Jumat, 10 Mei 2013

Serat Centhini Dwi Lingua Jilid Dua Sudah Terbit

Sebentar hari lagi, minggu depan, akan beredar Serat Centhini Dwi Lingua Jilid 2 dari 12 jilid. Karya Sastra Klasik Jawa abad 18 karya Sri Susuhunan Pakubuwana V, yang lengkap disajikan dalam teks asli bahasa Jawa dan terjemahannya baris demi baris, oleh Sunardian Wirodono. |DATA BUKU (1) Fisik: Ukuran 13,5 x 21 Cm. Tebal tiap jilid minumal 600+ hal. Kertas mangkak 70 gram (total 12 jilid, baru terbit jilid 1 dan 2, dan semoga mulai Juni 2013 terbit jilid berikutnya tiap bulan) (2) Bahasa: Jawa dan Indonesia (3) Harga per-eksp., Rp 100.000 (Edisi Hardcover), Rp 85.000 (Edisi Soft Cover) + ongkos kirim Rp 20.000 untuk dalam Jawa dan Rp 30.000 untuk luar Jawa. (4) Penerbit: Yayasan Wiwara, Pr. Griya Taman Asri H-303, Panasan, Donoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta55581. Telepon 0274.865682

Senin, 17 Januari 2011

Novel Roro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat: Kelokalan Jawa dalam Narasi Sejarah Versi Kaum Minoritas

Puji Retno Hardiningtyas

Abstrak
Dalam sejarah pemikiran dan polemik kebudayaan yang panjang di masa lalu, ternyata telah begitu jauh bersinggungan dengan sisi sensitif nasionalisme dan kejatidirian kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa.Salah satunya terwujud pada sastra yang memperlihatkan bentuk struktural dari situasi historis, yaitu novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, Centhini karya Sunardian Wirodono, dan Madam Kalinyamat karya Zhaenal Fanani. Dalam konteks itu, ketiga novel tersebut merupakan novel sejarah yang bersumber dari Babad Tanah Jawi (Roro Mendut), Babad Tanah Jawi dan Babad Demak (Madam Kalinyamat), dan Serat Centhini (Centhini).Konklusi harapan besar dari komitmen sejarah membuka pemahaman bagi pembaca awam sebab budayanya dapat mempertahankan kelestarian ‘seperangkat mitologi’ penuh daya pengaruh yang dapat menyusup ke dalam liku masyarakat Jawa. Unsur-unsur sejarah ditunjukkan dengan memunculkan tokoh-tokoh—yang berdasar sumber lain diakui sebagai pelaku—sejarah dan peristiwa-peristiwa sejarah, seperti Hadiwijaya, Sultan Agung, dan Panembahan Senapati. Bahkan, tokoh wanita, seperti Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, Tambangraras, Centhini, Ratu Kalinyamat, dan Sarindil merupakan tokoh-tokoh yang berperan dalam sejarah Jawa, bahkan hidup dalam adat dan budaya Jawa. Berdirinya kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram merupakan peristiwa sejarah yang tidak mungkin dipungkiri.
Dengan segala kekhasannya, Y.B. Mangunwijya, Sunardian Wirodono, dan Zhaenal Fanani merekam situasi dan dinamika budaya masyarakat Jawa. Berbagai macam ungkapan budaya Jawa terekam dalam berbagai genredan bentuk karya sastranya. Betapa menyaksikan secara konkret bahwa selama ini telah terjadi paradigma ketidakadilan besar dalam dialektika kebudayaan yang dialami oleh masyarakat Jawa, khususnya perempuan kala itu dan para penguasa yang dikalahkan oleh penguasa lainnya dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Dalam hal ini, kaukus problematika yang terjadi di antaranya disebabkan: pertama, sikap perempuan Jawa dalam memaknai eksistensi kebudayaan diri perlu direvitalisasi; kedua, sikap laki-laki yang telah demikian memaksakan dan melegitimasi posisi dirinya sebagai ordinat hegemoni bagi semesta kebudayaan Jawa, dalam hal ini maknanya secara substansial, sebenarnya adalah potret dari pemimpin keluarga Jawa; dan ketiga,ketidakadilan yang harus ditanggung turunan penguasa kerajaan yang kalah dalam peperangan sehingga muncul penguasa-penguasa baru yang melahirkan kerjaan-kerajaan baru di Jawa. Perdebatan yang timbul dalam paradigma multikulturalisme melahirkan sebuah pertanyaan: sejarah dan kebenaran versi manakah yang akan didengar, versi kaum mayoritas atau minoritas? Narasi macam apa yang disuarakan tokoh kaum minoritas? Pertanyaan-pertanyaanini akan terjawab melalui telaah novelRoro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat sebagai bentuk kekuatan budaya bangsa yang multilingual.
Kata kunci: budaya Jawa, sejarah, eksistensialisme religius, Roro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat

