibakar musnah. Tetapi korban dari pihak Mataram banyak sekali juga. Dan lihatlah, tengah-tengah puing arang hangus itu, siapa berdiri di sana tegak tak tertundukkan? Sesosok gatra dan citra indah yang serba melawan, Rara Mendut, sasmita para dewata. Sepancaran watak yang ternyata mampu mengokohkan jiwa Wiraguna yang akhir-akhir ini sering goyah juga, teristimewa pada saat-saat, kapan ia diperingatkan oleh getaran tangan bahwa Sang Wiraguna sudah melampaui batas hari-hari kematangannya dan ditunggu oleh jingga senja. Pertarungan melawan cakra saat hari tua, bukankah itu medan laga yang jauh lebih sulit diatasi dari pada peperangan mana pun? (Rara Mendut, 2009:60)


Eksistensi Rara Mendut pun bergerak di antara dua kutub, antara tidak berada dan berada.Adanya pandangan keberadaan perempuan sebetulnya lebih jauh dari sekadar pelengkap dalam rumah tangga dan tidak pula sebagai pemenuhan napsu gengsi ataupun syahwat penguasa. Begitu pula dengan konsep kesucian perempuan yang dipandang sebagai pengabdian tulus kepada suami dan keluarga.Keteguhan hati Rara Mendut dalam mempertahankan jati diri sebagai perempuan suci yang terhimpit hegemoni penguasa. Rara Mendut tidak menyerah meski pada akhirnya harus bersimpuh di hadapan penguasa dan menjadi selir. Rara Mendut masih menganggap dirinya adalah suci, meskipun harus menyerahkan galih karena terpaksa pada penguasa atas fisik dirinya. Bahkan, Rara Mendut berteguh hati saat memilih opsi dalam kehidupan merupakan bagian dari eksistensialisme. Hal yang mebuat Rara Mendut adalah simbol perempuan sebagai impuls dari salah satu pihak (kaum laki-laki) menimbulkan respons pada pihak lain secara dialektis, kendati tetap tanpa kaidah kausalitas.
Rara Mendut merupakan salah satu penceritaan stream of consiousness atau interior monoloque, yaitu ekspresi pemikiran yang intim, sublimistis, kematian personal, dan segala sesuatu yang berhubungan dalam bentuk dekat dengan kehidupan bahwa sadar, ditulis oleh pengarang dalam bentuk diskontiunitas atau progesi tidak logis. Rara Mendut, novel yang menampilkan terutama relasi antartokoh dan dunia interaktif, tetapi indifference. Sebagai tampilan sensasi absurd, yaitu suatu atmosfer yang datang melalui pikiran dan perasaan, mengandung kontradiksi dan kemustalihan. “Manusia bebas, manusia adalah kekebebasan” Sartre membuat manusia menjadi master of situation. Seperti Rara Mendut yang akhirnya menemukan kebebasan dengan kematian, yang terjadi ketika antarmanusia, Pranacitra dan Wiraguna, terdesak dari manusia lain, mengancam kebebasannya atau membuat orang lain sebagai objek yang baku.
Serangan kilat Wiraguna benar-benar menentukan. Pranacitra tergelimpang di depan Rara Mendut walaupun masih sempat menikam Wiraguna, yang terampil mengelakkan serangan. Wiraguna mengamuk untuk kedua kalinya dan penuh napsu menikamkan kerisnya ke arah dada Pranacitra. Tetapi, pada saat itu Mendut maju spontan bermaksud membela kekasihnya. Tanpa segaja keris Wiraguna menusuk jantung Mendut yang rebah di atas kekasihnya. (Rara Mendut, 2009:277—278)

Sementara itu, dalam usaha mencari jati diri, sepakat atau tidak, perubahan segala nilai, mulailah tokoh Tambangraras dan Centhini mengenal rasa sangsi akan makna dan arti dunia, juga makna dan arti kehadiran diri sendiri. Sebagai manusia, kepercayaan kepada Tuhan pun mulai mendekat dan bersamaan dengan itu muncul keinginan manusia untuk meraih kebebsan yang mutlak, manusia agung. Akan tetapi, jalan baru itu tidaklah mudah, manusia seperti Tambangraras dan Centhini akhirnya menemukan dirinya dalam ketidakpastian, kebingungan, dan kesepian. Maka, Tambangraras dan Centhini menjadi mansuia dan seorang yang mencari apa yang dicarinya, seperti kutipan berikut.
Memang apa pekerjaanku? Mengintip sepasang pengantin? Itu pekerjaan yang tidak masuk akal.
Tapi, yang tidak masuk akal itu telah kujalani untuk beberapa hari ini. hampir selapan hari atau tujuh pasaran lewat.
Yang menarik hatiku hari-hari ini, justru apa yang akan terjadi pada Syekh Amongraga dan Denayu Tambangraras. Ini bagian yang tidak kuberitahukan pada Nyi Malarsih, juga tentu saja kepada yang lain-lainnya. (Centhini, 2009:418)

