Selasa, 14 September 2010

Dewi Drupadi Naik Ambulans

Ditulis oleh Sujiwo Tejo

Bukan kuntilanak bukan gendruwo. Rambut ikal selutut. Perempuan itu cuma' berdiri tengah malam nduk pinggir jalan. Tempatnya ndak jauh dari kamar mayat di Karangmenjangan. Tadinya konco-konco mbecak dan ojek cangkruk sekitar situ. Sekarang mereka satu-satu mulai mlipir menjauh. ''Soale lama-lama ta' lihat kok kaki perempuan itu ndak nyentuh aspal,'' bisik seorang tukang ojek sing ngaku bernama Zawawi Imron.
Bisik-bisik ojek lain menyambungnya, ''Minyak wanginya rodok-rodok bau melati gitu ya...'' Tukang becak yang dengar itu meralat. Pak jenggot ini sambil kepontal-pontal membawa radio kecilnya, siaran wayang Ki Panut Dharmoko dari Nganjuk, lakonnya Alap-alapan Dewi Drupadi. ''Hush...Ngawur awakmu,'' ralatnya, ''Bukan bau melati ini. Ini menyan...''
Wah, tambah cepat-cepatlah kaum pekerja malam itu meninggalkan sang perempuan. Angin dari arah kamar mayat sempat menggeraikan rambut dan syalnya ke arah Unair.
Ciiiiiiiiittttttttt.....!!!!!!
Kaum ojek dan pabecakan di sekitar Stasiun Gubeng itu sudah merinding kini mendadak kaget pula oleh derit suara taksi ujuk-ujuk ngerem. Jejak bannya sampai mbliyat-mbliyut di aspal. Taksi hampir masuk got. Setelah mandek, taksi seketika mundur cepat. Perempuan berambut selutut dengan dua koper itu naik. Taksi bablas.
Kini di atas becek sisa gerimis, tukang-tukang ojek dan becak masih mencium sisa bau kemenyan, melati, dan kembang kantil, di ruas jalan lengang, di suatu tengah malam, nduk Suroboyo.

***

Tukang taksi separo umur itu pasti butuh duit tenan sampai ndak sadar bahwa calon penumpangnya tadi mencurigakan. Malam-malam begini. Sudah larut lagi. Sendirian. Jalanan yang biasanya masih ditongkrongi satu-dua ojek dan tukang becak itu tadi sudah kosong lho. Ndak kayak malam-malam biasanya. Kok sopir ini nekad main tarik saja siapa pun yang nyegat. Mungkin karena anak tukang taksi ini sakit. Dia perlu ongkos dokter dan apotek. Mau minta sumbangan melalui koin buat si sakit takutnya masyarakat lama-lama bosen.
Dukun dari Sampang bilang, anak seusia TK itu sakit-sakitan karena namanya ndak cocok. ''Sabar Budi Yuwono itu ndak pas, Dik. Nanti kalau ada anggota Pansus DPR mbesuk ke sini yok opo? Iya kalau semua anggota dewan itu mau memanggil namanya lengkap. Kalau mereka males capek-capek lalu cuma mau manggil inisial Sabar Budi Yuwono? Masa' mereka sebut SBY? Hmm... Begini saja, Dik. Namai Heru Ardi Ibas-koro. Jaga-jaga kalau anggota pansus kurang sehat, energinya ndak sanggup menyebut nama panjang. Mereka cukup panggil inisial ''Hai''...Lebih mesra. Dan ''Hai'' juga lebih punya arti dibanding ''BO'' maupun ''SMI''. Salah-salah malah dikiro Sekolah Menengah Ibu-ibu...''
Begitulah pandangan akhir dukun kelahiran Ngawi ini. Lain lagi pandangan akhir dokter merangkap psikolog. Orang asli Nguling ini yakin, anak sopir taksi itu sakit gara-gara keseringan ndengar ibunya ngomel ke ayahnya. Memang istrinya selalu ribut siang malem non-stop persis warung Padang. Dan, kalau sudah ngomel buaaanter banget.
''Ya itulah risiko punya istri, Mas,'' dokter bertutur ke sopir taksi. Si sopir langsung tampak nglokro mendengar diagnosa dokter. Dokter tanggap. Hiburnya, ''Hmmm...Tapi ndak papa...Tahu beda antara istri dan senapan? Senapan masih bisa kita pasangi alat peredam.''
Ketika temuan fraksi dukun dan fraksi dokter-psikolog disampekno sopir taksi nang istrinya, sang istri yang berbaju biru itu tumben jadi tenang. Katanya, ''Sini ta' bilangi. Apa pun yang diutarakan fraksi-fraksi itu aku gak pateken. Itu baru temuan politik. Bukan temuan hukum. Hukumnya sudah jelas, hukum karma. Anak kita jadi sakit-sakitan begini karena karma Sampeyan. Sampeyan itu ngeluuuuuuuh terus kalau cari duit. Padahal aku kurang opo, Cak? Aku wis mbantu-bantu jadi tukang pijet. Sampek semua bapak-bapak di RW sini wis roto pernah tak pijeti...''
Gitu ceritanya kenapa kok malam ini pak sopir semangat sekali cari duit. Sampek ia ndak awas lagi jangan-jangan perempuan yang baru naik itu bukan perempuan biasa, tapi kuntilanak. Baru ketika melintas Jembatan Merah pak sopir yang gemar wayang itu tiba-tiba merasa aneh. Tumben-tumbennya ada penumpang tidak minta siaran radionya dipindah ke musik. Padahal radio taksi sedang muter wayang, acara kesukaan pak sopir. Perempuan itu malah ketawa-ketawa mendengar radio. ''Itu suara Bagong kan, Pak,'' tanyanya renyah.
''Yo mesti ae,'' kata suara di radio. Suaranya serak, tercekik namun tetap lantang. ''Mesti ae orang hukum ndak takut nang DPR soal hasil pansus. Mereka juga ndak ngrasa terikat, minimal ndak sungkan pada DPR sebabe DPR memang bukan rakyat. DPR itu cuma wakilnya. Wakil ya lebih rendah daripada yang diwakili, yaitu rakyat, pemegang kedaulatan tertinggi. Makanya aparat hukum merasa kurang dihargai, kurang diorangkan. Yang ngomong ke mereka belum rakyat sendiri, baru wakilnya. Rakyat masih terlalu padat jadwalnya untuk berkenan datang dan ngomong langsung. Ndak tahu kalau nanti-nanti...''