1. Pendahuluan
Ketika membicarakan masalah apa yang dimaksud dengan istilah ‘novel’ dalam konteks Indonesia. Terkesan bahwa dalamesai Foulcher (dalam Will Derks, 2008:408—409) istilah ini digunakan agak terbatas, kurang lebih suka menyebutkan ‘novel seni’: pemaparan yang pada pokoknya panjang merupakan susunan, bercerita, berisi penjelasan, dicetak dalam bentuk buku dengan aura seperti abad ke-19. Sastra-sastra Barat,yaitu sastra-sastra postkolonial itu penuh dengan novel-novel seni seperti itu—sesuatu yang bisa membantu menjelaskan kenapa beberapa tahun yang lalu The God of small things karya Arundhati Roy memenangkan hadiah Booker Prize yang bergengsi itu. Dalam sastra Indonesia, novel-novel seperti itu hampir tidak ada. Di sini patut disinggung bahwa dalam penelitiannya mengenai novel berbahasa Jawa, George Quinn mengetengahkan citra yang berbeda mengenai genre ini. Yang penting adalah karakterisasi Quinn bahwa novel-novel ini sangat berorientasi lisan. ‘Sejumlah penulis Jawa rupanya merasa bahwa bisunya prosa merupakan hal yang sangat sukar diterima. Secara singkat Quinn membicarakan sebagian cara yang digunakan oleh para penulis dalam mengatasi kegelisahannya dan menekankan bahwa dalam banyak hal ‘kehadiran suara seorang pencerita praktis dijadikan norma’ (Quinn, 1992:95 dalam Will Derk, 2008:409).
Kehadiran novel warna lokal pada dekade 1980-an pernah menjadi perbincangan yang cukup ramai dalam Kongres Bahasa Indoensia V tahun 1988. permasalahan yang diangkat ke permukaan adalah tentang pemakaian kode ucap yang tumpang tindih, yaitu antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Ragam sastra warna lokal ini terutama didominasi oleh para pengarang dari Jawa. Munculnya pengarang-pengarang yang berasal dari Jawa, seperti Linus Suryadi A.G. (Pengakuan Pariyem, 1980), Umar Kayam (Para Priyayi, 1992), Y.B. Mangunwijaya (Rara Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri), Arswendo Atmowiloto (Canting, 1987), Bakdi Soemanto (Dari Kartu Natal ke Doktor Plimin, 1979) oleh Sumardjo (1980) pernah disinyalir sebagai renaisance kebudayaan Jawa (Santoso, 2004:124). Bahkan, sekarang tahun 2009 muncul pengarang dari Jawa yang mengangkat sastra warna lokal dengan latar belakang sejarah kerajaan Islam di Jawa, yaitu Sunardian Wirodono (Centhini) dan Zhaenal Fanani (Madam Kalinyamat) yang dapat dikategorikan sebagai sastra marginal karena posisinya berada di batas antara sastra daerah dan sastra Indoneisa.
Dalam kaitannya dengan novel warna kelokalan budaya daerah, terutama Jawa dapat dilakukan dengan analisis wacana, khususnya kaitannya dengan komposisi fakta-fakta sosiokultural mengandaikan keterlibatan total kondisi-kondisi sosiohidtoris di sekitarnya. Artinya, wacana, termasuk unit-unit yang lebih kecil, seperti kata dan kalimat, dipahami sebagai unsur-unsur naratif, yang secara genetis dapat ditelusuri melalui interaksi sosial, yaitu sebagai manifestasi aktivitas kultural (Ratna, 1999:9). Hal ini terlihat pula pada novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat, sebagai sublimasi ontologis wacana ke dalam teks fiksional pada sisi yang lain dapat dijelaskan melalui asumsi-asumsi teoretis yang sudah lama dikembangkan oleh kelompok strukturalis. Dengan demikian, tokoh-tokoh, plot, tema, dan sejumlah unsur-unsur pembangunnya, sesungguhnya diambil melalui fakta-fakta kehidupan sosial, latar belakang kehidupan kerajaan-kerajan di Jawa. Secara garis besarnya, dapat disimpulkan bahwa wacana naratif dalam penulisan sejarah novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat adalah pemahaman mengenai fakta-fakta kultural Jawa dengan mempertimbangkan secara intens hubungan antara cerita dengan penceritaan antartokohnya.
Sebagai medium komunikasi, novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat menampilkan identitas orang Jawa dan adat-istiadat yang melatarbelakanginya. Di satu sisi, para pengarang begitu tertarik pada teks-teks sejarah, tidak mengherankan kalau di antara karya-karya sastra lahir. Dengan mengubah sedikit sudut pandang dan penokohan dalam Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat sama sekali baru, Y.B. Mangunwijaya, Sunardian Wirodono, dan Zhaenal Fanani berani mentransformasi dan mengekspresikan budaya Jawa yang melambangkan ambivalensi sejarah.
Pokok pembicaraan di sini memngambil persoalan tentang sesuatu yang berkaitan dengan kehadiran novel sejarah munculnya kerajaan-kerajaan di Jawa, khususnya budaya Jawa, sejarah dan kebenaran versi manakah yang akan didengar, dan versi kaum mayoritas atau minoritas? Atau narasi macam apa yang disuarakan tokoh kaum minoritas? Secara sederhana kajian ini mengambil perspekstif analisis wacana filosofis dan budaya Jawa. Dengan demikian, pilihan tema dan pendekatan diharapkan memberikan kontribusi yang penting dalam melihat permasalahan kesastraan berkaitan dengan formasi sejarah, budaya, filosofi, dan eksistensialisme perempuan Jawa novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat.

