Senin, 26 April 2010

"Serat Centhini", Sinkretisme Islam, dan Dunia Orang Jawa

Penulis: Ulil Abshar-Abdalla

Dikutip dari Kompas, Jumat, 4 Agustus 2000

Lagi-lagi, kita membicarakan sesuatu yang berkenaan dengan kebudayaan Jawa. Dalam situasi di mana Jawa sekarang dipersoalkan oleh semua orang, pembicaraan semacam ini boleh jadi dianggap mengafirmasi apa yang sering dianggap sebagai "dominasi" kebudayaan Jawa di Indonesia. Akan tetapi, kebudayaan Jawa memang menyuguhkan 'magic' yang tak habis-habisnya. Studi mengenai Jawa tak pernah membosankan, karena terdapat segi-segi yang terus memikat untuk dilihat. Salah satu tema yang menarik adalah hubungan antara kejawaan dan keislaman yang melahirkam sejumlah teori di tangan para ahli. Persoalan pokok yang tampil di sini adalah berkenaan dengan kedudukan Islam sebagai agama orang Jawa: apakah Islam di situ masih tegak sebagai agama yang "pristin", tidak terpengaruh oleh unsur-unsur lokal, atau justru mengalami "distorsi" ketika mulai bertemu dengan jenius setempat?

ISLAM DAN KEJAWAAN
Serat Centhini, sebuah karya penting dalam sastra Jawa yang ditulis pada abad ke-19, saya kira, bisa memberikan sedikit gambaran, bagaimana agama Islam dipersepsi oleh orang-orang Jawa, terutama oleh lapisan elite dalam masyarakat ini.
Salah satu teori yang dikemukakan oleh sejumlah ahli adalah teori mengenai "sinkretisme", atau percampuran antara Islam dengan unsur-unsur lokal Jawa dalam cara yang tidak genuine dan sedikit agak dipaksakan. Sebutan "sinkretisme" sebetulnya mengandung semacam ejekan: bahwa Islam tidak lagi tampil sebagai dalam wujudnya yang asli, tetapi sudah tercampur dengan unsur-unsur yang eksternal sifatnya. Islam yang "sinkretis", sebagaimana kita lihat dalam masyarakat Jawa, dengan demikian menggambarkan suatu genre keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang "murni" di tempat asalnya di Timur Tengah.
Di samping itu, sebutan "Islam sinkretis" sebenarnya mengandung asumsi tersembunyi, bahwa seolah-olah unsur utama di situ adalah Islam, sementara kejawaan adalah unsur tambahan yang menyebabkan unsur utama tersebut mengalami pemiuhan. Dengan demikian, sebutan tersebut juga memandang kejawaan sebagai "yang lain": unsur eksternal yang kehadirannya harus diwaspadai. Saya kira ini bisa kita lihat pada sejumlah tulisan yang menggunakan pendekatan "sinkretisme" dalam melihat hubungan antara kejawaan dan Islam. Perhatian pertama-tama diberikan pada Islam sebagai "tradisi besar" yang mempunyai elemen-elemen kanonik yang bersifat "universal", baru kemudian datang kejawaan sebagai unsur lokal yang mencerminkan "tradisi kecil" yang terbatas jangkauannya. Kalau kita baca sejumlah studi yang sudah klasik selama ini, seperti Clifford Geertz dalam Religion of Java (1976), akan tampak bahwa kejawaan dilihat semata-mata sebagai unsur eksternal yang membuat Islam mengalami transformasi bentuk.
Akan tetapi, sebutan yang sama sebetulnya juga bisa berarti "penaklukan" masyarakat Jawa terhadap Islam yang justru dianggap sebagai "yang lain". Kejawaan adalah elemen dasar yang membentuk "kosmos" masyarakat Jawa yang unsur-unsurnya dibangun melalui percampuran antarpelbagai elemen yang juga datang dari "luar" (di sini persoalan "yang lain" dalam kebudayaan Jawa menjadi soal yang rumit, karena amat sukar mengatakan bahwa ada unsur-unsur yang benar- benar bisa diandaikan sebagai "asli" dalam masyarakat Jawa). pendekatan ini digunakan oleh Harry J Benda. Dalam studinya yang amat terkenal, The Crescent and the Rising Sun (kemudian lebih tegas lagi ia tuliskan dalam Continuity and Change in Indonesian Islam di Asian and African Studies, vol. 1, 1965), Benda mengemukakan sebuah teori tentang penjinakan Islam oleh masyarakat Jawa. Benda mendasarkan teorinya ini atas studinya mengenai perkembangan Islam dalam rentang waktu antara abad ke-16 hingga ke-18. Pada periode itu, berlangsung pasang-surut hubungan antara Islam dan kejawaan, yang tercermin dalam persaingan antara dua kerajaan yang saling berebut pengaruh, yaitu kerajaan Islam di Demak yang memegang bentuk Islam yang kurang lebih "ortodoks", dan kerajaan Mataram Islam yang lebih cenderung pada bentuk Islam yang sinkretik dan heterodoks. (Sebenarnya dalam lingkungan Demak sendiri, juga berlangsung persaingan yang keras antara ortodoksi Islam yang tercermin dalam figur wali sembilan dan heterodoksi Islam yang tampil dalam figur Syeh Siti Jenar).
Teori "domestifikasi Islam" ini mengandaikan bahwa kejawaan tidak serta merta bisa ditundukkan begitu saja oleh Islam sebagai unsur eksternal yang sama sekali asing. Kemenangan Mataram atas Demak menggambarkan kemenangan Islam sinkretik atas Islam ortodoks yang dikembangkan oleh para wali sembilan. Dengan cara inilah, Benda mencoba menerangkan kekalahan kelompok Masyumi terhadap aristokrasi Jawa dan kelompok sekular dalam perdebatan di konstituante mengenai negara Islam di tahun 50-an. Benda, antara lain, menulis,
Karena itu, dilihat dari kerangka nasionalisme Jawa-sebagai- pusat, Islam, atau lebih khusus lagi, jenis Islam seperti Masyumi, harus dilihat sebagai pengaruh yang sejak dari awalnya sudah asing dan non-Jawa, bahkan malah "non-Indonesia". Pancasila, ideologi resmi negara, adalah Jawa, teistik, secara samar monoteistik, tetapi yang pasti bukan Islam. (Saya pinjam dari terjemahan Ihsan Ali-Fauzi terhadap bukunya Bachtiar Effendi, Islam dan Negara [hlm. 30].
Sejumlah penulis masih menggunakan kerangka yang sama dalam menganalisa hubungan antara Islam dan pemerintah Orde Baru yang dianggap juga mencerminkan perpanjangan dari dunia Jawa dalam politik Indonesia modern. Kemenangan pemerintah Orba di tahun 1984 dalam "memaksakan" penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal kepada ormas-ormas Islam, dianggap juga sebagai perulangan tema lama mengenai "domestifikasi Islam". Dalam kaca mata ini, sebutan "Islam sinkretik" justru menunjukkan keunggulan kebudayaan Jawa yang dianggap resilien terhadap unsur asing. Sebaliknya, Islam justru dianggap sebagai unsur luar yang tidak serta merta bisa memaksakan suatu kepercayaan baru, dan menghapuskan begitu saja kepercayaan yang sudah lama mengakar.
Studi-studi mutakhir dalam bidang keislaman makin cenderung melihat hubungan Islam dan budaya lokal dalam kerangka semacam ini, yaitu dalam konteks resistensi kebudayaan setempat atas penetrasi unsur-unsur luar seperti Islam. Dalam nada yang merayakan apa yang disebut sebagai kondisi postmodernitas, antropolog Islam asal Pakistan yang kini tinggal di Inggris, Akbar S Ahmed (dalam Islam dan Postmodernisme), menunjukkan bahwa hubungan antara Islam sebagai teks besar" dengan kebudayaan setempat sebagai "teks kecil" (dua istilah ini dari saya sendiri) tidak lagi dilihat dalam kerangka penundukan", tetapi justru dalam kerangka makin beragamnya ekspresi Islam setelah bertemu dengan unsur-unsur lokal, termasuk juga dalam kaitannya dengan pertemuan antara Islam dengan kebudayaan pop. Islam tidak saja dilihat sebagai unsur yang universal, tetapi juga akomodatif. Sementara kebudayaan lokal tidak dipandang sebagai unsur "rendah" yang harus mengalah kepada Islam, sebab jenius setempat ini juga bisa menolak terhadap unsur-unsur baru. "Sinkretisme Islam" tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang pejoratif, tetapi justru memperlihatkan adanya "dialog".