Bentukperistiwa yang akan terjadi pada diri sendiri, manusia sendiri belum bisa menakarnya, apalagi untuk manusia lain. Centhini merupakan simbol perempuan yang memiliki revolusi batin, pergulatan mencari jati diri yang telah didengungkan oleh Sekh Amongraga sebagaian belum ia temukan. Persoalan hidup dan kehidupan yang selalu dihadapkan pada sebuah kebimbangan, kecemasan, dan kegamangan merupakan konflik batin yang melelahkan. Namun, Centhini tidak henti-hentinya dalam pencarian jati diri. Memang aliran eksistensialisme merupakan perdaulatan diri manusia secara mutlak sehingga hal tersebut pun memengaruhi ciptaannya. Sunardian Wirodono memakai “alat” eksistensialisme sebagai tujuan untuk menuangkan gagasan yang mendarah daging.
Novel Centhini merupakan karya yang barangkali menghadirkan Islam dan tidak mengatur kesastraan secara terperinci, tetapi terus mencipta dan berkembang untuk mencari yang baru. Berikut kutipan yang menggambarkan ketidaktahuan untuk mencapai rahasia pribadi melalui Islam pada tokoh-tokohnya.
“Tak boleh tidak harus mengetahui, yang tiada kelihatan, tiada tahu kemuliaan. Dalam kitab Ihya’Ulumuddin diingatkan, mereka yang saling berebut ilmu, utamakan mengetahui diri pribadi, mengetahui Tuhan Allah karena dengan demikian kau akan sampai pada kesejatian. Mengetahui kehadiran diri kita, sebagaimana telah disebut pula dalam hadits, Dinda. Itulah awal mula keberadaan manusia. (Centhini, 2009:448)

Ungkapan yang disampaikan Amongraga kepada Tambangraras dan sekaligus Centhini adalah bernada kecintaan dan kerinduan terhadap Tuhannya selalu m,endapatkan porsi otonom dalam cerita Centhini.Sebenarnya mencari Tuhan itu begitu mudah, bergantung pribadi dalam mengolah dan mengatur laku, bertafakur, dan bermediasi dalam mencapai keadaan suasana keheningan dan kebeningan. Dalam upaya mencari Tuhan melalui bahasa kesadaran jiwa yang menyentuh hakikat kenyataan.
Sementara itu, Ratu Kalinyamat dalam pencarian jati diri antara berada-pada-dirinya dan berada-pada-dirinya dapat dilihat sebagai simbolis ataupun gagasan Zhaenal Fanani, seorang pengarang Jawa dalam melihat kenyataan hidup ini, yaitu keadilan dan kebebasan menemukan bentuk wujud dari hawa napsu dengan dinamika dan daya kelemahan sebagai kekuatan perempuan. Bagi Ratu Kalinyamat kesendirian adalah hakikat kehidupan. Setelah kematian Pangeran Kalinyamat, ia merasa senang dengan hidupnya sendiri yang menyendiri. Sebaliknya, perlawanan tokoh perempuan seperti Ratu Kalinyamat sebenarnya merupakan refleksi upaya mencari kesejahteraan diri (perempuan).
Untuk yang kesekian kali, Ratu Kalinyamat dihantam kekagetan mendengar keterangan Laras Minang. Ia seperti mengarungi samudera luas yang tak memberikan jalan padanya menuju dermaga tujuan. Namun, baginya, kehadiran tokoh-tokoh itu mengantar dirinya pada semesta ketersanjungan. Ia berpikir, tanpa jejak-jejak yang terlangkahi bersama nasibnya, ia merasa kesulitan menghadirkan tamu-tamu istimewa itu. Tiba-tiba, ia merasa bersyukur. Dalam kesepiannya melawan jalan takdir, ia menemukan peristiwa menakjubkan yang tak terduga. Kini, ia mulai menyadari bahwa di balik setiap jengkal ujian hidup terdapat halaman misterius yang padat anugerah dan tak terbaca sebelumnya oleh hitungan manusia. (Madam Kalinyamat, 2009:337)

Dalam keadaan luar biasa sakit hatinya Ratu Kalinyamat, ia memiliki tujuan hidup yang masih dalam imajinasinya. Eksistensi Ratu Kalinyamat dalam menemukan kebebasannya, melakukan pengembaraan ke dalam kehidupan antara sadar dan tidak, antara tidur dan terjaga melihat orang yang disayanginya, Pangeran Kalinyamat, suaminya dan Sunan Prawata, kakak kandungnya, meninggal akibat kesalahan Arya Penangsang. Wajah orang mati bermunculan, sebagai wujud kekuatannya Ratu Kalinyamat berpuasa tanpa busana dan tidak tahu kapan ia mengakhirinya. Selama Arya Penasang, Adipati Jipang masih hidup, ia tidak akan bebas menemukan jati dirinya. Ia dapat menanggalkan baju, bahkan tubuhnya sepenuhnya sadar karena dendam dan kecemasan kalau maut menghampirinya, tetapi utang nyawa yang belum terbalaskan. Ia anggap hidup dan kehidupan tidak menemukan kesempurnaan.
...
“Paduka percaya dengan Penguasa Langit?”
Mulut Ratu Kalinyamat seperti terkancing rapat. Detik ini pula, ia merasa seluruh kata-kata seperti kepekatan warna malam yang tak terlihat. Detak dadanya seolah terserut dan terhenti mendadak.
...
“Saya..., saya percaya dengan undangan kematian ...” Suara Ratu Kalinyamat agak tersendat-sendat. Pertanyaan Ki Botolo seperti menyadarkan dirinya bahwa selama ini, ia terlalu tenggelam dalam dunia rencana, dunia perdebatan, dan dunia tanpa batas arus kedekatan dengan kuasa yang menggerakkan roda dunia itu sendiri. Ia jarang memandang sesuatu dalam bingkai yang jauh. Baginya, seolah kematian adalah sebuah permainan yang mengasyikan hingga mampu mendegradasi waktu dan kesempatan. (Madam Kalinyamat, 2009:323)