2. Eksistensialisme Religius
Eksistensialisme (bahasa Latin: existentio) merupakan cabang filsafat yang lahir pada abad ke-20 mengenai wawasan manusia tentang dirinya dan mengungkapkan keadaan kesadaran secara mendalam (depth conciousness) tentang kemungkinan dan kemerdekaan sebagai persoalan terhadap hakikat manusia. Eksistensialisme merupakan gerakan kultural akibat hasil gemilang, yang telah mengisolasi manusia dari eksistensi kemanusiaan. Eksistensi selalu menjulangkan kebebasan manusia. Kebebasan tersebut sangat individual. Dalam kebebasannya manusia bertanggung jawab penuh atas implikasi perbuatannya. Mansuia yang sadar akan eksistensinya juga sadar bahwa dirinya bebas, dia harus memikul semua tanggung jawabnya. Hal inilah yang paling ditekankan oleh Sartre dalam karya-karyanya, sastra ataupun nonsastra. Bagi Sartre antara filsafat (maksudnya eksistensialisme) dengan sastra berkait erat satu dengan yang lain sebab keduanya merupakan teknik pengungkap diri yang paling konkret (Lathief, 2008:30).
Sementara itu, karya sastra eksistensialisme yang religius secara luas dapat didefinisikan sebagai karya sastra religius yang masih mengandung dimensi nilai-nilai pemikiran mendasar berupa keterlibatan manusia dengan segala realitas kehidupan dan problematika eksistensial dan berserah diri pada Tuhan (Latief, 2008:172). Eksistensi merupakan kebebasan telah dicabut dari posibilitasnya untuk dapat mengubah, mengisi, dan memberi nilai-nilai sendiri kepada eksistensi dirinya dan eksistensi mungkin dapat teralang untuk berhadapan dengan trandensi. Ini terlihat dalam karya Sunardian Wirodono berikut.

“Siapa yang mengingat-ingat kematian dalam kehidupannya, dialah yang bisa merasakan mati dalam hidup,”kataSyekh Amongraga kemudian mewejang. “Mengingat kematian bahwa hidup akanlah berakhir, menuju pada Allah, dan karena itu kita mempersiapkan dengan laku kebajikan. Mematikan segala napsu keburukan yang merusak tubuh, itulah hidup yang terbebaskan, hidup yang mulia sebab hidupnya akan terasa nikmat penuh syukur karena jika pun mati ia akan menyatu dalam Dzat Allah ....” (Centhini, 2009:286).