RESISTENSI TERSELUBUNG

Serat Centhini, sebagaimana kita tahu, ditulis oleh sejumlah pujangga di lingkungan Keraton Surakarta yang diketuai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III, putra mahkota Sunan Pakubuwana IV. Karya yang terkenal dengan sebutan Serat Centhini atau Suluk Tambangraras-Amongraga ini ditulis pada tahun 1742 dalam penanggalan Jawa, atau 1814 dalam tahun Masehi. Karya ini boleh dikatakan sebagai semacam ensiklopedi mengenai dunia dalam masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, atau katakanlah semacam database pengetahuan Jawa. Jumlah keseluruhan serat ini adalah 12 jilid. Aspek-aspek ngelmu yang dicakup dalam serat ini meliputi persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, kerawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon atau horoskop, soal makanan dan minuman, adat istiadat, cerita-cerita kuna mengenai tanah Jawa dan lain-lainnya.
Yang ingin ditunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini, tetapi ia telah mengalami "pembacaan" ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai "teks besar" yang "membentuk" kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodokasi yang standar. Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk "membaca kembali" Islam dalam konteks setempat, tanpa ada semacam kekikukan dan kecemasan karena "menyeleweng" dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan "resistensi". Penolakan tampil dalam nada yang "subtil", dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme" dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.
Barangkali, Serat Centhini bisa kita anggap sebagai cerminan dari suatu periode di mana hubungan antara Islam dan kejawaan masih berlangsung dalam watak yang saling mengakomodasikan, dan tidak terjadi kontestasi antara keduanya secara keras dan blatant. Sebagaimana kita tahu, dalam perkembangan pasca-kemerdekaan, identitas kejawaan makin mengalami "politisasi" dalam menghadapi naiknya kekuatan Islam yang cenderung "puritan" dalam kancah politik. Dalam konteks semacam ini, antara kedua identitas ini (Islam dan Jawa), terdapat hubungan yang tegang dan penuh prasangka. Ketegangan ini terus berlanjut hingga dalam pemerintahan Orba.
Serat disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga, dan seorang putri bernama Rancangkapti. Dengan diikuti oleh dua santri, Gathak dan Gathuk, Jayengresmi melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojanagara, hutan Bagor, Gambiralaya, Gunung Pandhan, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang. Dalam perjalanan ini, Jayengresmi seperti mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuna, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawi. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, alamat bunyi burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu bersanggama, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syeh Siti Jenar.
Jayengsari dan Rancangkapti berkelana dengan diiringi oleh santri Buras ke Sidacerma, Pasuruhan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Brama, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argapura, Gunung Rawun, Banyuwangi, terus ke Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas. Dalam perjalanan itu, mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat- istiadat tanah Jawi, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan mengenai wudlu, shalat, pengetahuan (yang terkesan agak bertakik- takik dan njlimet) mengenai dzat Allah, sifat, asma dan afngal-Nya, sifat dua puluh, Hadis Markum, perhitungan selamatan orang meninggal dunia, serta perwatakan Kurawa dan Pandawa.
Melihat luasnya daerah serta lingkup pengetahuan yang dipelajari ketiga putra-putri Giri itu, tampak sekali ambisi penggubah kisah dalam Serat Centhini ini untuk "menerangkan" secara menyeluruh "dunia dalam" orang Jawa. Dengan demikian, serat ini juga bisa digunakan sebagai titik masuk untuk mengetahui bagaimana dunia Jawa "plausible" dan bermakna buat orang-orang Jawa sendiri. Sekaligus juga adalah bagaimana Islam "bermakna" dalam konteks tatanan kosmik mereka.
Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang "ortodoks" bercampur baur dengan mitos-mitos di tanah Jawa. Ajaran Islam yang ortodoks mengenai sifat Allah yang dua puluh, misalnya, diterima begitu saja, tanpa harus membebani para penggubah ini untuk mempertentangkan ortodoksi itu dengan mitos-mitos dalam khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara "sinkretik", seolah antara alam "monoteisme" dengan paganisme"/"animisme" Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan.
Seperti telah dikemukakan di atas, dalam serat ini, Islam memang tidak dipandang semata-mata sebagai unsur eksternal yang "membebani" unsur lokal, bahkan pertentangan (katakan saja) weltanschauung antara kedua dunia itu (Islam dan Jawa) sama sekali tidak dipersoalkan. Begitu saja diandaikan bahwa keduanya commensurable dan saling bisa bertukar tempat. Tetapi, anehnya, dengan cara seperti inilah Jawa (sebagaimana ditampilkan oleh serat ini) melakukan "resistensi" (atau "domestifikasi", dalam istilah Benda) atas Islam. Penggubah serat ini seolah-olah tidak mau tahu bahwa Islam sebagaimana tampil dalam korpus standar membawa sejumlah "efek ikonoklastik" atas kepercayaan setempat. Saya tidak tahu, apakah penggubah serat ini "pura-pura" tidak tahu, tidak tahu sama sekali, atau sadar mengenai kontradiksi antara Jawa dan Islam lalu melakukan "pembacaan" yang sifatnya lain. Saya lebih cenderung pada kemungkinan yang terakhir ini. Kontradiksi antara Islam dan Jawa yang menjadi tema pokok gerakan reformasi dan pembaharuan Islam di awal abad dua puluh, sama sekali tidak kelihatan dalam serat ini. Inilah barangkali "resistensi terselubung" kebudayaan Jawa atas "teks besar" yang bernama Islam.
Dalam bukunya yang terakhir berjudul Beyond Belief: Islamic Excurtions Among the Converted Peoples (1998 [penekanan dari saya-UAA]), VS Naipaul, penulis Trinidad yang berkunjung beberapa kali ke Indonesoia, membuat suatu kesimpulan yang agak provokatif mengenai hubungan antara Islam dengan kebudayaan lokal di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Dengan nada sinis, Naipaul, antara lain, mengatakan,
Islam is in its origins an Arab religion. Everyone not an Arab who is a Muslim is a convert. Islam is not simply a matter of conscience or private belief. It makes imperial demands. A convert's world view alters. His holy places are in Arab lands; his sacred language is Arabic. His idea of history alters The convert has to turn away from everything that is his. (Cetak tebal dari saya-UAA)
Saya kira, Naipaul di sini sedang berbicara mengenai apa yang tadi saya sebut sebagai "efek ikonoklastik" Islam terhadap unsur- unsur lokal. Kehadiran Islam dalam konteks kultur lokal, dalam pandangan Naipaul, akan mempunyai dampak penghancuran terhadap yang terakhir itu. Seandainya statement Naipaul ini bisa dibenarkan dalam konteks masyarakat Islam di luar Jawa atau Indonesia, untuk konteks Jawa di mana kita berbicara mengenai Serat Centhini, pernyataan semacam itu jelas tidak bisa dibenarkan. Membaca Serat Centhini, kita mendapat kesan bahwa boro-boro Islam ingin menggantikan pandangan dunia orang Jawa, tempat-tempat suci serta bahasa mereka, seperti tercermin dalam pengamatan Naipaul itu. Agama "baru" ini bahkan tidak bisa mengusir sejumlah mitos dan semacam "paganisme" dalam masyarakat Jawa yang sudah mengakar sejak berabad-abad di sana, seperti kita lihat dalam jenis-jenis ngelmu yang dipelajari oleh ketiga putra- putri Giri di atas.

TUMPUKAN
Marilah kita lihat, bagaimana penggubah Serat Centhini ini "menyandingkan" dengan rileks dan tanpa beban antara "ortodoksi" Islam dengan unsur-unsur yang paganistis. Dalam Kinanthi ke-23, bait 31-27, misalnya, dikisahkan sebagai berikut (saya kutip dari naskah Serat Centhini yang telah disadur dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, 1991).
"Fajar telah menyingsing, mereka (maksudnya: Jayengresmi dan kedua santrinya, Gathak dan Gathuk) mengambil air wudhu, lalu sembahyang subuh. Setelah selesai sembahyang, mereka pergi dari Sugihwaras, tiba di kaki Gunung Pandhan. Mereka mendakinya dan tibalah mereka di Desa Kedhaton. Mereka menyeberangi sungai yang mengalir ke selatan, airnya sangat jernih lagi bening. Di sana mereka melihat tulang-tulang besar berserakan banyak sekali. Jayengresmi berjalan terus hingga sampai di kaki Gunung Gambiralaya. Tiba di atas mereka melihat pertapaan yang dikelilingi tanggul ditanami bunga mawar yang harum semerbak. Di luar pematang jalan sebelah tenggara terdapat arca batu hitam, sikapnya seperti lelaki memangku alat kelaminnya. Arca tersebut telah pisah dengan tubuhnya. (Alat kelaminnya) hanya sebesar pohon pinang. Gathak Gathuk tertawa terbahak-bahak (ketika melihatnya), karena melebihi kepunyaan arca Ki Gaprang, kalah panjang dan besar."
Kisah selanjutnya kemudian diikuti dengan pertemuan ketiga orang itu dengan seorang lurah yang bernama Ki Padhang yang menjelaskan mengenai beberapa pemandangan yang mereka lihat di Gunung Gambiralaya itu. Pola pengkisahan dalam serat ini boleh dikatakan mengikuti sebuah "formula naratif" seperti yang tercermin dalam penggalan yang saya kutip itu: mereka berjalan, lalu istirahat, menunaikan shalat, dan kemudian berjalan kembali, dan berjumpa dengan sejumlah tempat keramat, guru, dan mitos-mitos Jawa kuna. Yang menarik di sini adalah bahwa ritual shalat diulang-ulang dalam setiap narasi, seolah ingin menunjukkan bahwa pelaku-pelaku dalam kisah ini adalah orang-orang yang secara agama adalah taat, dan boleh jadi masuk dalam kategori "santri" dalam pengertian yang lebih longgar dari yang didefinisikan oleh Geertz. Identitas kesantrian dan kejawaan bersanding tanpa ada soal yang merisaukan.
Dan, saya kira, inilah pengertian pokok dari "sinkretisme": penjejeran dua gagasan kebudayaan tanpa mempersoalkan "kontradiksi" dan "koherensi logis" dari keduanya, karena paksaan-paksaan yang sifatnya pragmatis. Sinkretisme mirip sebuah "montase budaya" yang kita lihat dalam produk-produk kebudayaan pop sekarang ini, dengan perbedaan pokok bahwa pada yang terakhir ini "motif praktis" yang dominan adalah kepentingan pasar dan konsumerisme. Sementara pada sinkretisme, tampaknya motif pokok di sana adalah semacam "dorongan subsisten" dalam masyarakat Jawa. Yang saya maksud adalah dorongan agar tetap bertahan "hidup" ketika ada "serbuan" unsur-unsur baru yang membawa "pandangan dunia" yang lain.
Jika Serat Centhini kita jadikan sandaran penilaian, maka suatu kesimpulan sementara yang bisa kita katakan mengenai Islam dan Jawa adalah bahwa agama itu hanyalah "menambahkan" sejumlah hal baru pada struktur pandangan dunia yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, tak ada yang dibuang dari khazanah lama, dan unsur-unsur baru yang datang belakangan juga tidak diandaikan akan "menggantikan" yang lama.
Jika kita melihat struktur pandangan orang Jawa melalui "optik" Serat Centhini, kelihatan sekali bahwa di sana terdapat "tumpukan" sejumlah unsur-unsur kebudayaan satu di atas yang lainnya, dan membentuk lapisan-lapisan yang tak saling berkaitan. Masing-masing lapisan tidak mengandaikan sebagai terusan dari yang lain dalam suatu bentuk "kontinuitas budaya". Juga tidak mengandaikan adanya semacam "diskontinuitas budaya", di mana lapisan yang satu dianggap mengakhiri lapisan sebelumnya. Artinya, dalam hal ini kita tidak bisa berbicara mengenai "arkeologi" kebudayaan Jawa, setidak-tidaknya jika kita mengandaikan Serat Centhini sebagai dasar studi. Sebab, dalam suatu arkeologi, diandaikan adanya semacam "retakan-retakan" yang memutuskan lapisan-lapisan kebudayaan satu dari yang lainnya, dan masing-masing lapisan merupakan consummation atau penyempurnaan dari yang sebelumnya.
Pengamatan ini memang bernada generalistis, dan sangat spekulatif. Tetapi, jika kita melihat Serat Centhini, maka kesan- kesan seperti yang saya kemukakan itu memang amat kuat sekali.

PASCA-CENTHINI: JAWA "BARU" ?