Penyataan Ratu Kalinyamat justru merupakan justifikasi refleksi teologis lalu menemukan tugasnya, suatu yang secara empiris tidak terlindungi dari ancaman kekelisahan dan dunia tanpa batas. Di sisi lain, kesadaran manusia tentang kematian masih berupa kecemasan dan ketakutan. Barangkali apa yang terjadi dalam novel Madam Kalinyamat, Centhin, dan Rara Mendut perlu diluruskan sebab kematian bagi manusia sesungguhnya bukanlah sebagai kemusnahan tidak bermakna, seperti yang diyakini para eksistensialimse-ateis semacam Sartre atau Camus (Lathief, 2008:107). Kematian adalah mediator untuk proses transendensi manusia itu sendiri, termasuk tokoh Rara Mendut, Tambangraras, Centhini, dan Ratu Kalinyamat. Apa yang terjadi antara berada-bagi-dirinya dan berada-pada-dirinya terdapat pada konsep pemahaman manusia atau struktur manusia yang terdiri atas jiwa dan badan; kematian adalah peristiwa yang terjadi atas berpisahnya jiwa dan badan. Badan adalah kualitas keadaan dalam kebendaan yang pada saat datangnya kematian akan musnah, sedangkan jiwa adalah kualitas rohani yang saat kematian bersifat abadi.

5. Narasi Sejarah Versi Kaum Minoritas Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat
Sastra “mainstream” atau sastra konvensional adalah hasil cipta sastra yang didasarkankepada konvensi sastra yang sudah lama dikenal masyarakat. Konvensi sastra yangdipakai untuk menciptakan karya tersebut sudah berterima di kalangan umum dan sudah dibicarakan di lembaga-lembaga akademis (Suryadi, 2004:154). Ada sastra daerah yang meminjam genre sastra modern. Sebaliknya, ada genre sastra Indonesia modern yang dipengaruhi oleh sastra daerah. Beberapa kajian tentang fenomena sastra Indonesia menyimpulkan bahwa kesusastraan Indonesia modern masih dipengaruhi oleh tradisi (sastra) lisan yang berakar kuat dalam budaya setiap suku bangsa di negeri ini. Demikian peta penciptaan kesusastraan Indoneisa.
Di samping itu, ada dua pernyataan historis pokok dalam novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat, yaitu budaya dan agama. Untuk menjawab pernyataan budaya dan agama harus beralih ke persoalan epistemologi, meninjaunya dengan memetakan pergeseran-pergeseran di tataran epistemologis. Ketiga novel tersebut berada dalam lapisan yang berbeda dan latar belakang kerajaan yang berbeda pula. Namun, dari segi sejarah lahirnya kerajaan dicuatkan oleh pola umum penguasa dan kekuasaan.
Rara Mendut Y.B. Mangunwijaya diambil dari versi Babad Tanah Jawi, dokumen duta besar VOC, Rijckloff van Goens, diadapsi dari beberapa penulis, di antaranya Djajadiningrat (1983:319 dalam Saputra, 2005:28—29) menyebutkan bahwa BTJ bersumber pada karya-karya Pengeran Adilangu II yang dibuat sekitar tahun 1680—1718, sejauh bagian yang bersangkut-paut dengan Mataram. Salah satu versi itu adalah versi resmi Surakarta, yang ditulis hingga tahun 1743 dibawah pimpinan Carik Braja pada masa pemerintahan Pakubuwono I dan dilanjtkan oleh pengganti-penggantinya. Pada bagian lain, Djajadiningrat (1983:319 dalam Saputra, 2005:29) mengatakan bahwa kemunculan BTJ berakibat hilangnya buku-buku sejarah yang lebih tua yang pernah dimiliki oleh orang Jawa. Berpangkal pada pendapat Husein Djajadiningrat, Berg (1974:124—125) menentukan terminus a quo tahun 1575 dan terminus ante quem tahun 1635 sebagai saat terbentuknya purwarupa BTJ.
Berat rasanya tanggung jawab menekan di dalam dadanya. Dalam hati ia kagum pada gadis pantai itu. Ini wanita yang benar-benar punya kepribadian. Tetapi, suaminya harus ditolong juga derajat martabatnya. Ah, perlu, sangat perlu Nyai Ageng berdoa. Kepada Dewi Sri, kepada Dewi Ratih, dan ah ... kepada citra ibu dari ibu, rahim yang pernah mengembanPanca-Batara, Dewi Umayi. Tak perlu mencari siapa yang salah. Sedangkan, Batara Guru pun begitu. Semua harus ditolong. Wiraguna, namun juga Mendut dan kekasihnya yang bertanggung jawab itu. Sebab jelaslah bagi Nyai Ageng bahwa Pranacitra datang melulu untuk membebaskan Rara Mendut. Semoga siasat Nyai Ageng berhasil, semoga Mendut menemukan kebahagiaannya. Namun, juga semoga Wiraguna junjungannya dapat selamat juga. Dan insya’ allah, selama Panglima Wiraguna dipercaya Raja, Mataram panggah jaya. (Rara Mendut, 2009:248)