Ungkapan di atas akan dapat mencapai eksistensi kemanusiaannya jika tokoh perempuan mampu memaknai kehidupannya sendiri. Yang dimaksud adalahsecara pribadi dan rohani sebagai manusia mendapat kesempatan untuk merenung dan berkontemplasi tentang hakikat insan yang berada di tengah-tengah kehidupan. Di samping sebagai pribadi yang bersosialisasi dengan makhluk lainnya, manusia sebaiknya sadar secara rohani untuk memikirkan hubungan vertikal dengan Tuhan. Manusia sebaiknya memikirkan kebebasan untuk memuliakan hidup dan kematian.Pada dasarnya hidup dan mati akan menyatu dalam diri manusia jika manusia bisa menikmati penuh syukur. Kesadaran yang berpusat pada sebuah permasalahan eksistensial. Seorang manusia tentu akan melakukan perjalanan menuju dunia transendensi. Suatu saat ketika waktunya tiba, manusia bebas bertemu dengan Tuhannya.
“Nyi Ratu! Maafkan Kangmas ... Sepanjang hidupku, Nyi Ratu adalah kebahagiaan dan kebanggaanku. Aku berterima kasih atas semua itu. Nyi Ratu tentu tahu bagaimana cintaku kepada Nyi Ratu. Kalau boleh aku meminta, aku ingin hidup selamanya bersama Nyi Ratu. Tapi, semua manusia harus menjalani takdir kematian. Yang akan menjadi penyesalan ketika takdir itu datang, masih ada sesuatu yang belum terselesaikan! Maka, kalau aku meminta kepada Nyi Ratu untuk meninggalkan tempat ini, tak lebih karena masih ada hal yang belum selesai! Dan, aku percaya Nyi Ratu akan menyelesaiakannya ....” (Madam Kalinyamat, 2009:58)

Tokoh-tokoh dalam novel Madam Kalinyamat tersebut telah sadar melihat kehidupan yang sudah digariskan dan ditentukan oleh Tuhan. Akan tetapi, ia tidak tahu kapan dan siapa yang akan menemani kematiannya. Manusia terikat dan bergantung pada yang konkret dan empiris sehingga manusia mempunyai kehidupan yang terbatas, tidak menyeluruh, dan tidak sesuai dengan kehidupam manusia sebagai makhluk teomorfis. Manusai menjadi ketergantungan kepada aktualitas dalam memperoleh kehidupan dan mencari eksistensi manusia dihadapan transensensi yang menjelmakan kehidupan dan kematian menjadi manusia yang bersifat religius.
Karya sastra eksistensialisme yang religius secara luas dapat didefiniskan sebagai karya sastra religius yang masih mengandung dimensi nilai-nilai pemikiran mendasar berupa keterlibatan manusia dengan segala realitas kehidupan dan problematika eksistensial itu sendiri. Sebuah tantangan untuk bertemu dan berserah diri kepada Tuhan. Namun, begitu problematika eksistensial sering kali memojokkan manusia ke dalam sikap pesimisme-psikologis, hal itu pun disadari manusia bahwa semua itu merupakan pemberian dan kehendak Tuhan. Jika eksistensi kehidupan manusia ini dihadapi dengan pembrontakan (la revolte), seperti tokoh Barat Nietsche, Sartre, dan Camus dalam karya mereka, justru Y.B. Mangunwijaya, Sunardian Wirodono, dan Zhaenal Fanani menghadapi dan memberi eksistensi kehidupan melalui Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat sebagai karya yang penuh penyerahan diri secara total para tokoh perempuannya, seperti Rara Mendut, Tambangraras, Chenthini, dan Madam Kalinyamat.Berikut eksistensialisme yang religius terlihat dalam novel Rara Mendut dengan tokoh Rara Mendut yang memiliki kekuatan spiritual dan kekebasan menyelimuti perempuan menunjukkan pertentangan-pertentangan di dalam dirinya.

... Rara Mendut bersembah, lalu mengusapi luka-luka wajah itu dengan pucuk kainnya, sambil merintih, “Paduka, apabila Allah Mahakuasa sekaligus Maha Al Rakhman Al Rakhim mengapa keagungan ningrat manusia tidak sudi bermurah hati? Mengapa sekeras itu Yang Mulia bersikap terhadap kami?
Wiraguna membentak, “Mengapa? Hus, justru karena Wiraguna bukan Allah!”
...
Berlinang-linang Mendut mengucapkan spontanitas wanita yang bernaluri memelihara dan menjaga kehidupan.” (Rara Mendut, 2009:276—277)