Bagaimana orang-orang Jawa pada periode-katakan saja-"pasca- eenthini" memahami hubungan antara Islam dan kejawaan? Adakah perubahan yang mendasar dalam pandangan-pandangan yang sebelumnya bernada sinkretis itu? Sebuah kesaksian kontemporer dari keluarga Jawa sebagaimana dituturkan oleh Hersri saya kira layak dikutip di sini (saya ambil dari tulisan Hersri Between the Bars yang dimuat dalam buku Silenced Voices suntingan John H McGlynn yang terbit baru-baru ini). Cerita Hersri ini saya kira mewakili semacam corak yang umum dalam keluarga Jawa dari kelas bawah. Cerita ini terjadi di tahun 1947/1948.
Hersri adalah orang yang tumbuh dalam keluarga abangan dan tidak mengenal "kesetiaan" yang fanatik terhadap agama-agama resmi. Sikap yang longgar ini tercermin dalam jawabannya ketika suatu ketika ia ditanya oleh gurunya di kelas, "Apa agamamu?" Ia kebingungan, karena di rumah tidak pernah memperoleh pengajaran mengenai kesetiaan yang eksklusif terhadap agama tertentu. Kakaknya yang sulung dikirim oleh ayahnya ke Sekolah Katolik di Muntilan, bukan dengan kesadaran mendalam agar anaknya belajar agama itu. Tetapi, Sekolah Katolik di daerahnya lebih menerapkan disiplin yang keras ketimbang sekolah lain, sehingga dengan demikian ayahnya berharap agar kakaknya yang ndablek itu bisa dijinakkan. Kakaknya yang lain belajar di Sekolah Taman Siswa. Sementara kakaknya yang nomor tiga dikirim ke Sekolah Muhammadiyah, juga bukan dengan alasan agar belajar Islam dengan baik, tetapi karena kakaknya yang satu ini tidak diterima baik di sekolah umum atau Protestan. Bapaknya sendiri selalu berkata bahwa semua agama adalah baik, dan sering ikut dalam acara selamatan desa yang biasanya juga menggunakan sejumlah ritual Islam (seperti tahlil, misalnya). Tetapi ia tidak pernah menjadi Muslim. Terhadap pertanyaan yang membingungkan dari gurunya itu, Hersri akhirnya menjawab, "Saya mengikuti semua agama yang ada." Seluruh murid di kelasnya tertawa.
Apakah ini cerminan dari sinkretisme seperti yang disebut di muka? Boleh jadi. Tetapi sikap permisif secara "teologis" ini lama- lama makin pudar, karena proses yang lain juga sedang berlangsung, yaitu apa yang sering disebut sebagai "santri-isasi" orang Jawa. Saya pernah mendengar cerita seorang jemaat Gereja Kristen di kawasan Pulo Mas mengenai proses "baru" yang sedang berlangsung dalam masyarakat Jawa itu. Dahulu, cerita si jemaat ini, jika ada jenazah di desanya (di Madiun), sudah menjadi adat yang lazim bahwa seluruh warga desa dari agama apa pun akan mengurusnya. Sekarang, setelah sejumlah fatwa MUI dikeluarkan mengenai larangan orang Islam terlibat dalam ritual agama lain (termasuk seremoni kematian, tentunya), pelan-pelan orang makin sadar akan "identitasnya" sebagai orang Muslim atau Kristen atau yang lain. Orang Jawa makin menyadari bahwa ada gejala lain yang muncul ke permukaan: gejala untuk menganggap sikap "permisif" secara teologis sebagai hal yang tidak lagi wajar.
Proses ini, tampaknya sudah berlangsung sejak lama, meskipun resonansinya baru tampak dengan "keras" akhir-akhir ini. GWJ Drewes (dalam artikel berjudul Indonesia: Mysticism and Activism, yang dimuat dalam buku suntingan Gustave von Grunebaum, Unity and Variety in Muslim Civilization, [1955]), pernah mengemukakan pengamatannya di tahun 50-an mengenai proses Islamisasi di tanah Jawa. Ia mengatakan bahwa,
[T]he Islamization of Indonesia is still in progress, not only in the sense that Islam is still spreading among pagan tribes, but also in that peoples who went over to Islam centuries ago are living up more and more to the standard of Muslim orthodoxy.
Kecenderungan yang kita lihat akhir-akhir ini tampaknya memang makin cenderung membenarkan apa yang dikatakan oleh Drewes itu. Tetapi semacam caveat tetap harus dikemukakan di sini. Jika kecenderungan makin "ortodoks" di kalangan masyarakat Jawa seperti dikemukakan oleh Drewes itu benar-benar terjadi, maka harus pula dipertimbangkan kenyataan bahwa dalam pemilu tahun lalu, partai- partai Islam mengalami kekalahan yang dramatis. PDI-P yang mempunyai basis luas di kalangan masyarakat Jawa yang abangan, memperoleh suara yang besar.
Apakah yang bisa kita simpulkan dari perkembangan baru ini? Tampaknya memang Jawa-Serat-Centhini belum menunjukkan tanda-tanda kepudaran, bahkan mungkin semacam resiliensi baru mulai dikembangkan. Meskipun perkembangan-perkembangan baru yang menuju ke arah Jawa-pasca-Centhini juga mulai memperlihatkan gejalanya. Dalam pemilu yang terakhir, kontestasi antara kedua Jawa ini kita lihat dalam kontroversi mengenai pemilihan Megawati sebagai calon Presiden.

* Ulil Abshar-Abdalla, Ketua Lakpesdam-NU, Jakarta.



SERAT CENTHINI LATIN; Menggabungkan Mistik dan Syariat

Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. 29/05/2008 08:46:31 YOGYA (KR) - Kedatangan Islam di Jawa bukanlah di daerah Pagan, melainkan ke dalam masyarakat yang penuh tradisi Hindu Budha dan kepercayaan-kepercayaan lain yang telah tertanam berabad sebelumnya, kenyataan ini memaksa Islam untuk bisa menyesuaikan diri dengan tradisi dan kepercayaan Jawa yang sudah ada. Terjadilah saling serap, saling pengaruh antara keduanya, sehingga muncul kelompok-kelompok komunitas Jawa yang beragam. Hal tersebut disampaikan Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Drs H Fauzan Naif MA saat mempresentasikan disertasinya untuk memperoleh gelar Doktor Bidang Ilmu Agama dalam promosi Program Pascasarjana (PPs) UIN Sunan Kalijaga, Selasa (27/5). Disertasi yang berjudul Ahli Syariat dan Ahli Mistik dalam Tradisi Jawa (Telaah atas Serat Centhini Latin) ini dipertahankan di hadapan Promotor Prof Dr Marsono dan Dr Hj Alef Theria Wasim MA serta Tim Penguji yang terdiri Prof Dr Hj Chamamah Soeratno, Prof Dr H Syamsul Anwar MA, Dr H Abdurrahman dan Prof Dr H Djam'annuri MA. Sidang promosi dipimpin Rektor UIN Prof Dr HM Amin Abdullah. Dalam promosi ini, Fauzan meraih predikat sangat memuaskan dan tercatat menjadi Doktor ke-178 PPs UIN. Kelompok-kelompok itu, jelas Fauzan Naif, ada yang menerima perpaduan Islam Jawa (komunitas abangan), komunitas yang ingin mempertahankan kemurnian Islam (ahli syariat) dan kelompok yang menempuh jalan mistik dengan menggabungkan mistik Islam dengan mistik Jawa (ahli mistik). Menurut Fauzan, hubungan, pergumulan, gesekan dan ketegangan antara Islam murni (Islam Syariat) dengan kepercayaan mistik Jawa telah menjadi tema sentral dalam khasanah, budaya dan sastra Jawa. Sebut saja kisah kasus Syekh Siti Jenar dan Pangeran Panggung. Sementara karya sastra Jawa yang berisi tema sentral di atas antara lain Darmogandhul, Serat Cibolek dan Serat Centhini yang ia teliti. Serat Centhini sendiri memiliki banyak ragam yakni Suluk Tembangraras, Serat Canthini Purwadiningratan, Serat Centhini Kusumadiningratan, Serat Centhini Amongraga, Serat Centhini Latin dan sebagainya. (Obi)-k Fauzan sendiri meneliti Serat Centhini Latin, yang menurutnya, merupakan karya sastra Jawa yang monumental dan spektakuler dilihat dari ketebalan halaman (12 jilid) dan aneka ragam isinya, sehingga ada yang menyebutnya sebagai ensiklopedi kebudayaan Jawa. Serat Centhini Latin, mengambil figur penghulu sebagai ahli syariat dan figur Syekh Amongraga sebagai ahli mistik. Ahli syariat juga digambarkan dalam serat ini, sebagai diri Sultan Agung. Promovendus berhasil memberikan kritik dan koreksi terhadap hasil-hasil penelitian atas Serat Centhini yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian yang dilakukan Pigeaud dan Drewes menyatakan, Serat Centhini lebih mengutamakan mistik. Sedangkan, S Soebardi menilai, Serat Centhini menekankan pentingnya syariat. Namun, Fauzan berpendapat, Serat Centhini Latin mementingkan kedua-duanya, baik syariat maupun mistik. Kesimpulan itu, ditegaskan dengan diakhirinya Serat Centhini Latin dengan kisah manunggalnya Syekh Amongraga sebagai figur ahli mistik dengan diri Sultan Agung sebagai figur ahli syariat, yang bisa diartikan, mistik (wiji nugraha) bersatu di dalam syariat(wadhah sakalir). Jadi, keduanya sama-sama penting tak terpisahkan dan ini merupakan model hubungan antara syariat dan mistik, yang menggabungkan keduanya dalam kerangka tunggal. (Obi)

Selasa, 20 April 2010

Tebaran Seks dari Gatoloco hingga Lady Chatterley’s Lover

oleh Asep Sambodja

Seks adalah persoalan yang purba. Adam dan Hawa, manusia pertama di dunia, dikeluarkan dari surga penyebab utamanya adalah persoalan seks. Buah kuldi yang dilarang Tuhan untuk dimakan Adam, kalau merujuk Alquran surat Al A’raaf (’tempat tertinggi’) ayat 19-22, tidak lain yang dimaksud "buah kuldi" adalah sesuatu yang berhubungan dengan aurat, seks. Dan Adam memakan buah kuldi itu karena bujukan setan. Sampai sekarang pun persoalan seks terus bertebaran, hingga ke karya sastra.
Dalam bukunya Khazanah Sastra Indonesia, A Teeuw menempatkan sastra sebagai jalur keempat ke kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Sastra ditempatkan Teeuw pada posisi yang relatif terhormat karena di dalamnya mengandung nilai dan di antaranya merupakan cerminan masyarakat sejamannya yang bisa dijadikan hikmah.
Dalam kaitannya dengan persoalan seks, baik dalam sastra daerah, sastra Indonesia, maupun sastra dunia, pembicaraan seputar perkelaminan itu merupakan suatu ketelanjuran. Gatoloco, Centini, Pengakuan Pariyem, Madame Bovary, dan Lady Chatterley’s Lover adalah sejumlah contoh betapa persoalan seks sudah merambah karya sastra sejak lama. Dalam buku Seks, Sastra, Kita, Goenawan Mohamad sampai pada kesimpulan bahwa persoalan karya sastra bukan pada ada tidaknya seks pada karya sastra, melainkan wajar tidaknya kehadiran seks dalam pengucapan literer.
Gatoloco sesungguhnya bukanlah karya sastra yang bermutu tinggi semacam Mahabarata dan Ramayana. Ia sering dibicarakan karena dua hal, yakni karena adanya ajaran mistik Jawa dan perkara seks yang tersusun secara vulgar. Peredarannya yang sangat terbatas di lingkungan keraton Jawa yang homogen menyebabkan kelahiran Gatoloco dan juga Darmogandul serta Centini tidak menimbulkan ketegangan di masyarakat sekitarnya, yang saat itu belum begitu melek huruf.