***

Waktu menunjuk pukul 02.10 dini hari.
''Betul kan Pak, tadi suara Bagong kan, Pak?'' tanya perempuan itu sekali lagi. Suaranya masih renyah, campur suara kuluman permen karet.
''Inggih, betul, Mbak, eh, Bu...''
''Hehe, Bapak ini...Ehmm...Panggil saja saya Drupadi...''
Sopir mengernyit.
''Bapak tahu Drupadi di wayang kan? Pasti mudeng soale Bapak penggemar wayang...''
Jelas si Bapak tahu. Drupadi, alias Dewi Kresna, adalah putri Raja Drupada di Pancala. Dia perempuan yang dinikahi rame-rame oleh Pandawa karena sejak remaja Pandawa telah bersumpah: ''satu untuk semua, semua untuk satu''. Aturannya, siapa pun tidak boleh memasuki kamar saudaranya yang sedang digilir oleh titisan Dewi Srigati, dewinya poliandri itu.
Di suatu malam tiba-tiba ada teriakan. Ada Pak Tani bengak-bengok minta tolong mengejar maling anak gadisnya yang akan membawanya kabur ke Arab Saudi jadi TKW. Arjuna yang mendengar jeritan itu spontan berpikir harus menolong petani. Pikirnya, kalau tidak ditolong, ini akan berdampak sistemik. Seluruh gadis di Kampung Amerta akan dilarikan ke Timur Tengah. Arjuna langsung mengambil senjata Pandawa yang semuanya disimpan di kamar sulung Yudistira. Kamar terkunci. Yudistira sedang main asmara dengan Drupadi. Arjuna mendobraknya. Gedubrak!!! Dengan senjata yang baru diambilnya kesusu-susu itu Arjuna langsung bablas mengejar maling dan berhasil meringkusnya.
Keempat anggota Pandawa plus Drupadi langsung menggelar sidang hak angket. Agendanya merembuk hukuman apa yang pantas untuk Arjuna karena melanggar kebijakan. Berani-beraninya Arjuna memasuki kamar saudaranya yang sedang digilir Dewi Drupadi. Akhirnya semua sepakat Arjuna tak perlu dihukum karena tujuan memasuki kamar yang ada Drupadi-nya itu mulia. Tiba-tiba sing dirasani muncul. Semua kaget. Drupadi malah sampai pingsan. Gara-garanya Arjuna menyatakan akan menghukum dirinya sendiri selama 12 tahun di tengah hutan.
Di dalam taksi, lewat tengah malam itu, dari jok belakang, tiba-tiba Drupadi njawil pundak sopir taksi. ''Pak?'' tegurnya. Pak sopir sangat kaget. Remnya dia injek tiba-tiba. Mobil sempoyongan berkelok-kelok hingga nyaris nabrak patung polisi. Sopir ngos-ngosan.
''Sampeyan itu lho dijawil wae kaget. Baru tukaran sama istri ta? Atau ngomong-ngomong soal Drupadi, Sampeyan marah-marah margo Arjuna ndak disalahkan malah menghukum diri sendiri...tapi manusia sekarang sudah disalahkan sama pansus masih ndak mau ngrumangsani, gitu? Sampeyan ngalamun bareng tak jawil kaget.''
''Bukan begitu Bu Drupadi. Saya sudah 20 tahun bawa mobil, tapi baru pertama naksi ya hari ini...''
''Lha opo hubungane. Saya itu tadi mau tanya Sampeyan tahu Jalan Century ndak? Makanya saya jawil. Naksi baru sehari, oke. Tapi sudah 20 tahun lho Sampeyan itu nyopir. Mestinya nggak kaget gitu nek tak jawil dari belakang...20 tahun pengalaman nyopir kok masih gampang panik...''
''Dua puluh tahun nyopir itu saya nyetir ambulans, Bu...'' (*)