Sastra transendental merupakan pernyataan hidup yang lebih dari segalanya dan dipengaruhi oleh gerakan roh.Keindahan dan kebenaran menyatu dalam simbol dengan ruang gerak yang tidak dibatasi oleh percepatan indrawi manusia. Akan tetapi, perempuan mampu bertahan dalam posisi apa pun, meskipun dalam kondisi lemah atas kehidupannya. Rara Mendut membalikkan tatanan konsep tanggung jawab dirinya dengan manusia, terutama kepada Tuhan, ia pasrahkan hidup dan matinya manusia. Oleh sebab itu, secara rohani di mana pun ia berada tidak merasa terganggu keasadarannya yang terpusat untuk kembali kepada Tuhan, yaitu permasalahan eksistensial. Dengan demikian, Rara Mendut mengetahui dan memberi nilai dan makna terhadap kehidupan, akhirnya menyadari kekurangan-kekurangan yang mendasar, menuju dunia transendensi dan bertemu dengan Tuhannya.

3. Budaya JawaRara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat
Novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamatini adalah novel yang berlatar belakang budaya Jawa, bermuatan gagasan filosofis kehidupan para tokoh perempuannya. Di Jawa, perababan Islam mulai berkembang terutama sejak berdirinya kerajaan Demak pada abad ke-13. Salah satu hasil yang menonjol dari Islam awal tersebut adalah bermunculan sastra mistik (Graaf dan Pegeaud, 1989:31 dalam Salam, 2004:37—38). Akan tetapi, pengaruh peradaban Hindu dan kepercayaan tradisional Jawa lainnya, mistik di sini cenderung heterodoks dan panteistik. Lambat laun ciri heterodoks ini berkurang karena semakin derasnya pengaruh dari Arab dan Persia, yaitu karya-karya Al Ghazali, Al Hallaj, dan Ibn Arabi yang dalam banyak hal mengakomodasi lokal Jawa.
Kebudayaan Jawa yang muncul sebagai akibat penyebaran agama Islam Jawa dan tema ini menjadi salah satu dasar lahirnya novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat. Penyebutan tersebut tidak terlalu berlebihan karena dengan derajat dan intensitas yang berbeda setiap agama selalu mengalami lokalisasi sesuai dengan nilai-nilai budaya setempat.
Hal pertama yang dapat dilihat dalam ketiga novel tersebut adalah “agama”. Istilah ini bercokol sebagai cara untuk memberi tahu pada pembaca bahwa “budaya” apa yang ada di Jawa, yaitu khazanah kepercayaan yang nyaris tidak berubah, yang dapat menjelaskan keseluruhan ini sebagai interaksi Budhisme, Hinduisme, Islam, dan (sering enggan diakui) Kristen (Vickers, 2009:137). Oleh karena itu, membahas agama, sejarah tidak perlu menghadapi persoalan epistemologis dalam kerangka konseptualnya. Tentu dimensi religius merupakan bagian penting dari kehidupan tokoh-tokoh dalam novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat.
Cerita tentang Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya merupakan salah satu permata dalam kesusastraan Jawa setelah masuknya Islam, bukan karena bentuk sastranya, tetapi makna sejarahnya. Rara Mendut-Pranacitra pernah dibelandakan dan dipranciskan, cerita ini belum, bahkan juga belum diindonesiakan. Penulisan dalam bahasa Jawa atau tepatnya Babad Tanah Jawi, terpaut 150—200 tahun setelah kejadian yang sesungguhnya, suatu jarak waktu yang nisbiah lama dan terlalu berlebihan sehingga melahirkan cerita-cerita lisan dengan berbagai versi, versi Mataram dan versi Mangir, versi istana, dan versi desa. Untuk konteks ini, perhatikan kutipan berikut.
Meledaklah gamelan dan menggeloralah tetabuhan penuh gairah. Rara Mendut, yang selama Penata Acara berpidato tadi berkacak pinggang seolah-olah acuh tak acuh, tetapi tegang berdebar-debar dari dalam, tiba-tiba melempar sampur -nya, sekaligus melemparkan keragu-raguannya yang terakhir. Bagaikan elang menyambarlah Mendut masuk lingkaran pendapa dan menari dengan gesit, .... (Rara Mendut, 2009:85)