Ini berbeda dengan kelahiran Lady Chatterley’s Lover karya DH Lawrence, Ullyses karya James Joyce, Madame Bovary karya Gustave Flaubert, dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag yang sempat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat yang sudah melek huruf dan memperlakukan persoalan kesusilaan dengan ketat, di negara masing-masing. Karya sastra lainnya yang sering menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat pembacanya adalah karya sastra yang menyinggung persoalan agama dan politik, dan terlalu banyak contohnya, seperti Satanic Verses Salman Rushdie, Langit Makin Mendung Ki Panjikusmin, dan Bumi Manusia, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer.
A Sudewa, dalam tulisannya "Wanita Jawa: Antara Tradisi dan Transformasi" (yang dihimpun dalam Citra Wanita Jawa dan Kekuasaan Jawa karya Budi Santoso), menyebutkan Serat Gatholoco berisi perdebatan ajaran tasawuf, berisi dialog antara guru laki-laki dengan murid perempuan dengan menggunakan kata-kata yang kasar dan terkadang jorok. Sang guru bernama Gatoloco, yang berarti alat kelamin laki-laki. Sedangkan sang murid bernama Perjiwati, yang berarti alat kelamin perempuan.
Sementara dalam Bakat Alam dan Intelektualisme, Subagio Sastrowardoyo menyebutkan Gatoloco sebagai sastra Jawa yang berisi ajaran mistik Islam Jawa yang tergolong klasik. Mistik dalam karangan itu diuraikan melalui simbol seksual. Buku tersebut merupakan karya sastra yang mengandung pengalaman erotik dengan uraian plastis sampai kepada kejadian yang sekecil-kecilnya. Gatoloco, Centini, dan Darmogandul diistilahkan Subagio Sastrowardoyo sebagai ensiklopedi kebudayaan Jawa yang mengetengahkan berbagai kehidupan sosial, moral, dan agama dalam masyarakat Jawa, melukiskan adegan persetubuhan dan perlambangan perkelaminan dengan sangat nyata dan hidup.
Gatoloco secara ekstrim sekali menggambarkan proses persetubuhan. Gatoloco yang menjadi tokoh utama di dalam karya mistik itu adalah personifikasi dari asas kelelakian. Ia dirupakan sebagai laki-laki buruk wajah dan bentuknya, tubuhnya kerdil, kulitnya seperti sisik, tidak bermata, tidak berhidung, dan tidak berkuping. Gatoloco selalu ditemani oleh bujangnya yang bernama Darmogandul. Dari nama dan segala simbolik di sekitar kedua tokoh ini tersarankan kepada pembaca bahwa yang digambarkan adalah bentuk alat kelamin laki-laki.
Gatoloco dan Darmogandul mengembara beberapa lama sambil berdebat mengenai filsafat dan mistik dengan ahli-ahli agama. Mereka akhirnya bertemu dengan putri Perjiwati yang tinggal di gua Terusan. Dari perlambangan dan lukisan telah kentara pula bahwa tokoh perempuan ini adalah personifikasi dari asas perempuan. Dalam satu adegan dilukiskan bagaimana Gatoloco berhasil memasuki gua tersebut untuk menjemput Perjiwati, yang diuraikan dengan plastis dan detil, terkadang cenderung menjadi kasar di sana-sini tentang proses persetubuhan.
Sementara dalam Serat Centhini bertebaran pula adegan-adegan erotik yang menimbulkan nafsu birahi. Sunan Pakubuana V atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, yang memprakarsai lahirnya Serat Centhini, sempat kecewa pada ketiga pujangga yang menulis Serat Centhini, yakni Kyai Ngabehi Ranggasutrasna, Kyai Ngabehi Yasadipura II, dan Kyai Ngabehi Sastradipura. Alasannya sederhana, ketiga pujangga keraton itu tidak jelas mengungkap masalah senggama atau tulisan semacam Kamasutra, sebuah karya India yang menggarap persoalan seks secara serius. Sunan Pakubuana V pun kemudian mengambil alih penulisan Serat Centhini yang berjilid-jilid itu. Mulai Jilid 5-10 pun kemudian bertebaran adegan erotik karya Sunan Pakubuana V secara jelas dan tuntas. Adegan ini dapat ditemui pula dalam Suluk Tambanglaras karya Sumahatmaka.
Dalam khasanah sastra Indonesia pun, terutama dalam Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag, juga bertebaran adegan seks antara Pariyem dengan Raden Bagus Ario Atmojo dan antara Pariyem dengan pacar pertama dan teman sekampungnya, Sokidi Kliwon.
Ada 24 halaman dari 192 halaman cerita Pengakuan Pariyem yang berbicara tentang seks. Dan itu dituturkan secara blokosuto atau apa adanya. Salah satu adegan percintaan antara Pariyem dengan Raden Ario Atmojo itu seperti ini:
//"Lha, Den Bagus Ario Atmojo, betapa sering dia kumat manjanya. Wah, wah, kalau sudah begini, saya dibikin setengah mati. Lha, sudah gede kok suka merengek, kayak bocah kehilangan bonekanya. Apalagi kalau saya goda, besok saja ah, besok saja, saya sedang capek kok. Tapi saya juga pasang gaya: melepas setagen berganti kain, copot kebaya ganti yang lain.
Wuah-wuah, dia pasti terus merajuk. Tidak jarang dia pun ngamuk-ngamuk. Bilangnya, dia tresna banget sama saya. O allah Gusti nyuwun ngapura. O, saya tahu itu omongan gombal. Tapi biarpun gombal saya senang. Apabila seorang pria naik birahi, tingkah lakunya penuh emosi. Tingkah lakunya tak berbeda, sama dengan binatang piaraannya. Otaknya macet, nalarnya buntet, dan perasaannya terbakar.
Demikian pun Den Bagus Ario Atmojo. Saya dibopongnya, diambunginya. Saya sibaringkan di atas amben, tempat tidur saya bila malam, tempat ngaso saya bila siang. Dalam keriat-keriut diseling sunyi, saya digulatinya habis-habisan. Tak malam, tak siang, tak sore, waktu habis di atas bale-bale. Dalam dahaga saya reguk air murni, jagad merasuk ke dalam sanubari. Oh ampun ya ampun! Anunya gede banget lho. Saya marem meladeninya.//
Komentar Subagio Sastrowardoyo atas Pengakuan Pariyem yang dimuat di majalah Tempo menunjukkan sikap yang bisa menerima atas kehadiran buku tersebut, yang memang sempat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat pembaca pada awal kemunculannya. Dalam pandangannya, Subagio menilai Maria Magdalena Pariyem berbeda dengan Maria Magdalena di dalam Kitab Injil yang sadar akan dosanya. Maria Magdalena Pariyem dari Gunung Kidul, Yogyakarta, ini tidak mengenal dosa. Dia tidak merasa terikat kepada dogma-dogma agama dan membenarkan naluri-naluri alam. Kehidupan mengalir dengan wajar dan tidak ada penyesalan-penyesalan yang menggoda batinnya. Pariyem lebih dekat kepada kejawaannya daripada kepada agama Katoliknya, seperti yang terucap dalam pengakuannya, "Bila dia itu orang Jawa tulen, tak usah merasa perlu ditanya — perkara dosa."
Kehidupan seks Pariyem yang dibentangkan dalam buku ini tanpa disidhem dan didekam, juga sekadar mengikuti aliran alam yang tidak terhambat oleh cuaca batin yang gelap. "Saya mau mengalir saja, saya krasan ada di dalamnya." Dia tidak gusar ketika hilang keperawanannya oleh teman sekampungnya, Sokidi Kliwon. Juga kemudian setelah menjadi babu (pembantu) di Yogya, ia melayani kebutuhan bermain cinta putra majikannya dengan lega lila (ikhlas) pula. Bahkan setelah hubungan itu membuahkan anak, ia rela menerima keturunan itu, dan tidak menjadi soal baginya apakah ia akan dinikahi atau tidak.
Dalam bukunya Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan: Seberkas Catatan Sastra, Subagio Sastrowardoyo yang menyoroti moralitas dalam kesusastraan mengatakan, moralitas dalam sastra dinilai dari dasar pertimbangan seberapa jauhnya kandungan karya sastra memenuhi ataupun melanggar tanggapan masyarakat pada umumnya mengenai kepatutan hidup yang disebut kesusilaan.
Dalam sejarah kesusastraan dunia, beberapa karangan yang kemudian terkenal sebagai karya sastra yang besar artinya bagi perkembangan sastra pada suatu waktu pernah mengalami pelarangan di suatu negara. Ullyses karya James Joyce pernah dilarang beredar di Amerika Serikat, Lady Chatterley’s Lover karya DH Lawrence pun pernah dilarang beredar di Inggris dengan alasan bahwa roman-roman itu terlalu terbuka mengetengahkan hubungan seks. Terutama pada bagian yang menguraikan pertemuan-pertemuan Lady Chatterley dengan bujang (pembantu) pemelihara binatang piaraannya di sebuah gubuk, karena adanya dorongan perasaan Lady Chatterley yang tidak puas hidup dengan suaminya. Hanya saja, setelah Amerika dan Inggris dikuasai kelas menengah yang tidak konservatif, maka kedua karya tersebut dapat beredar kembali.
A Teeuw dalam Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, yang menggunakan pendekatan teori resepsi, melihat adanya pergeseran norma sosio-budaya dalam pelarangan buku Lady Chatterley’s Lover. Dalam sejarah sastra Inggris, buku DH Lawrence Lady Chatterley’s Lover yang bentuk aslinya dianggap melanggar tata susila, sehingga mau tak mau buku itu harus diubah, dibersihkan, supaya penulisnya dapat luput dari hukuman penjara. Jauh kemudian bentuk asli baru memungkinkan diterbitkan tanpa bahaya. Jelaslah kasus semacam itu sangat menarik dari segi resepsi sastra dalam masyarakat: karya yang pada masa tertentu dianggap melanggar tata susila dan berbahaya, beberapa puluh tahun kemudian ternyata dapat diterima, setidaknya tidak dapat diadili lagi, karena perubahan norma susila yang menjadi lebih longgar.
Persoalan seks akan menjadi sesuatu yang lazim dalam sejarah manusia sejak awalnya hingga akhirnya. Bahkan Tuhan pun tidak pernah mengajarkan hal itu pada Adam sebelumnya, selain mengajarinya nama-nama pohon dan binatang. Namun tidak perlu ada mata pelajaran atau kuliah khusus untuk mengerti dan memahami soal seks, yang bisa membawa persoalan yang berbeda-beda dalam masyarakat heterogen.

SASTRA KARATON DAN UPAYA KONTROL PENGUASA

Karaton sebagai sumber budaya Jawa memiliki hasil seni sastra yang tersimpan di sasana pustaka. Sasana pustaka merupakan perpustakaan karaton yang menyimpan sebagian besar hasil seni sastra karaton. Perpustakaan ini didirikan oleh Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwono X pada tanggal 20 Januari 1920. Letak perpustakaan ini ada disebelah selatan Sasanasewaka, berdekatan dengan sasana Handrawina yang sekarang sedang dibangun. Didalamnya tersimpan buku hasil seni sastra, buku, majalah, dan bahan terbitan antara lain :

Naskah manuskrip (tulisan tangan atau carik) sebanyak 726 naskah yang sekarang sudah tersimpan dalam bentuk mikro film
b. Buku cetak huruf Jawa sebanyak 2000 buku.
c. Buku yang berbahasa Belanda sebanyak 1000 buku
d. Buku-buku terbitan Balai Pustaka sebanyak 1100 buku
e. Buku-buku dari berbagai instansi sebanyak 600 buku
f. Kurang lebih 200 majalah dan koran lama (sebelum kemerdekaan Republik Indonesia)
Khusus mengenai naskah manuskrip sebanyak 726 buah seluruhnya sudah disusun dalam bentuk katalog oleh dua orang. Kedua orang itu yaitu (1) Nikolous Girandet dari Universitas Heidelberg Jerman dan (2) Nancy K. Florida dari Ford Foundation Amerika Serikat. Dari kedua katalog itu dapat diperoleh gambaran ringkas mengenai isi naskah. Berdasarkan isinya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a Babad atau sejarah.
b.Tatacara dan upacara
c.Keris
d.Pedalangan dan wayang
e Ilmu bahasa/paramasastra
f.Mistik Jawa
g. Perbintangan atau astronomi
h.Mistik dan tari
i. Islam dalam sejarah perkembangannya

Berdasarkan jumlah dan koleksi buku perpustakaan sasana pustaka termasuk perpustakaan lama yang besar. Perpustakaan sebagai sumber inspirasi cukup menyimpan bahan yang melimpah. Bahan yang melimpah ini untuk pemakaiannya ada kendala yaitu kendala mengenai bahasa dan tulisan. Sebagian bahasanya tertulis dalam huruf Jawa dan tentunya juga terungkap dalam bahasa.
Untuk mengatasi kendala itu perlu ditempuh adanya usaha transkripsi dan terjemahan. Dengan usaha ini fungsi Sasana Pustaka sebagai sumber informasi dan sumber inspirasi dapat diwujudkan. Demi kelancaraan usaha ini perlu juga adanya peningkatan pengelolaan. Sebab perpustakaan dengan banyak buku harus seimbang dengan jumlah pengelolanya.