Disadur sepenuhnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo Episode 28.

Kamis, 09 September 2010

Serat Centhini dalam Intepretasi Modernitas


Elizabeth D. Inandiak telah berjasa besar dalam mengenalkan Serat Centhini pada generasi muda Indonesia. Namun, Serat Centhini versi beliau dengan aslinya, tentu sulit dipersandingkan, apalagi jika kita mengetahui teks karya asli Serat Centhini. Sebagai karya gubahan dengan interpretasi dan latar belakangnya sendiri, Elizabeth lebih memakai Serat Centhini sebagai titik tolak (struktur penceritaan), sementara struktur contentnya, bisa sangat berbeda.
Apakah salah? Tentu tidak, karena penggubahan kreatif itu masih menghargai (memakai) batang tubuh Serat Centhini. Persoalannya lebih pada soal batang jiwanya, karena latar belakang pengetahuan, referensi, dan sebagainya, yang bukan hanya akan melahirkan atau memakai idiom berbeda, tapi juga pengaruh-pengaruh kitaran atau spirit jamannya. Lihat sebagai contoh, dikutipkan dari tulisan Olin Monteiro, Cibubur, 6 Februari 2007 (Sumber: olinmonteiro.multiply.com) berikut:

"Dalam buku Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan (2007), jika boleh disandingkan dengan The Prophet Khahlil Gibran. Dari tembang 71 sampai 111, penuh dengan filosofi kehidupan yang begitu dalam dan bagaimana memandang hidup dengan berbeda. Mengapa Amongraga melakukan ini kepada sang istri?

Bandingkan kata-kata cinta Amongraga dengan Khalil Gibran dalam the Prophet:

Love possesses not nor would it be possessed;
For love is sufficient unto love.
When you love you should not say, “God is in my heart,” but rather, I am in the heart of God.”
And think not you can direct the course of love, if it finds you worthy, directs your course.
Love has no other desire but to fulfil itself.
But if you love and must needs have desires, let these be your desires:

Amongraga (versi Inandiak) mengatakan, dengan rahmat Allah kita berlayar dalam diam, sementara Gibran mengatakan, ketika kau mencintai janganlah berkata,”Tuhan ada dalam hatiku” tapi yang benar adalah, “Aku bertahta dalam hati Tuhan. Jangan berpikir kamu bisa mengarahkan cinta, tapi bila memang kau dianggap layak, ia akan mengarahkan layarmu”. Betapa begitu bersinggungannya kedua tembang tersebut. Keduanya menceritakan bahwa cinta tidak lepas dari rahmat dan titipan yang Maha Kuasa atau sang Pencipta. Hanya dengan berserah diri pada Tuhan maka cinta itu bisa ada dan bisa hidup."