Tampaknya budaya Jawa, seperti gamelan, tari-tarian (tayuban), dan bangunan menjadi alasan para pengarang mencipta karya sastra sehingga faktor kedua ini juga mendominasi cerita dalam novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat. Selain itu, pengarang berasal dari latar belakang Jawa. Orang Jawa biasa menerima berbagai penetrasi agama dari luar dan hal ini berpengaruh banyak bagi dinamika dan sikap masyarakat Jawa pada umumnya walaupun tentu saja tidak harus dipukul rata untuk “merumuskan” sikap budaya, agamanya, dan implikasinya dalam mengapresiasi kehidupan sehari-hari.
Entah bagaimana awal-mulanya, kemudian wilayah itu menjadi seperti sekarang. Ya, Wanamarta wilayah yang subur dan makmur. Beraneka jenis pepohonan, tetumbuhan, selengkap-lengkapnya menyediakan diri untuk orang-orang Wanamarta. Aneka macam jenis padi, buah-buahan, umbi-umbian, menjadi santapan bagi orang-orang desa. Bahkan, ia menjadi wulu-wetu, hasil bumi yang menjadi penghasilan bagi penghidupan. Aneka pepohonan yang besar, menyediakan kayu-kayu yang kokoh, bagi kerangka rumah tinggal dan segala jenis bangunan penyangga kehidupan mereka. (Centhini, 2009:433)

Gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa realitas budaya dalam novel Centhini, berupa kehidupan desa—sekitar Desa Wanamarta-- dengan bangunan-bangunan fisik simbol strata masyarakat dengan adat dan tata karma yang mengikat. Sementara itu, kehidupan orang-orang desa yang sopan dan santun menunjukkan sikap dan kebiasaan masyarakatnya. Meskipun perilaku sosial, budaya, agama, kemasyarakatan, dan bangunan dan kondisi alam diungkap secara langsung, menambah lengkap realitas budaya setempat. Kehidupan masyarakat desaa, khususnya keturunan Ki Bayi Panurta, banyak dibingkai dengan berbagai adat dan budaya Jawa yang tertata rapi.
Rumah-rumah penduduk, menunjukkan tingkat ekonomi mereka yang mapan.
Sebuah desa yang gemah ripah loh jinawi.
...
“Itu rumah penghulu Basorudin,” Ki Nuripin menunjuk rumah gedong besar.... (Centhini, 2009:40—41)

Kutipan di atas, menunjukkan bahwa tidak semua daerah terpencil di sekitar kerajaan-kerajaan di Jawa mengalami kondisi yang terpuruk. Budaya dan adat Jawa yang kental menjadi ciri khas dalam novel Centhini karya Sunardian Wirodono ini. Tidak berbeda dengan novel kedua novel tersebut, dalam novel Madam Kalinyamat juga menghadirkan adat dan budaya Jawa yang dominan dengan segala bentuk bangunan, terlihat kediaman Sultan Prawata, Kadipaten Demak, sebagai cikal bakal Kerajaan Demak berikut ini.

... Ia sedikit terhenyak manakala matanya melihat keris di peraduan sang sunan.... (Madam Kalinyamat, 2009:25)
Setelah memberi tahu akan kedatangannya, salah seorang utusan Sunan Kudus meminta Adipati Jipang menunggu di pendapa. Didampingi Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi, dan Raden Danang Sutawijaya, Adipati Pajang memasuki pendapa. Ternyata, Arya Penangsang telah duduk di sana. Adipati Jipang ini duduk dengan mengenakan pakaian kebesaran adipati. (Madam Kalinyamat, 2009:95)


4. Orientalisme Tokoh Perempuan dalam Budaya Jawa
Sartre (dalam Hassan, 1992:140—150), mendukung ajaran tentang kebebasan mutlak, akhirnya harus berhadapan dengan persoalan manusia. Di samping itu, kebebasan itu bertanggung jawab tanpa batas dan kesadaran pada tubuh sebagai pusat orientasi sehingga mengukuhkan manusia sebagai eksistensi. Konsep eksistensialisme itu sebagai berikut.

Tokoh Rara Mendut, Tambangraras, Centhini, dan Ratu Kalinyamat dalam konteks eksistensi untuk memaknai kehidupan diwujudkan melalui kebebasan berada-pada-dirinya (bentuk ini tidaklah diciptakan, tanpa maksud dan selamanya de trop, penuh, tanpa diharapkan, dan tidak merupakan penyebab bagi dirinya sendiri) dan berada-bagi-dirinya (bentuk ini terbuka dan tidak masif, melainkan retak) (Lathief, 2008:10—11). Artinya, bereksistensi secara tertutup, untuk menutup dirinya sendiri, masif; dan manusia dianggap sebagai manusia yang cerdas dan dapat memilih Tuhan yang dia khayalkan sendiri sebagai objek pemahaman, yaitu menyadari kebebasan keberadaan manusia dalam berpikir, bertindak, memilih dan bertanggung jawab, dan kecemasan. Dalam hal ini, tokoh perempuan berpikiran kebebasan dan pembrontakannya adalah pola pemikiran untuk memaknai dan hakikat hidup sebagai perempuan yang senantiasa merdeka.