Konflik pribadi antara Roro Mendut dan Tumenggung Wiraguna, menunjukkan konsep fundamental dan tanggung jawab masing-masing tokoh dalam melaksanakan tugas membela Mataram. Sikap Rara Mendut memberikan setiap eksistensi bahwa banyak yang mengagumi Rara Mendut, meskipun pembelaan atas dirinya berakibat buruk. Namun, apa pun yang dilakukan oleh Rara Mendut, ia tetaplah perempuan pesisir memandang dirinya sebagai perempuan pantai yang bebas menentukan pola pikir dan gerak tubuhnya.

Centhini karya Sunardian Wirodono sebuah narasi yang bersumber dari Serat Centhini, yang muncul di abad ke-17. Sementara itu, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara ing Surakarta, pada awal ke-19 lahir Suluk Tambangraras, yang kemudian lebih dikenal dengan Serat Centhini. Karya sastra ini ditulis tahun 1815 oleh tiga pujangga Keraton Surakarta, yaitu Ki Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Tumenggung Sastranegara, dan Ki Ngabehi Sastradipura. Begitu hebatnya ia, sampai-sampai karya ini muncul dalam banyak versi. Setidaknya, ditengarai ada dua belas versi Serat Centhini dan itu cukup menunjukkan kelasnya. Berdasar karya klasik sastra Jawa, Serat Centhini adalah karya Susuhunan Pakubuwana IV Keraton Surakarta Hadiningrat (tahun 1820—1823), ditulis pertama kali pada tahun 1815. Novel Centhini berkisahtentang berbagai entri kebudayaan dan adat Jawa. Bahkan, bisa dikatakan bahwa Serat Centhinidalam hal ini ditransformasi oleh Sunardian dalam novel Centhini adalah sebuah korpus, sebuah teks multibentuk,mengekstualkan absennya kesaktian dan pengetahuan di kalangan kelas penguasa bangsawan dan kepanditaan Jawa. Dengan demikian, Serat Centhini merupakan adikarya Jawa yang begitu luas, apik, dan terkendali yang kontemporer karena memuat pengetahuan, informasi, dan kebudayaan Jawa secara lengkap dan menakjubkan. Dapat diperhatikan segi budaya, mulai dari kuliner, kesenian, agama, kebatinan, gender, dan seksualitas.
Setidaknya, 40 hari 40 malam pengantin Syekh Amongraga, akan menjadi berkah bagi penduduk Desa Wanamarta. Setiap sore hari, tepatnya antara bakda Ashar hingga menjalang Magrib, orang-orang Wanamarta akan pesta, belum lagi nanti pulang membawa berkatan kenduri. Bayangkan, antara Ashar dan Maghrib, orang-orang Desa Wanamarta bisa makan mewah sebanyak dua hingga empat kali. Dan, tidak ada yang sakit perut karena kekenyangan! (Centhini, 2009:163)