SASTRA JAWA DULU DAN KINI
Perkembangan satra Jawa pada abad ke-18 dan ke-19 sering disebut sebagai “renaisans sastra klasik” (maksudnya: sastra Jawa Kuno). Sebutan “renaisans” dalam penelitian-penelitian mutahir ditolak, jika yang dimaksudkan dengan “renaisans” itu adalah munculnya kegairahan dan kegiatan baru untuk mengkaji sastra Jawa Kuno. Yang terjadi adalah penggubahan karya-karya sastra Jawa Kuno yang bermantra kakawin menjadi karya-karya sastra Jawa yang bermantra macapat (tembang macapat)
Hal ini menjadi jelas dalam kasus Serat Wiwaha Jarwa (Serat Mintaraga), gubahan Paku Buwana III (1749-1788). Paku Buwana III tidak langsung bekerja degan teks Kawi (Jawa Kuno), tetapi mengubah teks prosa yang sudah menjadi Serat Wiwaha Jarwa yang bertempat macapat.
Sumber-sumber sastra yang dimanfaatkan di keraton Surakarta itu tampaknya berasal dari kegiatan sastra pada zaman Kartasura, khususnya kegiatan sastra yang justru dilakukan di luar karaton, yakni padepokan-padepokan di wilayah Merapi-Merbabu.
Khasanah sastra zaman Kartasura ini kemudian diwarisi oleh para pujangga dan literati Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta saat terjadinya pembagian kerajaan itu.

Abad Baru
Serat Wiwaha Jarwa gubahan Paku Buwono III mulai di tulis pada tahun 1704 Jawa (1778 Masehi) atau pada awal “abad baru” menurut kalender Jawa.
Ada kepercayaan bahwa pada setiap abad baru akan muncul. Jika demikian dapatlah ditafsirkan bahwa pengubaha Serat Wiwaha Jarwa merupakan imbangan terhadap penciptaan Serat Suryaraja, yang ditulis oleh Putra Mahkota (kelak: Hamengku Buwono II) di Keraton Yogyakarta pada tahun 1700 Jawa (1774 masehi). Disitu tampak adanya kompetisi legitimasi Surakarta ataukah Yogyakarta yang merupakan “Keraton baru” yang sah menggantikan keraton kartasura.
Dengan menggubah serat wiwaha jarwa, paku buwana III menampilkan diri sebagai “raja” sekaligus “pendeta” atau “raja” sekaligus “pujangga”. Tugas seorang pujangga adalah menulis dalam rangka legitimasi kedudukan sang raja.
Srat wiwaha jarwa memuat kisah Arjuna yang bertapa berhasil menaklukan Niwatakawaca dan memperoleh pahala dari kahyangan. Disini legitimasi kerajaan dihubungkan dengan Arjuna, yang dianggap sebagai leluhur raja-raja Jawa.
Serat Suryaraja mengambil bentuk babad yang memuat kisah Keraton Yogyakarta dengan menyamarkan tokoh-tokohnya menjadi tokoh-tokoh mistis. Didalamnya dapat dilacak bagaimana Keraton Yogyakarta menghadapi masalah-masalah dalam menyongsong “abad baru”.
Putra mahkota (kelak: Hamengku Buwono II) ini juga kiranya penulis Babad Mangkubumi, yang mengisahkan masa pemerintahan Mangkubumi (Hamengku Buwono I) sesudah pembagian kerajaan pada tahun 1755.
Bagian pertama yang merupakan bagian terbesar dari babad ini, selesai ditulis pada tahun 1773. Bagian kedua ditambahkan sesudah wafatnya Sultan Mangkubumi dan putra mahkotanya, sangat keras mengritik. Mangkunegoro, tidak mengacuhkan Paku Buwono III, dan melawan Paku Buwono IV.
Penulisan babad yang penting juga di keraton Yogyakarta adalah penulisan Babad Keraton oleh Raden Tumenggung Jayengrat pada tahun 1703 Jawa (1777 Masehi). Babad ini memuat kisah dari Adam sampai jatuhnya keraton Kartasura. Semula babad ini berakhir dengan berdirinya keraton Kartasura, kemudian dilanjutklan dengan jatuhnya keraton itu. Dengan jatuhnya keraton Kartasura, maka karaton Yogyakarta merupakan karatopn baru pada awal abad baru, yang merupakan pengpengganti langsung dan sah dari karaton Kartasura.
Melihat dari kisahnya, bisa dikatakan Babad Keraton bersifat memandang ke belakang. Ini berbeda dengan serat Suryaraja yang bersifat profetis dan memandang ke masa depan.

Yosodipuro
Beberapa waktu kemudian pada pergantian abad ke-18-19 dilingkungan keraton Surakarta, tampil pujangga Raden Ngabehi Yosodipuro I (1792-1803). Banyak karya sastra disebut-sebut sebagai gubahan atau tulisan Yosodipuro I. Namun, penelitian Ricklefs akhir-akhir ini menyimpulkan bahwa sekurang-kurangnya ada enam karya harus diragukan atau ditolak sebagai karya Yosodipuro I, yakni Tajusalatin, menak, Iskandar, Sewaka, Arjunawiwaha jarwa, dan Cebolek.
Yosodipuro I inilah yang menggubah kakawin-kakawin lama menjadi karya-karya bertembang macapat. Umpamanya: serat serat rama (dari kakawin ramayana), serat Bharatayuda (dari kakawin Bharatayuddha), dan serat Arjuna sasrabahu (diperbaharui oleh Yosodipuro II; dari Kakawin Arjunawijaya). Mengingat kasus serat wiwwaha jarwa gubahan Paku buwono III, mungkin Yosodipuro I juga bekerja atas dasar terjemahan prosa yang telah ada, yang dibuat pada jaman Kartasura. Selain itu Yosodipuro I juga menggubah serat Dewaruci.
Serat rama memuat kisah rama yang bertempur melawan rahwana untuk memperoleh Sinta. Ajaran penting yang terdapat dalam serat rama adalah ajaran rama kepada wibisana tentang sikap dan perilaku seorang raja dalam memerintah rakyat. Ajaran itu dikenal dengan Asthabrata, delapan sikap dan perilaku seorang raja sesuai dengan watak dan perilaku delapan dewa.
Ajaran Asthabrata banyak dikaji, dikutip, dan digubah kembali, sehingga menghasilkan banyak versi, baik dalam bentuk tembang maupun prosa. Dalam pentas wayang kulit, ajaran ini juga dituturkan dalam berbagai konteks cerita, antara lain dalam lakon Makutharama.
Serat Bratayuda memuat kisah pertempuran Pandawa Korawa yang memperebutkan Kerajaan Hastina. Secara alegoris kisah ini membayangkan sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Suksesi kerap kali melibatkan perang saudara. Dalam upacara bersih desa dan upacara nyadran (mengirim doa untuk para leluhur dan mereka yang sudah meninggal) kerap kali dipentaskan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Bratayuda. Pembersihan Bumi dan penyucian dosa bagi mereka yang telah meninggal dikaitkan dengan gugurnya para pahlawan Bratayuda.
Serat Arjunasasrabahu memuat kisah kelahiran Rahwana dan saudara-saudaranya, serta pertempuran Rahwana melawan Arjunasasrabahu. Berkat salah paham atas teks Jawa kuna, kisah pertemuan Wisrawa-sukesi menimbulkan ngelemu sastra jendra, ilmu tentang hakikat terjadinya manusia yang dianggap rahasia.
Serat Dewaruci memuat kisah Bima yang atas perintah Drona mencari air suci (tirta perwira sari) dan akhirnya berjumpa dengan Dewaruci. Dalam wejangan Dewaruci kepada Bima termuat ajarang tentang hakikat diri manusia. Dalam pentaswayang kulit, Lakon Dewaruci kerap kali dianggap berpasnagan dengan lakon Mintaraga.
Lakon Dewarucci menampilkan pencarian manusia sampai menemukan dirinya yang sejati. Penemuan diri yang sejati ini merupakan modal untuk melaksanakan tugas ditengah masyarakat. Sedangkan lakon Mintaraga menampilkan usaha manusia untuk mendisiplinkan diri sehingga sanggup melaksanakan tugas membina kesejahteraan dunia (mamayu hayuning buwana).

“Babad Giyanti”
Yosodipuro I juga menulis babad yang penting, yakni Babad Giyanti. Babad ini tidak mencantumkan tanggal penulisannya, tetapi diperkirakan paling lambat sekitar 1803 babad itu telah selesai ditulis.
Yang menarik perhatian, dalam babad ini tampak Yosodipuro I mengagumi Sultan Mangkubumi dan menjadikannya tokoh utama. Ini tentu sesuatu yang istimewa karena Yosodipuro adalah pujangga keroton Surakarta, sementara Sultan Mangkubumi adalah raja Keraton Yogyakarta.
Perhatian terhadap babad di lingkungan Keraton Surakarta tampak dari munculnya babad pakepung dan babad tanah jawi. Babad pakepung mengisahkan krisis tahun 1790 di Surakarta. Babad ini tampaknya ditulis oleh Raden Ngabehi Yosodipuro II.
Babad Tanah Jawi mulai disusun pada pemerintahan Paku Buwono IV (1788-1820). Penyusunan babad ini mungkin berhubungan dengan usaha Paku Buwono IV untuk mengkukuhkan kedudukan dan kekuasaan sebagai raja.
Paku Buwono IV menuangkan ajarannya untuk anak-cucu, kerabat dan abdinya dalam Serat Wulangreh. Paku Buwono IV memang banyak menulis serat (ajaran), yang dapat ditafsirkan sebagai pedoman dan sarana kontrol perilaku di lingkunan istana.
Menarik mengkaji soal Pakubuwono IV ini, karena, darinyalah lahir penggagas utama Serat Centhini, yakni Pakubuwono V, penggantinya.

Senin, 19 April 2010

Sastra Kuno Serat "Centhini" Porno?