4.1 Berada-Pada-Dirinya dan Berada-Bagi-Dirinya
Rara Mendut adalah perempuan pesisir yang hidup dengan segala kekebasannya, tidak mempermasalahkan apakah pekerjaan itu pantas dilakukan oleh seorang perempuan atau tidak? Yang pasti ia tidak pernah membedakannya. Sebagai bentuk pemikirannya, Rara Mendut berperan sebagai manusia yang berada sebagai manusia yang memiliki kekebebsan yang otonom. Otonom inilah yang menjadikan Rara Mendut sebagai manusia bertransendensi diri sendiri, dapat mengatakan ya atau tidakterhadap segala sesuatu yang dihadapinya. Rara Mendut bukan terletak pada eksistensi ini, ia berkehendak yang dapat menerobos baik ada-nya ataupun bukan ada-nya dirinya.
“Ayo, bangun! Ini waktu kerja! Tidak untuk tidur seperti bayi benggala ,” ejek Siwa tua. Tertawa gadis itu bangun. Sesudah membenahi kainnya dan membereskan kembalirambutnya yang kacau ke dalam ikatan yang sekarang agak tahu aturan, ia mendekati Siwa-nya, menangkap pergelangan tangannya dan merayu, “Wa, aku ikut kau terus sajalah.”
...
“Ikut berlayar cari ikan tadi. Jangan suka menggerutu.”
“Ya, itu kan dengan sendirinya.”
“Mana dengan sendirinya. Gadis ikut cari ikandi laut.”
“Memasak saya bisa juga. Mencuci, membersihkan rumah juga bisa. Nanti Paman dan Bibi saya manja. Tapi saya boleh tinggal di sini saja, ya ... Ayo, Wa, mbok bilang ya, begitu. Kan mudah. Cuma bilang: ya! Baik! Begitu .... (Rara Mendut, 2009:5—6)

Eksistensi manusia seperti Rara mendut di antara tidak berada dan berada. Rara Mendut berada dalam suatu dentik dengan tubuhnya, tetapi juga lebih daripada hanya tubuhnya saja. Aktivitas dan kejiwaan Rara Mendut menunjukkan penjelmaan berada yang otonom. Rara Mendut dan aku adalah pusat eksistensi. Sebagai perempuan Rara Mendut adalah seorang memiliki prinsip, seorang perempuan Jawa yang baik, bertanggung jawab, tetapi juga lemah. Sifat perempuan, kecantikannya, kepatuhannya, kesetiaannya, dan keterampilannya dalam “pekerjaan perempuan” di rumah ataupun di luar, membuat laki-laki mudah jatuh hati padanya. Sebagai perempuan bebas, ia tidak menggantung segala kebutuhannya kepada laki-laki. Tokoh Rara Mendut menegaskan pengakuan dirinya sebagai individu yang selalu berusaha mencapai kehidupan dengan segala keakuannya.
Terserah. Tugas yang dibebankan negara kepadanya di Pati telah ia selesaikan dengan sebaik mungkin walaupun mahal biaya yang harus dibayar oleh Mataram karena peristiwa Retna Jumilah dahulu itu. Sejak itu Pati begitu dikecewakan sehingga selamanya telah menarik kembali persahabatan dengan Mataram. Senapati diberontak oleh Adipati Pragola, saudara ipar Senapati, tiga kalo sembilan tahun yang lalu sehingga pasukan-pasukan Pati sudah sampai di Sungai Dengkeng dekat Prambanan. Sekarang putranya, Pragola II-lah yang melawan kedaulatan saudara kemenakannya, Susuhunan Mataram. Benar, Pragola yang muda ini pun telah kalah dan seluruh kota serta puri Pati sudah menjadi karang merah dibakar musnah. Tetapi korban dari pihak Mataram banyak sekali juga. Dan lihatlah, tengah-tengah puing arang hangus itu, siapa berdiri di sana tegak tak tertundukkan? Sesosok gatra dan citra indah yang serba melawan, Rara Mendut, sasmita para dewata. Sepancaran watak yang ternyata mampu mengokohkan jiwa Wiraguna yang akhir-akhir ini sering goyah juga, teristimewa pada saat-saat, kapan ia diperingatkan oleh getaran tangan bahwa Sang Wiraguna sudah melampaui batas hari-hari kematangannya dan ditunggu oleh jingga senja. Pertarungan melawan cakra saat hari tua, bukankah itu medan laga yang jauh lebih sulit diatasi dari pada peperangan mana pun? (Rara Mendut, 2009:60)