Kutipan di atas, sebagian kisah yang menunjukkan bahwa berbagai budaya Jawa dalam novel Centhini merupakan produk dari kelas “profesional” membawa petuah dalam perkembangan sastra Jawa. Bahkan, mengenai kisah seksual dalam Centhini merupakan bagian yang populer. Dalam Serat Centhini sendiri diyakini bahwa hal seksual yang dikisahkan secara terbuka sebagai gaya hidup, perilaku, dan penuh imajinasi manusia zaman sekarang. Ada beberapa penilaian bahwa Serat Centhini adalah buku porno karena mengungkapkan seks secara terbuka.Namun, Sunardian Wirodono berhasil melakukan transformasi yang membawa dedikasi dan interpretasi kreatif, tanpa menghilangkan cerita aslinya.Novel gubahan ini, terdiri atas tiga buku, (1) Centhini, 40 Malam Mengintip Sang Pengantin, (2) Centhini, Perjalanan Cinta, dan (3) Cebolang, Sang Petualang Jalang. Sebagai langkah awal perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai berbagai pendekatan.Tidak mustahil jika novel Centhini ini memberikan warna Jawa dan berbagai khazanah adat Jawa dan percampuran setelah masuknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.Anggapan bahwa sastra lokal hanya sastra pinggiran mampu memberikan warna tersendiri untuk sastra nasional.
Sementara itu, Madam Kalinyamat karya Zhaenal Fanani bersumber dari Babad Tanah Jawi dan Babad Demak.Meskipun tidak disebutka secara tersurat oleh pengarangnya, dalam kaijan ini dapat disimpulkan bahwa cerita yang terjadi pada masa pemerintahan Kerajaan Demak, yang dipimpin oleh Sultan Trenggana.Namun, peristiwa terbunuhnya Sultan Prawata dan Pangeran Kalinyamat, bahkan Arya Penangsang terjadi setelah Sultan Trenggana meninggal dunia. Mengenai Ratu Kalinyamat atau Retna Kencana adalah istri dari Pengeran Kalinyamat yang bersumpah berpuasa tanpa mengenakan baju selama Arya Penangsang masih hidup dan akan menghentikan puasa ketika kepala Arya Penangsang terpenggal, sebagai alas kaki pintu kediamannya. Babad Demak, penggolongan ini berdasarkan pada wilayah atau lokasi, seperti halnya Babad Tanah Jawi (BTJ, versi rangkuman Olthof, Leiden, 1987). Banyak bercerita tutur lain yang sempat tercatat, seperti lakon-lakon tentang Jaka Tingkir atau Hadiwijaya, Sultan Pajang, menantu Sultan Trenggana. Pada abad ke-16, sebelum sejarah Mataram, terlebih dahalu sejarah Demak, Jipang, dan Pajang, yang bersangkut-paut dengan sejarah Retna Kencana, yang tertulis dalam Madam Kalinyamat.
Ia menghela napas berat. Hatinya resah. Baginya, sesuatu yang membuat dirinya merasa berhasil dan bisa mengikis luka hatinya adalah meletakkan sebagaian anggota tubuh Arya Penangsang sebagai alas kaki pintu kediamannya. Tapi, sekarang, justru Sunan Kudus telah mendahuluinya. Tiba-tiba, ia merasa terlempar pada sisi gelap. (Madam Kalinyamat, 2009:406)

Sebagai gambaran bahwa sesungguhnya ketidakberdayaan perempuan seperti Ratu Kalinyamat terhadap hegemoni kaum laki-laki dan penguasa memberi penerangan lahirnya sebuah kerajaan. Hal ini berkaitan dengan kemungkinan letak titik temu yang memungkinkan terjadinya hubungan budaya dan Islam masyarakat Jawa, yang lebih dikenal aspek Islam sangat kental dalam budaya Jawa. Gambaran mengenai hal ini memerlukan paparan mengenai prosesIslamisasi Jawa yang menimbulkan persinggungan dengan budaya lokal dan memunculkan sintesis sebagai Islam Jawa. Sejauh ini, tingkat keberhasilan peran Islam yang dilakukan oleh Sunan Kudus dianggap sukses. Setelah kejatuhan Majapahit, berdirilah kerajaan Islam pertama, yaitu Kerajaan Demak. Tentu, Ratu Kalinyamat berperan dalam legotimasi ideologi dari kekuasaan yang terjadi di Demak, Jepara, dan Pajang, mengingat dia keturunan langsung dari Sultan Tenggana dan ada kaitannya dengan Sultan Hadiwijaya, yang akhirnya menjadi salah Raja Demak.
Bagaimanapun dominan peranan sejarah dalam karya sastra dapat menjelaskan fakta bahwa orang Jawa terus memproduksi citra kemajemukan dan keragaman praja (negeri) dan mengaitkan dengan keberlanjutkan berbagai entitas politik berbasis etnis kerajaan-kerajaan di Jawa. Cerita-cerita Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat tidak menyoal pergerakan jiwa atau agensi ilahiah para tokohnya, kecuali sebagai bumbu yang diperlukan untuk menarik narasi novel tersebut.

6. Simpulan dan Saran
7.1 Simpulan
1. Dalam geo-kultural Jawa dalam Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat yang terjadi sebelum prakolonial adalah dearah pantai. Pesisir, tepatnya pantai utara yang terletak di Kabupaten Pati adalah semacam matriks kultural yang merangkul sebagian besar kerajaan di Jawa. Konstruksi religius, budaya Jawa, dan pesisir dalam konteks sastra sejarah dalam Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat adalah fenomena hibriditas yang perlu diamati.
2. Eksistensi tokoh perempuan mendahului hakikatnya. Hal ini adalah fakta dasar dan pokok. Setiap tokoh bertanggung jawab untuk membuat dirinya sebagaimana apa adanya, essence, subtansi atau watak dalam menjadikan suatu apa pun peristiwa itu apa adanya. Eksistensi selalu menjulangkan kebebasan manusia. Kebebasan tersebut individual. Begitu pula yang terjadi dalam kebebasan tokoh Rara Mendut, Tambangraras, centhini, dan Ratu Kalinyamat sebagai manusia bebas bertanggung jawab penuh atas implikasi perbuatannya.

7.2 Saran
1. Kajian ini adalah awal pemahaman budaya daerah (lokal, Jawa) sebagai revitalisasi sastra daerah melalui novel Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, Centhini karya Sunardian Wirodono, dan Madam Kalinyamat karya Zhaenal Fanani. Sebagai lanjutan penelitian diharapkan ada kajian lebih luas mengenai sosial budaya, agama, dan khususnya kelokalan.
2. Para bahasa dan sastra, kebudayaan, dan masyarakat hendaknya bekerja sama untuk mengembangkan dan melestarikan budaya Jawa dan nasional sebagai kekuatan budaya bangsa yang multilingual.