RUU APP sekonyong- konyong muncul lagi dengan nama baru, RUU Pornografi atau RUU Porno. Disebut ”sekonyong-konyong” karena anggota parlemen RI terhormat telah meloloskan draf terbaru tanpa pemberitaan luas kepada masyarakat.
Perubahan nyata dari RUU Porno ini adalah penciutan menjadi 52 pasal, dari sebelumnya 93 pasal. Napasnya masih sama, yakni pengaturan moral seseorang. Pendefinisian pornografi pun masih asal-asalan dan bisa-bisa serat Centhini, sastra kuno Jawa, kena getahnya.
Menurut RUU Porno, definisi pornografi terbagi dalam tiga jenis, pornografi ringan dan/atau pornografi berat serta pornografi anak. Jelasnya adalah sebagai berikut.
”Pornografi ringan meliputi segala bentuk pornografi yang menggambarkan secara implisit kegiatan seksual termasuk bahan-bahan yang menampilkan ketelanjangan, adegan-adegan yang secara sugestif yang bersifat seksual atau meniru adegan seks. Pornografi berat meliputi segala bentuk pornografi yang menggambarkan tindakan seksual secara eksplisit seperti alat kelamin, penetrasi, dan hubungan seks yang menyimpang dengan pasangan sejenis, anak, orang yang telah meninggal dan/atau hewan. Pornografi anak meliputi segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau citra anak atau ibu hamil sebagai subyek ataupun obyek yang diproduksi, baik secara mekanik atau elektronik atau bentuk sarana lainnya”.
Jadi, untuk pornografi dewasa didefinisikan baik secara implisit (ringan) maupun eksplisit (berat). Keduanya memiliki sanksi yang cukup berat, 1 tahun hingga 15 tahun penjara dengan denda hingga ratusan juta rupiah.
Secara nalar sederhana, di negara mana pun, yang dimaksud pornografi berat tentu dilarang sama sekali. Itu sebabnya, tidak ada orang yang berjalan telanjang di jalan selain orang tersebut mengalami gangguan jiwa. Sedangkan untuk pornografi anak, bukankah Undang-Undang Perlindungan Anak telah mengatur semua ini? Bila sanksi untuk pornografi anak kurang berat, cukup merevisi undang-undang ini dan pelaku dihukum seberat-beratnya kalau perlu dihukum seumur hidup.

Untuk apa undang-undang baru?
Menurut hemat saya, Indonesia terlalu rajin membuat undang-undang baru yang tidak ada manfaatnya, tidak cost effective. Pengawasan pornografi dengan definisi ajaib yang diajukan anggota parlemen akan memakan biaya cukup besar dan juga keresahan sosial. Bagaimana tidak, menurut RUU Porno, setiap anggota masyarakat berhak melapor bila dianggap ada yang ”berbau-bau” atau implisit memuat kesan pornografi, baik dalam bentuk gambaran maupun tulisan, bahkan mempertontonkan kegiatan yang menggunakan tubuh dengan gerakan yang bermuatan pornografi (Pasal 10, Pasal 22, Pasal 23). Bukankah ini definisi pornoaksi?
Jadi, bila saya yang sudah berumur 40 tahunan ini memakai kebaya yang menonjolkan sedikit buah dada saya, dapat dianggap melanggar RUU itu? Apalagi saya kemudian berlenggak lenggok menari serampang dua belas, dalam RUU ini, dapat dianggap melakukan kegiatan pornografis dan dipenjara atas laporan tetangga pula.
Coba simak serat Centhini yang memuat tulisan-tulisan tentang persenggamaan suami-istri, birahi, dan tubuh, apakah sastra kuno ini akan dilarang? Bagaimana nasib para penulis kontemporer yang sudah dengan susah payah mengumpulkan bahan karya abad ke-19 ini dan memperkenalkan budaya Jawa kepada kalangan internasional, apakah mereka akan dipenjara? Ingat, serat Centhini menggambarkan kehidupan dengan latar belakang Islam.
Dapatkah Anda bayangkan penuh sesaknya penjara di Indonesia dan kebanyakan akan dipenuhi perempuan karena bagaimanapun perempuan memiliki daya tarik seksual yang kuat (sudah dari sononya bung!). Dalam perkembangan sastra sekarang, penulisan soal tubuh perempuan merupakan ekspresi sastra yang sangat berharga. Berapa banyak penulis perempuan yang berekspresi tentang tubuh mereka akan masuk penjara? Bukankah ini kerugian yang tidak ternilai besarnya bagi kemajuan sastra di Indonesia? Apakah negara tidak mempunyai pekerjaan yang lebih penting?

Mengintimidasi
Hukum dibuat untuk mengatur ”lalu lintas” masyarakat dengan seadil-adilnya dengan cara yang bermartabat dan penuh tanggung jawab. Negara demokratis menuntut pembuatan hukum yang dapat menunjukkan kemanusiaan yang setara dan seutuhnya. Martha C Nussbaum, seorang profesor Departemen Filsafat dan Hukum, Universitas Chicago, menandaskan, bila menghargai warganya, negara akan menyusun atau menjaga hukum yang benar-benar melindungi kemajemukan masyarakatnya serta menunjukkan hormat sebesar-besarnya kepada masyarakatnya.
Hukum yang dibuat untuk kepentingan kelompok mayoritas dengan maksud menindas kelompok minoritas merupakan hukum yang bukan dibuat atas asas keadilan, tetapi atas asas mempermalukan, menghukum, dan menghina kelompok lemah. Demokrasi bukan hanya soal mayoritas. Demokrasi adalah soal keadilan, melindungi kelompok lemah. Sepanjang sejarah, hukum yang menghina dan mengecilkan martabat seseorang adalah hukum yang bertujuan memusnahkan kelompok tertentu apakah itu berdasarkan etnis, agama, ideologi, ataupun jender.
Bagi kebanyakan perempuan, pertanyaan yang tersisa adalah bila RUU Porno ini jelas-jelas bukan masalah pengaturan materi pornografi karena sudah ada KUHP yang melarang bahan pornografi. Bukan pula karena pornografi anak, karena sudah ada Undang-Undang Perlindungan Anak.
Lalu, apa tujuan sebenarnya RUU Porno ini? Sejarah mencatat, undang-undang yang tidak masuk akal selalu merupakan undang-undang yang mendiskriminasi perempuan. Mungkinkah tujuan RUU Porno ini untuk mendiskriminasi tubuh perempuan? Sebegitu menjijikkankah tubuh perempuan sehingga perlu diatur?
Kalaupun perempuan mempertontonkan kakinya yang mulus dan buah dadanya yang montok, percayalah, negara tidak akan runtuh! Apalagi payudara perempuan terbukti memberikan kehidupan dan bukan kematian.

Dikutip dari Kompas, Senin, 21 Juli 2008, dari tulisan karya Gadis Arivia

Gadis Arivia Pengajar di Departemen Filsafat, FIB UI; Pendiri Jurnal Perempuan dan Koordinator Aliansi Mawar Putih

Syair Pambuka Serat Centhini dalam Aslinya

SINOM

1. Sri narpadmaja sudigbya, talathing nuswa Jawi, Surakarta Adiningrat, agnya ring kang wadu carik. Sutrasna kang kinanthi, mangun reh cariteng dangu, sanggyaning kawruh Jawa, ingimpun tinrap kakawin, mrih tan kemba karya dhangan kang miyarsa.
2. Lajere kanang carita, laksananing Jayengresmi, ya Seh adi Amongraga, atmajeng Jeng Sunan Giri, kontap janma linuwih, oliya wali mujedub, paparenganing jaman, Jeng Sultan Agung Mantawis, tinengran srat kang Susuluk Tambangraras.
3. Karsaning kang narpaputra, baboning pangwikan Jawi, jinereng dadya carita, sampating karsa marengi, nemlikur Sabtu Paing, lek Mukaram wewarseku, Mrakeh Hyang Surenggana, Bathara Yama dewa ri, Amawulu Wogan Suajag sumengka.
4. Pancasudaning Satriya, wibawa lakuning geni, windu Adi ansa Sapta, sangkala angkaning warsi. Paksa sudi sabda ji, ringkang pinurwa ing kidung, duk kraton Majalengka, Sri Brawijaya mungkasi, wonten maolana sangking nagri Juddah
5. Panengran Seh Walilanang, praptanira tanah Jawi, kang jinujug Ngampeldenta, pinnggih sang maha resi, araraosan ngelmi, sarak sarengat Jeng Rosul, nanging tan ngantya lama, linggar saking Ngampelgadhing, ngidul ngetan anjog nagri Balambangan.
6. Lereh dhusun Purwasata, raja Balambangan nagri, putrannya estri sajuga, ing warna tuhu linuwih, sedheng mepek birahi, kataman gerah sang ayu, madal sakeh usada, sang nata agung prihatin, kyana patih Samboja sowan mangarsa.
7. Pukulun amba tur wikan, wonten molana ngajawi, kakasih Seh Walilanang, sangking ing Juddah nagari, ing Purwasata kampir, yen pinareng tyan pukulun, prayoga ingaturan, manawi karsa sang yogi, sung usada gerahe putra narendra
8. Mangkana dupi miyarsa, aturing sang nindyamantri, langkung kapareng in driya, nulya utusing ngaturi, sapraptaning jro puri, sang nata gupuh amethuk, riwusnya tata lenggah, miwah katuran pambagi, amedharken kang dadnya rentengin driya.
9. Seh Walilanang wus sagah, nulya ingusadan aglis, gerahe sang putri mulya, ramebu sukanya ngenting, karsanya narapati, Seh Wali pinundhut mantu, ing karya tan winarna, dennira amangun kardi, atut runtut lir mimi lawan mintuna.
10. Wus lami neng Balambangan, Seh Wali matur sang aji, kinen santun agamEslam, sarengat Nabi sinelir, nata tan mituruti, seh cuweng tyas lolos dalu, kesah maring Malaka, garwa tinilar (ng)garbini, sang retna yu sakalangkung kawlasarsa.
11. Sapengkere sang pandhita, pangering agung (n)dhatengi, kawula kathah kang pejah, benduning sri narapati, maring rekyana patih, den lungsur darajadipun, ki Samboja sru merang, kesah maring Majapahit, anyuwita Sang Aprabu Brawijaya.
12. Kaanggep tur kinasiyan, tinandur aneng in Giri, nahan tan antara lama, Ki Samboja angemasi, pinetak Giru ugi, sadaya tilaranipun, lastantun ingkang garwa, kaceluk Nyi Randha Sugih, angluwihi samoaning wong dedagang.
13. Mangsuli ing Blambangan, rajaputri kang (ng)garbini, wus ambabar mijil priya, warnanya kalangkung pekik, karsanira sang aji, linabuh mring samudra gung, sinadhahan gendhaga, sawuse aneng jaladri, gya ingalap juragan kang lagya layar.
14. Binuka ingkang gendhaga, isi jabang bayi pekik, ingaturken mring nyi randha, langkung trustanireng galih, dhasar datan sisiwi, mila sihira kalangkung, lir putra (ng)gennya yoga, sinung aran Santrigiri, sawusira yuswa kalih welas warsa.
15. Nyi randha lon ngandika, dhuh kulup sira wus wanci, pisah lawan raganingwan, aywa kulineng gegramin, becik ngupaya ngelmi, sarengan Jeng Nabi Rosul, kene ana pandhita parab Sunan Nganpelgadhing, Surapringga prayoga kawulanana.
16. Sawulange Sang Pandhita, pitutuhen lair batin, poma kaki ywa pepeka, cinekak cariyosneki, Santrigiri wus manjing, nyakabat mring jeng sinuhun, siyang dalu tan pisah, lan putra ing Ngampelgadhing, kan sinuhun ran ingkang rama Santri Bonang.
17. Tulus dennira kakandan, tan ana salayeng kapti, pangaose wus widagda, sampurna sakehing ngelmi, karsanya rarywa kalih ayun kesah angelangut, ngaos mring nagri Mekah, mancal saking Ngampelgadhing. nitih palwa labuh jangkar neng Malaka.
18. Kapanggih Seh Walilanang, datan samar ing salirang. kandheg neng nagri Malaka, maguru Seh Wali Siding, sawusing (n)tuk sawarsi, sadyanira rajasunu, dumugekaken karsa, lajeng mring Mekah nagari. Walilanang sakalangkung datan rembag.
19. Kinon wansul ing ngajawa, maring wukir Ngampilgadhing, sarta pinaringan jungkat, kalawan jubah kulambi, nahan ta santrigiri, sampun sinungan jujuluk, nengih Prabu Setmata, Santribonang sinun nami, Prabu Nyakrakusuma Susunan Bonang.
20. Nulya bidhal angajawa, wangsul maring Ngampelgadhing, pinanggih sang maha tapa, wus katur sasolahneki, sang resi ngandika ris, kawruhanta iku kulup, Seh Walilanang Mlaka, mitrungsun saeka kapti, ing pangawruh lair batin tan sulaya.
21. Lah jebeng siryo muliya, maring ing ngarameng Giri, kawruhhanamu renanta, ing samengko nandhang sakit, tumekeng ngajalneki, mung nganti tekamu kulup, renanta yen palastra, kuburen aneng ing Giri, tunggalena kalawan sudarmanira.
22. Lawan sunideni sira, jumeneng Susunan Giri, jujuluk Prabu Sermata, tembe ing sapungkur mami, sira ingkang (m)bawani, jumeneng wali linuhung, sinuhun sak-rat Jawa, kabeh padha welas asih, kalengkengrat sinebut raja pandhita.
23. Nanging ywa kaliru tanpa, dudu ratu mangku nagri, sira wus tan kakilapan, obah osik donya ngakir, wus cukup wekas mami, Sunan Giri nembah nuhun, anulya ngraup pada, lengser saking Ngampelgadhing, tanpa kanthi gancangin cariyos prapta.