Demikian Olin Monteiro. Dan masih banyak lagi. Pandangan profetis Amongraga versi Inandiak, tentu berbeda dengan Amongraga aslinya, yang kadang pemaparan tekstual di sana (khususnya penjabaran pandangan-pandangan Islam) lebih bersifat copy-paste, yang semua itu bisa jadi karena semangat Serat Centhini sebagai ensiklopedi (lihat juga tinjauan Ulil Absar Abdalla soal sinkretisme Jawa-Islam yang sebelumnya diupload di wall ini).
Begitu juga misalnya, penokohan Centhini, banyak menjebak pembaca (modernnya) untuk mengandaikan ini sebagai tokoh penting. Padahal, Centhini lebih merupakan tokoh yang dipinjam dalam teknik penuturan Serat Centhini yang semula berjudul "Suluk Tambangraras" ini
Hal yang hampir mirip, mungkin kita bisa membandingkan antara Rara Mendut versi dongeng masa lalu dengan apa yang ditulis YB Mangunwijaya mengenai tokoh yang sama dalam bentuk novel modern berbahasa Indonesia. Ada perbedaan dalam spirit ideologis (pandangan gender) yang harus dibedakan secara kritis antara teks dan konteks.
Perlu diskusi lebih jauh, karena boleh dikata jarang orang (bahkan ahli sastra kita sendiri) yang menguasai masalah Serat Centhini aslinya, sehingga kadang karya-karya model Inandiak seperti di atas, dipakai sebagai referensi satu-satunya untuk mengenal Serat Centhini. Padahal, sungguh harus dibedakan dalam perkara teks karya sastra.