Puji Retno Hardiningtyas, bekerja di Balai Bahasa Denpasar, Pusat Bahasa, Kemdiknas. Aku suka dunia sastra, teater, dan puisi. Aku dulu lulusan Universitas Negeri Semarang, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni tahun 2004.


Bibliografi

Bandel, Katrin. 2009. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.
Fanani, Zhaenal. 2009. Madam Kalinyamat. Yogyakarta: Diva Press.
Foulcher, Keith dan Tony Day (Editor). 2008. Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial. Alih bahasa Koesalah Soebagyo Toer dan Monique Soesman. Jakarta: KITLV bekerja sama Yayasan Obor Indonesia.
Hassan, Fuad. 1992. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Lathief, Supaat I. 2008. Sastra: Eksistensialisme-Mistisisme Religius. Lamongan: Pustaka Ilalang.
Mahayana, Maman S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening Publising.
Mangunwijaya, Y.B. 2009. Rara Mendut Sebuah Trilogi. Jakarta: Gramedia.
Salam, Aprinus. 2004. Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta: Lkis Yogyakarta.
Saputra, Karsono H. 2005. “Babad Tanah Jawi sebagai Model Penulisan Sastra Sejarah Jawa” dalam Bahasa dan Sastra Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Citra Pustaka.
Toer, Pramoedya Ananta. 2000. Mangir. Jakarta: Kepustakaan Populer Grmaedia Bekerja Sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.
Vickers, Adrian. 2009. Peradaban Pesisir Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Alih Bahasa Arief B. Prasetyo. Denpasar: Pustaka Larasan Bekerja Sama dengan Udayana University Press.
Wahyudi, Ibnu (Editor). 2004. Menyoal Sastra Marginal. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Bekerja Sama HISKI Pusat.
Wirodono, Sunardian. 2009. Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin. Yogyakarta: Diva Press.
Zaidan, Abdul Rozak. 2002. Pedoman Penelitian Sastra Daerah. Jakarta: Pusat Bahasa.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Alih Bahasa Dick Hartoko. Yogyakarta: Djambatan.

Diungggah dari : http://pujiretnohardiningtyas.blogspot.com/
Per-tanggal : 4 Januari 2011