Enaknya Penelikungan Islam-Jawa

Pamomong, Suara Merdeka, Minggu, 8 September 2002

Oleh : Sucipto Hadi Purnomo

PERTEMUAN Islam dan Jawa secara stereotipe digambarkan berjalan amat damai dan mulus. Islam yang universal dan Jawa yang akomodatif dianggap sebagai pilar penyangga utamanya. Namun di sisi lain, Islam Jawa sering dituding sebagai penyimpangan dari Islam, bahkan sebagai Hindu atau Hindu-Budhha, sebagaimana anggapan kalangan muslim puritan dan banyak sejarawan-antropolog (kolonial). Benarkah relasi Islam-Jawa tampil dalam wajah dan wacana tunggal semacam itu?
Simaklah cerita setengah legendaris berkaitan dengan runtuhnya Majapahit, peralihan dari agama Hindu ke agama Islam, sebagaimana diungkap Zoetmulder dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1985). Dilukiskan, Sultan Demak merebut Keraton Majapahit dengan kekerasan, lalu melaporkan peristiwa itu kepada rapat Wali Sanga yang konon kabarnya merintis dan mempropagandakan agama baru itu. Menurut laporannya, ia menyerahkan keraton itu kepada para pengikutnya untuk dirampok dan atas perintahnya semua buku buda dibakar. Yang dimaksud adalah buku dari periode Hindu-Jawayang dianggap keramat.

Dengan tindakan yang radikal itu,tradisi dan agama "Buddha" kehilangan kesaktiannya. Sunan Bonang dan para wali lainnya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata, "Itu membuktikan kebijaksanaan mendalam dan akal sehat. Selama masih terdapat buku-buku yang menerangkan pandangan agama 'Buddha', orang-orang Jawa akan bertahan dalam paham kekafiran mereka, mungkin untuk seribu tahun lagi, dan mereka tak pernah diajak untuk ganti agama dengan mengikuti hukum Rasulullah, apalagi bertobat untuk menyerukan Nama Allah serta Muhammad Rasul-Nya."
Demikian kelamkah pertemuan Islam-Jawa pada masa awal perkembangannya? Zoetmulder buru-buru menyangsikan kebenaran cerita itu dan menyatakan kurang masuk akal bahwa rasa muak dan benci terhadap cara hidup dahulu beserta agamanya berakar dalam, pun di antara para penyebar agama Islam seperti digambarkan oleh cerita-cerita tersebut. "Andaikata pembakaran itu sungguh terjadi, itu pasti suatu kekecualian. Sentimen itu pasti tidak tersebar luas dan juga bukan gejala umum," tulis resi sastra Jawa kuno itu.
Mark R Woodward dalam buku Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (1999) mengemukakan, tidaklah tunggal sumber Islam Jawa, sehingga tidaklah mungkin membicarakan suatu bentuk penafsiran Jawa yang tunggal. Penafsiran-penafsiran Jawa mengenai Islam, setidaknya sejak abad ke-16, berpusat pada persoalan yang berhubungan dengan teologi, ritual, dan hubungan politik antara bentuk-bentuk mistik dan kesalehan normatif.
Sejarah Islam Jawa, lanjut Woodward, tidak sekadar soal konversi, tapi juga soal penegaran Islam sebagai agama kerajaan, suatu proses yang mengakibatkan penghancuran banyak kebudayaan Hindu-Buddha dan subordinasi ulama atas kekuasaan keraton.
Dia juga menyebutkan, proses formulasi kerajaan Islam menguasai kehidupan keagamaan di Jawa Tengah sangat kompleks. Setelah runtuhnya Majapahit, komunitas-komunitas kerahiban Hindu-Buddha dan tradisi-tradisi tekstual yang berhubungan dengan mereka [b]dihancurkan atau melarikan diri ke Bali. "Kendati beberapa kerajaan Hindu kecil masih bertahan di Jawa Timur hingga abad ke-18 (Pigeaud, 1967-1970:137), keraton dan bentuk literer kebudayaan Jawa lama telah dilenyapkan di Jawa Tengah sebelum berdirinya Mataram."
Senada dengan itu, dalam The Concept of Power in Javanese Culture (1986), G Moedjanto menyatakan Sultan Agung telah melakukan banyak hal untuk mengarahkan turun-naiknya Islam kerajaan yang berorientasi mis tik. Sejarawan dari Unnes Prof Abu Suud menyebut penggunaan gelar Sultan Ngabdurahman, Sayidin Panatagama sebagai bukti gejala akulturasi Islam-Jawa, sedangkan Moedjanto melihatnya sebagai upaya memantapkan mandat keagamaannya.
Penguasaan itu tampaknya baru disempurnakan pada masa pemerintahan Mangkurat I, yang menurut sumber-sumber Belanda kontemporer, memerintahkan eksekusi sekitar lima ribu hingga enam ribu ulama (Vlekee dalam Woordward, 1999:8
Masih dari khazanah sastra, memang tak bisa dimungkiri adanya sentimen negatif Jawa (?) terhadap Islam pada Serat Darmogandhul dan Serat Gatholoco. Berbagai terminologi khas Islam telah dimaknai secara membabi buta, bahkan amat melecehkan, pada kedua kitab tersebut. Istilah semacam Mekah, sarengat, dan dzalikal kitabu dipelesetkan sedemikian rupa ke dalam ungkapan yang amat seronok. Celakanya, Prof Dr HM Rasyidi mengintroduksi kedua kitab itu sebagai representasi kebatinan (Jawa) dalam bukunya, Islam dan Kebatinan (1967). Walhasil, pencitraan secara peyoratif atas relasi Jawa-Islam pun berlangsung .
Tak terbantahkan memang, kitab sastra yang amat berwibawa dari masa Surakarta, Wedhatama karya Mangkunegara IV, pun turut menegarkan tipikal model resepsi Jawa terhadap Islam. Nasihat agar mencontoh laku Panembahan Senapati ketimbang Kangjeng Nabi, bisa dianggap sebagai unggapan keengganan menerima Islam pada level kesalehan normatif.
Adapun pula karya yang bisa dianggap mampu menampilkan negosiasi antara Islam dan Jawa barangkali adalah Serat Cebolek dan Serat Centhini. Pada kedua karya sastra itu, antara kesalehan dan normatif dan kebatinan telah didialogkan secara simbolis.
Demikian jamakkah saling telikung antara Jawa dan Islam? "Kerinduan kepada status yang hierarkis yang disahkan oleh kebudayaan Jawa, telah menelikung peradaban Islam meski telikungan itu dinikmati oleh orang-orang Islam yang di-status-quo-kan," kata antropolog dari Undip Dr Mudjahirin Thohir.
Betapapun terdapat beberapa lubang yang tampak amat kelam pada relasi Islam dan Jawa, dalam perkembangannya Islam Jawa telah menjelma sebagai varian Islam. "Islam Jawa bukanlah penyimpangan dari Islam, melainkan merupakan varian Islam, sebagimana Islam India, Islam Syiria, dan Islam Maroko," tulis Woodward.
Karena itu, tak perlu heran jika pada pertunjukan ketoprak di daerah Pati dan sekitarnya, tokoh Sunan Kalijaga -sosok yang selalu hadir dengan pakaian serba hitam, bukan surban putih- amat diidolakan. "Dia sosok yang amat njawani. Biarpun Islam, Jawanya tidak pernah ditinggalkan. Tidak lantas kearab-araban. Dia sososk nasionalis yang tidak mengkasifikasikan umat dan wawasan kebudayaannya luas," kata Budiyono, sesepuh ketoprak Wahyu Budoyo dari Karang, Juwana, Pati yang amat kerap memerankan tokoh tersebut di atas panggung.
Tak berlebihan juga jika Clifford Geertz (1968) menyebut Sunan Kalijaga sebagai pahlawan kebudayaan Jawa yang meletakkan model varian islam Jawa yang sinkretik. Dia mengemukaan Sunan Kalijaga sebagai contoh ideal bagi Islam Jawa dan pengalaman konversinya sebagai dasar teorinya bahwa Mataram tak lebih dari "Majapahit yang diislamkan". Sayang, Woorward justru dengan gegabah memasukkan tokoh ini dalam deretan tokoh yang terjebak pada kesalehan normatif belaka.
Sunan Kalijaga boleh jadi amat diterima di lingkungan Islam Jawa, sebagai personifikasi negosiasi dan "saling mengisi". Dan, akan berkesan nyinyir komentar Mudjahirin Thohir terhadap pertemuan ini. "Agama Islam diterima umumnya orang Jawa yang tersosialisikan berdasarkan pada kebudayaan Jawa dengan catatan-catatan. Yaitu sepanjang menguntungkan atau bagaimana mencari enaknya," kata Mudjahirin. Tapi, boleh jadi itulah nimatnya penelikungan dalam pertemuan Islam dan Jawa.