Rabu, 08 September 2010

Serat Centhini: Suluk Kesaksian Gadis


Islam dan budaya Jawa hidup berdampingan. Serat Paku Buwono V ini buktinya.
Adapun manusia berasal dari cahaya gaib. Apabila meninggal atau zaman kiamat, manusia akan kembali pada zat yang gaib. Yakni pulang ke tempat asalnya, Manunggaling Kawula-Gusti.
SULUK Saloka Jiwa buah pena penyair sufi, Ronggowarsito, ini aslinya berbahasa Jawa. Tak beda dengan suluk Serat Centhini , yang meramu khazanah kultur Jawa dan ajaran Islam dengan merujuk pelbagai Kitab Kuning. Suluk adalah ajaran mistik yang diungkapkan berupa tembang, sebuah bentuk puisi Jawa. Tak syak, orang pun bertanya: bagaimanakah hubungan budaya Jawa dengan Islam?
Pertanyaan itulah yang dicoba disahuti oleh sebuah tim peneliti dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sejak enam bulan ini. Hasilnya menunjukkan bahwa antara kebudayaan Jawa dan Islam bisa hidup berdampingan. Daerah pedesaan Jawa, yang dulu menganut tradisi animistis dan dinamistis, ternyata bisa menerima Islam tanpa kehilangan makna kultural Jawa.
Penelitian yang dilakukan Drs. H. Muzairi, MA, dan lima koleganya itu berjudul “Kitab Kuning dan Suluk Serat Centhini Kajian Tentang Islam dan Budaya Jawa”. Ia dipublikasikan dalam jurnal penelitian IAIN Yogyakarta edisi Mei-Agustus. Terdiri dari 12 jilid, meliputi 3.216 halaman huruf Jawa dan 3.500 halaman tulisan Latin, sehingga layak disebut sebagai “Ensiklopedi Jawa”.
Serat Centhini adalah puncak karya sastra tulis Jawa klasik karya Raja Keraton Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono V -tatkala menjadi putra mahkota pada 1814. Sedangkan Centhini, yang berperawakan ramping, adalah seorang gadis pembantu rumah tangga suami-istri, Jayengresmi alias Amongraga dan Tembanglaras. Serat yang ditulis bergaya tembang macapat ini menceritakan pengembaraan Jayengresmi, salah seorang putra Sunan Giri III, setelah Sultan Agung dari Mataram menaklukkan Kewalian Giri di Gresik.
Perjalanan Jayengresmi ke arah barat, hingga ke Banten dan akhirnya kembali ke Mataram, itulah yang ditulis Paku Buwono V. Isinya beragam, mulai dari bab agama Islam, ilmu lahir batin, gending, tari, hari buruk dan baik, tembang, sampai masakan Jawa. Bahkan soal keris, kuda, kesaktian, hingga ke soal hubungan intim suami-istri yang paling rahasia pun terangkum di sana.
Dikisahkan pula ketika Jayengresmi bersua dengan Ki Jimat Ngabdul Ngatyanta dan Ki Sali di Kampung Laweyan, tempat makam Ki Ageng Henis. Ki Sali menceritakan “Ramalan Tanah Jawa” berdasarkan Jangka Jayabaya dari Kitab Musarar, yang diedarkan Sech Maulana Ngali Samsujen dari negara Rum Turki. Ramalan itu juga memaktubkan zaman kacau-balau di Jawa hingga hari kiamat -berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW.
Seperti disebut Karkono Kamajaya Partokusumo, 82 tahun, seorang pakar budaya Jawa yang menekuni Serat Centhini selama 17 tahun, kaitan suluk itu dengan Islam sangat kental. Meskipun harus diakui, serat ini membuktikan keberadaan sinkretis Islam dan budaya Jawa, yang memunculkan Islam Kejawen. “Artinya, Islam tak membunuh budaya Jawa,” kata Karkono kepada Gatra.
Gadis Centhini adalah saksi yang mendengarkan wejangan agama -tentang syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat- dari Jayengresmi kepada Tembanglaras selama 40 malam. Dari penelitian itu, ada 20 Kitab Kuning yang dirujuk Serat Centhini . Misalnya, ada enam kitab fikih (termasuk Taqrib dan Idah), sembilan kitab akidah, dua kitab tafsir (Jalalain dan Baidhawi), dan tiga kitab tasawuf, seperti Ihya dan Al Insan Al Kamil karya Abd. Al Karim Al Jali, sebuah sajian sistematis aliran Wahdah Al Wujud dari Ibn. Al Arabi.
Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, Drs. Taufik Ahmad Dardiri, SU, melihat bahwa Serat Centhini tak bisa lepas dari budaya sekitarnya. Sejarah mencatat, kala itu sedang terjadi transformasi Islam dengan tradisi “sastra Kitab Kuning”, atau sastra pesantren ke dalam sastra dan kebudayaan Jawa.
Bahkan serat ini juga mempengaruhi karya sastra Jawa sesudahnya -termasuk Ronggowarsito- yang terkenal dengan Serat Kalathida. Ronggowarsito termasyhur dengan seratnya yang menamsilkan hubungan manusia dengan Tuhan ibarat kain dengan baju, ombak dengan lautan, dan angin dengan debu. Mirip dengan pandangan penyair sufi, Hamzah Fansuri, dengan wahdatul wujudiyah yang kontroversial itu.
Jika mau ditarik sebuah ilustrasi: proses Jawanisasi Islamkah yang terjadi, atau Islamisasi Jawa? Boleh jadi, yang semula terjadi adalah “Jawanisasi Islam”, kala tradisi mistis Jawa mengakomodasi Islam. Tapi ketika mereka menemukan esensi kebudayaan Islam yang punya “kesamaan” dengan kultur Jawa, “Islamisasi Jawa” pun berlangsung. Itulah keberhasilan Islam di Jawa. “Islam masuk dengan pendekatan kultur, bukan dengan kekerasan,” kata Karkono.

Bersihar Lubis dan Joko Syahban
Majalah Gatra, Posted on 9 November 2009 by Jayeng Resmi