Minggu, 16 Januari 2011

SERAT CENTHINI DWI LINGUA

Mengindonesiakan Serat Centhini text by text? Selama ini belum pernah ada yang berhasil melakukannya. Bukan hanya sekedar ketebalannya, lebih dari 3500 halaman, memuat 722 pupuh atau jenis tembang, dan semuanya yang terbagi dalam 12 jilid buku, memuat 250-an ribu baris. Namun selain itu juga karena bahasa tembang Macapat serta kandungan isinya sebagai ensiklopedi, membuat penerjemahan itu bukanlah sesuatu yang mudah.
Apa yang dilakukan oleh Sunardian Wirodono, dengan melakukan pengindonesiaan yang diharapkan mendekati teks Serat Centhini, adalah sebuah keberanian. Dikatakan sebuah keberanian, karena Sunardian yang telah menggubah Serat Centhini menjadi sebuah novel berbahasa Indonesia, tidak bisa bersembunyi pada berbagai penjelasan naratif yang selama ini sering dipakai, jika beberapa orang mencoba untuk menerjemahkan karya sastra klasik Sri Susuhunan Pakubuwana V (1820-1823) itu.
Dikatakan oleh Sunardian, niatan mengindonesiakan Serat Centhini, lebih karena kenyataan banyak yang mengetahui (dengan menyebut-nyebut) Serat Centhini, namun belum tentu mereka membacanya, bahkan mungkin melihat wujud kitabnya. Belum lagi jika mengetahui, bahwa karya klasik itu masih tersimpan dalam bahasa Jawa. Maka banyak yang menyebut Serat Centhini adalah "Kamasutra Jawa".
Penyebutan itu, tidak sangat keliru, karena di dalam Serat Centhini memang bertebar ujaran-ujaran dan bahkan ajaran mengenai seksualitas. Dijabarkan dengan jelas, bagaimana sebaiknya orang melakukan senggama, juga pada waktu apa, dengan posisi seperti apa. Bahkan, dalam narasinya, juga diceriterakan bagaimana beberapa tokohnya seperti Ki Jayengraga, Ki Kulawirya, Cebolang, melakukan persenggamaan dengan berbagai perempuan, dari gadis di bawah umur, janda, atau bahkan isteri orang lain. Atau juga dengan terus-terang diceritakan bagaimana mereka melakukan party-sex, three-some, dan lelaki dengan lelaki. Cerita-cerita seperti itu tersebar hampir merata di setiap jilidnya.
Namun, Serat Centhini bukan hanya mengenai satu hal itu (sebagaimana Kamasutra yang memang secara khusus menguraikan teknis bersenggama cara India-Hindu). Serat Centhini adalah ensiklopedi yang naratif. Penuturan mengenai berbagai item, konten, dituliskan melalui kisah perjalanan tokoh-tokohnya (terutama Ki Syekh Amongraga, Ki Jayengsari dan Ni Rancangkapti, juga Cebolang), dengan setting waktu paska jatuhnya Kasunanan Giri oleh Sultan Agung Mataram (1736). Latar belakang kisah, adalah pelarian dan petualangan tiga anak Sunan Giri yang berada dalam kejaran para prajuri Mataram.
Dengan bangunan setting waktu, setting tema, dan pola bertuturnya yang linier, Serat Centhini menguraikan mengenai pernak-pernik kehidupan manusia melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tokoh-tokohnya. Dari sana meluncur berbagai hal dari perbintangan (astrologi), pengetahuan mengenai alam, cara bercocok-tanam, jamu-jamuan, aneka jenis makanan dan minuman, berbagai adat dan ritual (Jawa) dari melahirkan anak, pengantin, hingga kematian.
Dalam Serat Centhini juga bisa didapatkan berbagai hal mengenai ajaran dan ujaran agama, tasawuf, etika, filsafat. Juga kitab ini memuat data dan fakta mengenai sejarah, legenda, mitos, mengenai candi, bangunan kraton, aneka tetumbuhan, dan potret sosial dari berbagai kelas masyarakat.
Serat Centhini adalah kitab yang ditulis mulai 1814, dengan menyodorkan warna baru. Ia ditulis dari tembok kraton, namun ia tidak berbicara mengenai kejayaan sebuah kerajaan atau keagungan Sang Raja. Serat Centhini, bahkan sebaliknya, menuliskan kisah orang-orang pinggiran, tokoh-tokoh yang tidak dikenali sejarah tetapi punya wilayah dan kehidupan sosial, orang-orang terusir atau pelarian. Sultan Agung yang menjadi "penyebab" dari latar belakang sosial Serat Centhini pun, hanya muncul sebagian kecil pada jilid pertama dan terakhir. Itu pun tidak sangat dominan. Ia tokoh yang menyebabkan pelarian Ki Syekh Amongraga, tetapi juga mengakhiri kisah Syekh Amongraga, namun di tengah-tengahnya Sri Pakubuwana memberikan ruang yang luas bagi berbagai tokoh kecil yang bisa jadi adalah korban-korban dari Sultan Agung.
Dari situ, keanehan sudah tampak pada karakter Serat Centhini ini yang berbeda dengan serat-serat lainnya. Bahkan, jika kita mengetahui, bagaimana proses terciptanya karya sastra itu sendiri, akan terasa semakin keanehannya. Karena sejak awal oleh penggagasnya (Sri Pakubuwana V, yang pada waktu itu masih sebagai putra mahkota dari Pakubuwana IV) dimaksudkan sebagai "baboning pangawikan Jawi" (sumber pengetahuan Jawa), maka ia memerintahkan pada Ranggasutrisna, Yasadipura II untuk berkeliling ke Jawa bagian barat dan timur, serta Sastradipura diutusnya ke Mekah untuk sekalian naik haji dan belajar mengenai agama (hingga kemudian namanya berganti menjadi H. Mohammad Ilhar) senarai dengan selesainya penulisan Serat Centhini pada 1823, atausembilan tahun kemudian.
Karena itu, Serat Centhini menjadi sangat tebal (12 jilid dan hampir 4000 halaman jika dilatinkan dengan ukuran buku 14x21 Cm, sebagaimana bisa dilihat dalam buku "Serat Centhini Latin" yang disusun oleh Karkana Kamajaya), sangat kaya. Ia adalah buku ensiklopedi pertama di Indonesia, yang ditulis dengan cara "paling kreatif dan orisinal".
Maka jika bisa disebut jasa siapa yang "meneruskan" Serat Centhini dikenal oleh kalangan lebih luas, ialah upaya menyalin Serat Centhini dari huruf Jawa ke huruf latin, seperti yang dilakukan oleh Karkana Kamajaya (1980) itu. Dari sana, serat Centhini yang semula ngendon di istana, bisa keluar dan dinikmati oleh kalangan luar, meski masih terbatas yang mengetahui bahasa Jawa. Selebihnya, gelap.