Mengintip Seksualitas Serat Centhini

Bicara soal seks dan seksualitas, mungkin lebih mengenal Kama Sutra dari India daripada Serat Centhini, karya sástra Jawa kuno yang dirilis di awal abad ke-19. Padahal “manual” versi lokal ini dipercaya jauh lebih lengkap dan “menantang”.
Tak ada yang bisa memungkiri, urusan seks selalu saja menarik. Entah dengan bisik-bisik di antara kaum lelaki di warung kopi, atau di antara kaum perempuan di sela-sela arisan ibu-ibu se-RT.
Kadang juga dibicarakan secara terbuka tapi terbatas, seperti di ruang seminar atau kesempatan formal lainnya.

Seks dan seksualitas, dalam pengertian sempit maupun luas, merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Ia bagian dari naluri instingtif yang paling dasar. Tak heran kalau banyak upaya dilakukan untuk mempelajari, menganalisis, menyusun manual (panduan), atau mengungkapkannya lewat karya sastra maupun karya tulis lainnya sejak dahulu kala.
Beberapa manual kuno yang pernah ada, bisa kita sebut misalnya Ars Amatoria (The Art of Love) karya penyair Romawi, Publius Ovidius Naso (43 SM - 17 M). Atau Kama Sutra karya Vatsyayana dari India, yang ditaksir hidup di zaman Gupta (sekitar abad ke 1 - 6 M). Keduanya, bukan melihat seks sebagai subjek penelitian medis dan ilmiah, melainkan sebagai sex manual.
Di akhir abad ke- 19 dan awal abad ke-20, neurolog dan pakar psikoanalisis asal Austria, Sigmund Freud (1856 - 1939), mengembangkan sebuah teori tentang seksualitas yang didasarkan pada studinya terhadap para kliennya.
Nun jauh di sana, di tanah JaWa pada awal abad ke-19 muncul pula sebuah karya sastra yang terkenal hingga kini, yaitu Serat Centhini (nama resminya Suluk Tembangraras). Serat ini digubah pada sekitar 1815 oleh tiga orang pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu Yasadipura 11, Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura (Haji Ahmad ilhar) atas perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V.
Serat Centhini yang terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) itu antara lain memang bicara soal seks dan seksualitas. Justru karena itulah serat ini menjadi termasyhur, bahkan di kalangan para pakar dunia.
Seorang kontributor sebuah surat kabar Prancis, Elizabeth D. Inandiak, misalnya, telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dengan judul Les Chants de l’ile a dormir debout le Livre de Centhini (2002).

Blak-blakan
Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifat represif-feodalistik, demikian tulis Otto Sukatno CR dalam Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (Bentang, 2002), dalam bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita bayangkan.
Masalah seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama sastra dan tari. Dalam Serat Centhini, misalnya, masalah seksual ternyata menjadi tema sentral yang diungkap secara verbal dan terbuka, tanpa tedeng aling-aling. “Ini sangat berlawanan dengan etika sosial Jawa yang bersifat puritan dan ortodoks,” tulis Sukatno.
Masalah seksual dalam serat itu diungkapkan dalam berbagai versi dan kasus. “Misalnya, menyangkut masalah pengertian, sifat, kedudukan dan fungsinya, etika dan tata cara bermain seks, gaya persetubuhan, dan lain-lain,” ungkap Sukatno. Bahkan seks juga dibicarakan dalam kaitannya dengan penikmatan hidup atau pelampiasan hasrat hedonisme (sebuah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah kebaikan tertinggi atau satu-satunya kebaikan dalam kehidupan).
Sukatno memberi contoh, dalam Centhini II (Pupuh Asmaradana) diuraikan dengan gamblang soal “ulah asmara” yang berhubungan dengan lokasi genital yang sensitif dalam kaitannya dengan permainan seks. Misalnya, cara membuka atau mempercepat orgasme bagi perempuan, serta mencegah agar lelaki tidak cepat ejakulasi.
Lalu dalam Centhini IV (Pupuh Balabak) diuraikan secara blak-blakan bagaimana pratingkahing cumbana (gaya persetubuhan) serta sifat-sifat perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya.
Terungkap juga ternyata perempuan tidak selamanya bersikap lugu, pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotipe pandangan Jawa yang selama ini kita terima. Mereka juga memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal mereka selalu digambarkan pasrah, nrima kepada lelaki.
Hal itu tampak dalam Centhini V (Dhandhanggula). Di ruang belakang di rumah pengantin perempuan pada malam menjelang hari H perkawinan antara Syekh Amongraga dan Nike Tembangraras, para perempuan tua-muda sedang duduk-duduk sambil ngobrol. Ada yang membicarakan pengalamannya dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta masalah-masalah seksual lainnya yang membuat mereka tertawa cekikikan.
Salah satu percakapan itu misalnya seperti ini, “Nyai Tengah menjawab sambil bertanya, Benar dugaanku, Ni Daya, dia memang sangat kesulitan, napasnya tersengal. Saya batuk saja, eh lepas Mak bul mudah sekali lepasnya. Tak pernah kukuh di tempatnya. Susahnya sangat terasa, karena meski besar seakan mati.” Disambut dengan tawa cekikikan.

Tipe Perempuan
Seperti diungkap oleh Franz Magnis Suseno dalam Etika Jawa, yang dikutip Sukatno, adalah fakta bahwa hubungan seksual dalam masyarakat Jawa hanya diizinkan dalam rangka perkawinan.
Masyarakat Jawa tidak mengenal masalah seksual sebagai wahana pelampiasan nafsu hedonistik, penikmatan terhadap hidup. Namun, pada kenyataannya tidaklah demikian. “Adanya sistem budaya katuranggan jelas merupakan penyangkalan terhadap hal itu,” ungkap Sukatno.
Dalam sejumlah karya sastra Jawa maupun karya tulis lainnya, seperti primbon, soal katuranggan banyak diungkapkan, termasuk dalam Serat Centhini. Dalam kaitannya dengan perempuan, katuranggan dapat diartikan sebagai watak, sifat, atau tanda-tanda berdasarkan penampakan lahiriahnya.
Dalam budaya katuranggan, terdapat beberapa ciri perempuan yang menjadi idealitas lelaki untuk dijadikan istri. Tipe-tipe perempuan demikian, di antaranya disebut guntur madu, merica pecah, tasik madu, sri tumurun, puspa megar, surya surup, menjangan ketawan, amurwa tarung, atau mutyara.
Sebagai gambaran, perempuan bertipe surya sumurup itu perempuan yang memiliki dua lapis bibir yang berwarna merah jambu. Sorot matanya kebiru-biruan. Ada sinom (rambut yang tumbuh di dahi) yang menggumpal. Kedua alisnya nanggal sepisan (laksana bulan sabit). Perempuan seperti ini menjadi idaman kaum lelaki karena memiliki kesetiaan tak diragukan lagi. Lebih dari itu, ungkap Sukatno, ia tipe perempuan yang serasi dalam bermain asmara, sehingga dapat mencapai derajat marlupa (orgasme) bersama-sama.
Ekspresi budaya katuranggan ini juga terungkap, misalnya dalam Kitab Primbon Lumanakim Adammakna. Disebutkan, seperti Sukatno, ciri perempuan yang menggairahkan secara seksual antara lain, bertubuh kecil, wajahnya merah bersemu biru manis, rambut hitam panjang, sinom menggumpal. Atau, bertubuh kecil, pandangan dan wajahnya nguwung (agak melengkung), kulit kuning bersemu hijau, sinom menggumpal. Atau, bertubuh tinggi langsing, badan mbambang (padat berisi), roman mukanya galak, dan rambutnya panjang. Masih banyak lagi ciri perempuan menggairahkan lainnya.
Seperti diungkap Sukatno, tentu saja tidak semua tipe perempuan cocok dengan tipe ideal seperti itu. Masih ada tipe-tipe lain yang merupakan tipe campuran dari sebagian atau keseluruhan wacana keluruhan tiap-tiap tipenya. Memang rumit dan kompleks, karena seks, tidak bisa dinilai hanya dari segi penampilan lahiriahnya semata.

Jamu dan tatakarama
Ritualisasi seksual juga diungkapkan dalam Serat Centhini, termasuk soal tata krama dalam melakukan hubungan seksual antarsuami-istri.
Dalam berhubungan, misalnya, harus empan papan. Maksudnya, mengetahui situasi, tempat, dan keadaan, tidak tergesa-gesa, dan juga merupakan keinginan bersama.
Selain mendasarkan diri pada tata krama menurut budaya Jawa, tata krama ini juga mendasarkan diri pada hadis Nabi Muhammad SAW. Misalnya, sebelum melakukan hubungan seksual, seyogianya mandi terlebih dahulu. Setelah itu berdandan dan memakai wewangian. Sebelum mulai, berdoa lebih dulu dengan mengucapkan syahadat.
Masyarakat Jawa juga mengenal kalender seksual. “Ini berkaitan dengan masalah rasa perempuan, yang berhubungan dengan organ genital seksualnya. Satu asumsi bahwa setiap hari organ genital seksual yang sensitif pada perempuan selalu berpindah tempat, sesuai dengan tinggi rendahnya Bulan -- ini berdasar pada kalender Jawa. Dengan mendasarkan pada kalender seksual, pasangan dapat mencapai puncak kepuasan secara bersama-sama," tulis Sukatno.
Selain diungkap mengenai tata cara, etika, dan ritualisasi, dalam Serat Centhini II (Pupuh Asamaradana) diulas pula bentuk-bentuk serta pose hubungan seksual yang seharusnya dilakukan. Semua itu dimaksudkan agar pasangan dapat mencapai kepuasan bersama-sama.
“Hubungan seksual tidak hanya sekadar pemuasan nafsu lelaki maupun perempuan, tetapi juga sebagai bentuk ungkapan perasaan cinta kasih, proses prokreasi, dan seks sekaligus sebagai wahana ibadah,” ungkap Sukatno.
Dalam Serat Centhini IV (Pupuh Balabak) dijelaskan dengan gamblang posisi berhubungan seksual sebagaimana ajaran Jawa. Dalam melakukan penetrasi, misalnya, harus tetap pula melihat tipe perempuan pasangannya. Maka kemudian ada gaya kadya galak sawer (patukannya laksana ular galak); lir ngaras gandane sekar (seperti meraba baunya bunga); lir bremana ngisep sekar (laksana kumbang mengisap madu); lir lumaksana pinggire jurang (ibarat berada di tepi jurang); baita layar anjog rumambaka (seperti kapal layar turun ke tengah laut) dan sebagainya.
Dalam masyarakat Jawa lalu dikenal pula berbagai resep jalu usada (pengobatan seksual) agar lelaki jadi perkasa. Misalnya, untuk mencegah agar air mani tidak encer sehingga dapat memperoleh keturunan, seperti dijumpai dalam Serat Centhini VII (Pupuh Dhandhanggula). Resepnya berupa merica sunti dan cabe wungkuk tujuh buah, garam lanang, arang kayu jati, gula aren seperempat. Semua bahan itu dipipis hingga lembut di tengah halaman pada saat siang hari. Sesudah itu dibentuk seperti kapsul.
Jamu berbentuk mirip kapsul itu ditelan sambil membaca mantra, “Sang dewa senjata akas-akas, kurang bagaluwih akase, kurang baga akukuh, ora ana patine.” Enggak ada matinye!

(dikutip dari majalah intisari, 2006)