Vadamekum Serat Centhini


Serat Centhini secara keseluruhan terdiri dari 722 pupuh, 31.837 tembang (bait), 3.467 halaman pada 12 jilid buku ukuran 15cm X 21cm. Tembang yang dipergunakan adalah: Asmaradana 64 kali – 3.117 tembang, Balabak 16 kali – 676 tembang, Dhandhanggula (Sarkara) 73 kali – 5.207 tembang, Dudukwuluh (Megatruh) 52 kali – 1.929 tembang, Durma 17 kali – 483 tembang, Gambuh 55 kali – 975 tembang, Girisa 30 kali – 897 tembang, Jurudemung 42 kali – 1.168 tembang, Kinanthi 65 kali – 3.505 tembang, Lonthang 9 kali – 470 tembang, Maskumambang 42 kali – 1.704 tembang, Mijil 46 kali – 2.563 tembang, Pangkur 40 kali – 1.469 tembang, Pucung 58 kali – 2.388 tembang, Salasir 12 kali – 522 tembang, Sinom 64 kali – 2.675 tembang, Wirangrong 37 kali – 1.089 tembang.
Serat Centhini mendapat pujian dari Denys Lombard (orientalis asal Perancis, pengarang buku Le Carrefour Javanais --yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Nusa Jawa Silang Budaya), mengatakan dalam bukunya sebagai berikut: "... jika setiap pupuh mengandung rata-rata 40 bait dan setiap bait 7 larik/baris, maka diperoleh 200.000 larik/baris lebih. Wiracerita-wiracerita Yunani karangan Homeros: Iliad dan Odyssey masing-masing hanya mengandung 15,537 dan 12.363 larik.

Serat Centhini dibuka pada Jilid-1, Pupuh 1, Tembang 1 (Sinom):

Sri narpadmaja sudigbya,
talatahing tanah Jawi,
Surakarta Adiningrat,
agnya ring kang wadu carik,
Sutrasna kang kinanthi,
mangun reh cariteng dangu,
sanggyaning kawruh Jawa,
ingimpun tinrap kakawin,
mrih kemba karaya dhangan kang miyarsa.

Artinya: Sang putra mahkota, berwilayah tanah Jawa, Surakarta Adiningrat, memerintahkan jurutulis, Sutrasna yang dipercaya, mengumpulkan cerita lama, keseluruhan pengetahuan Jawa, digubah dalam bentuk tembang, agar mengenakkan dan menyenangkan (bagi) yang mendengar.

Sedangkan penutupannya pada Jilid-12, Pupuh 708, Tembang ke 672 (Dandanggula):

Kadarpaning panggalih sang aji,
kang jinumput wijanganing kata,
tinaliti saturute,
tetelane tinutur,
titi tatas tataning gati,
sakwehnung kang tinata,
wus samya ingimpun,
ala ayuning pakaryan,
kawruh miwah ngelmuning kang lair bathin,
winedhar mring para muda.

Artinya: Didorong oleh keinginan Sang Raja*, yang diambil makna kata-katanya, diteliti urutannya, nasehat yang disampaikan, teliti tuntas teratur maksud tujuannya, semua sudah diceritakan, semua sudah dikumpulkan, baik buruknya perbuatan, pengetahuan maupun ilmu lahir bathin, diuraikan buat para kawula muda.

* Keterangan: Serat Centhini digagas (pada 1742 tahun Jawa, kira-kira 1814 Masehi) oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, salah seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, dan baru selesai ketika putra mahkota tersebut diangkat sebagai raja Surakarta dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwana V (diangkat sebagai raja pada 1748 tahun Jawa atau 1820 Masehi).

Sebagai penutup Serat Centhini atau semula berjudul "Suluk Tambangraras" ada pada pupuh 722, tembang ke 55 (Asmaradana):

Titi tamat ingkang tulis,
telas ingkang cinarita,
Seh Mongraga lalakone,
kongsi amadeg narendra,
kendhang tekeng pralaya,
kran Sunan Tegalarum,
pisah sumarenira.

Artinya: Sudah tamat tulisannya, selesai ceritanya, riwayat Seh Amongraga, sampai menjadi raja, terusir meninggalnya, diberi nama Sunan Tegalarum, terpisah makamnya.

Dari tembang pembukaan dan penutup, maksud dan tujuan penulisan Serat Centhini adalah untuk melestarikan Budaya atau Pengetahuan Jawa agar bisa jadi pelajaran buat generasi muda. Jadi, pada saat itu pun tampaknya sudah ada problem komunikasi (dan mungkin orientasi) antara orangtua dan orangmuda, hingga "perlu digagas" sebuah karya yang dioerientasikan untuk generasi muda. Dan memang, bahasa Jawa Serat Centhini pada waktu itu, sangatlah berbeda dengan semangat teks sastra jamannya yang penuh simbol dan metafora. Dalam Serat Centhini bahkan penyebutan perangkat kelamin lelaki dan perempuan bisa sangat verbal dan vulgar.