Baru kemudian 25 tahun kemudian, munculnya karya gubahan Elizabeth D. Inandiak (wartawati Perancis) dalam bentuk prosa liris berbahasa Indonesia (mulanya gubahan dalam bahasa Perancis), menjadi pintu masuk Serat Centhini pada generasi baru Indonesia. Banyak anak muda Indonesia yang kemudian sedikit tercerahkan dengan apa yang dilakukan oleh Inandiak. Meski pada karya Inandiak, rasa ensiklopedi Serat Centhini sedikit banyak dihilangkan, karena lebih bertumpu pada kisah romansa tokoh-tokohnya. Karya Inandiak, karena satu-satunya yang berbahasa Indonesia dengan pendekatan kontemporer, seolah menjadikan referensi utama pengenalan Serat Centhini.
Pada 2009, Sunardian Wirodono menggubahnya ke dalam bentuk novel, dimulai dari "centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin", Sunardian "hanya" memakai peristiwa 40 hari masa pengantin antara Syekh Amongraga dengan Tambangraras, namun berhasil menyarikan gambaran Serat Centhini secara utuh, dari sejak awal sejarah Sunan Giri, hingga pecahnya perang, dan kisah pelarian anak-anak Sunan Giri tersebut, dengan teknik penulisan yang un-linier.
Sayang untuk seri novel keduanya, yakni paska minggatnya Syekh Amongraga dari isterinya, "Centhini, Perjalanan Cinta", yang mengisahkan pencarian Tambangraras dan seluruh keluarganya hingga kisah kematian Syekh Amongraga dan pertemuan terakhirnya dengan Sultan Agung, proses penerbitan novel itu terhambat karena konflik Sunardian dengan penerbitnya, yang secara sepihak mengalihkan naskah-naskah yang sudah digarap ke penulis lain Gangsar R Hayuaji alias sri Wintala Ahmad, yang penulis ini kemudin membajak atau mengcopy paste tulisan-tulisan Sunardian didaku sebagai karyanya dan atas namanya). Kasus pembajakan buku ini masih berproses secara hukum. Padahal, Sunardian yang semula merancang tiga novel gubahan atas serat Centhini itu, ingin menyodorkan kitab klasik itu dalam spirit dan bentuk awalnya, yakni Sunardian memilih tetap setia pada alur dan komponen isi Serat Centhini yang memang ensiklopedis, meski diakui menjadi tidak sebebas Inandiak misalnya. Sayang, dengan kasus hukum itu, menjadi terhambat.
Tidak bisa menunggu kevakuman (atas proses hukum pembajakan novel Centhini) itu, Sunardian menjadi terpicu untuk sekalian saja menerjemahkan Serat Centhini seutuhnya. Dengan demikian, maka masyarakat akan langsung tahu dari sumber aslinya, text by text. Disebutkan demikian, karena berbeda dengan penerjemahan yang sudah dilakukan oleh Tim Universitas Gajah Mada, terjemahan Sunardian tetap di susun sebagaimana teks syair tembang macapat, meski tidak mungkin memenuhi guru wilangan dan guru lagu metrum tembang macapat yang ketat. Namun setidaknya, pembaca dituntun mampu mendekatkan pengertiannya atas teks bahasa Jawa yang akan disertakan juga. Itu perbedaan dengan penerjemahan sebelumnya, yang dituliskan secara prosa dan lebih mendekati uraian deskriptif daripada pendekatan karya sastra kreatif.
Apa yang diharapkan oleh penerjemah adalah, agar dengan demikian Serat Centhini diketahui teks aslinya, dan diketahui pula makna sejatinya, kalimat-perkalimat sebagaimana pola penerjemahan kitab-kitab suci seperti Alquran, Injil, Wedha, tanpa niatan menyamakannya. Dimaksudkan oleh Sunardian, dengan demikian "rasa puitik" dari tembang macapat, bisa dirasakan pula meski dalam bahasa Indonesia.
Penulis yang dulunya dikenal sebagai penyair, dan kemudian lebih berkonsentrasi ke novel, tentu lebih mempunyai pendekatan sastrawi yang dibutuhkan untuk proses penerjemahan Serat Centhini ini.
Namun karena proyek penerjemahan ini lebih bersifat pribadi, Sunardian memilih jalur penerbitan indie, dengan gotong-royong masyarakat yang mencintai dan menginginkan dapat membaca Serat Centhini sesuai pengetahuan bahasanya. Karena itu, proses penerjemahan itu akan memakan waktu lama. Sunardian menjanjikan, setiap bulannya, akan diterbitkan per-jilid mulai Januari 2011, hingga jilid XII direncanakan selesai dan terbit pada Desember 2011.
"Dengan gotong royong pembaca dan penggemar Serat Centhini, proses penerjemahan ini tidak perlu menggantungkan pada funding atau lembaga kebudayaan pemerintah, yang memang tidak peduli pada dokumen bangsanya," demikian dikatakan Sunardian yang memilih jejaring sosial seperti facebook dan blogspot untuk menyebarkan bukunya. Jejaring sosial ini, katanya, mampu membebaskan cengkeraman dari dominasi toko buku, yang biasanya memotong antara 50-60% dari harga jual buku, sehingga menyebabkan harga buku mahal namun penulisnya kurang mendapatkan penghargaan. Jika toko buku langsung mendapatkan lebih dari separoh harga buku, maka teknik yang dipakai penerbit adalah melipatgandakan buku itu hingga mereka memperhitungkan mendapatkan keuntungan memadai, akibatnya harga buku menjadi sangat tinggi, apalagi jika memakai jasa distributor, karena toko buku tidak memberikan ruang pada munculnya penerbit-penerbit kecil yang tidak bisa menjaga kontinyuitas penerbitan. Dengan komposisi toko buku mendapat 50-60%, distributor antara 10-15%, penerbit hanya akan sekitar 25-35%, dan penulis sebagai tiang utamanya, hanya sekitar 10% (dengan model royalti, terutama pada penerbit besar), tetapi kebanyakan penerbit buku hanya memberikan sekitar 1% dari harga jual buku.
"Komposisi itu, jelas tidak mengembangkan dunia penulisan," kata Sunardian Wirodono yang semula malang-melintang di dunia broadcast di Jakarta dan mulai 2008 memilih tinggal di Yogyakarta.