Eksistensi Rara Mendut pun bergerak di antara dua kutub, antara tidak berada dan berada.Adanya pandangan keberadaan perempuan sebetulnya lebih jauh dari sekadar pelengkap dalam rumah tangga dan tidak pula sebagai pemenuhan napsu gengsi ataupun syahwat penguasa. Begitu pula dengan konsep kesucian perempuan yang dipandang sebagai pengabdian tulus kepada suami dan keluarga.Keteguhan hati Rara Mendut dalam mempertahankan jati diri sebagai perempuan suci yang terhimpit hegemoni penguasa. Rara Mendut tidak menyerah meski pada akhirnya harus bersimpuh di hadapan penguasa dan menjadi selir. Rara Mendut masih menganggap dirinya adalah suci, meskipun harus menyerahkan galih karena terpaksa pada penguasa atas fisik dirinya. Bahkan, Rara Mendut berteguh hati saat memilih opsi dalam kehidupan merupakan bagian dari eksistensialisme. Hal yang mebuat Rara Mendut adalah simbol perempuan sebagai impuls dari salah satu pihak (kaum laki-laki) menimbulkan respons pada pihak lain secara dialektis, kendati tetap tanpa kaidah kausalitas.
Rara Mendut merupakan salah satu penceritaan stream of consiousness atau interior monoloque, yaitu ekspresi pemikiran yang intim, sublimistis, kematian personal, dan segala sesuatu yang berhubungan dalam bentuk dekat dengan kehidupan bahwa sadar, ditulis oleh pengarang dalam bentuk diskontiunitas atau progesi tidak logis. Rara Mendut, novel yang menampilkan terutama relasi antartokoh dan dunia interaktif, tetapi indifference. Sebagai tampilan sensasi absurd, yaitu suatu atmosfer yang datang melalui pikiran dan perasaan, mengandung kontradiksi dan kemustalihan. “Manusia bebas, manusia adalah kekebebasan” Sartre membuat manusia menjadi master of situation. Seperti Rara Mendut yang akhirnya menemukan kebebasan dengan kematian, yang terjadi ketika antarmanusia, Pranacitra dan Wiraguna, terdesak dari manusia lain, mengancam kebebasannya atau membuat orang lain sebagai objek yang baku.
Serangan kilat Wiraguna benar-benar menentukan. Pranacitra tergelimpang di depan Rara Mendut walaupun masih sempat menikam Wiraguna, yang terampil mengelakkan serangan. Wiraguna mengamuk untuk kedua kalinya dan penuh napsu menikamkan kerisnya ke arah dada Pranacitra. Tetapi, pada saat itu Mendut maju spontan bermaksud membela kekasihnya. Tanpa segaja keris Wiraguna menusuk jantung Mendut yang rebah di atas kekasihnya. (Rara Mendut, 2009:277—278)

Sementara itu, dalam usaha mencari jati diri, sepakat atau tidak, perubahan segala nilai, mulailah tokoh Tambangraras dan Centhini mengenal rasa sangsi akan makna dan arti dunia, juga makna dan arti kehadiran diri sendiri. Sebagai manusia, kepercayaan kepada Tuhan pun mulai mendekat dan bersamaan dengan itu muncul keinginan manusia untuk meraih kebebsan yang mutlak, manusia agung. Akan tetapi, jalan baru itu tidaklah mudah, manusia seperti Tambangraras dan Centhini akhirnya menemukan dirinya dalam ketidakpastian, kebingungan, dan kesepian. Maka, Tambangraras dan Centhini menjadi mansuia dan seorang yang mencari apa yang dicarinya, seperti kutipan berikut.
Memang apa pekerjaanku? Mengintip sepasang pengantin? Itu pekerjaan yang tidak masuk akal.
Tapi, yang tidak masuk akal itu telah kujalani untuk beberapa hari ini. hampir selapan hari atau tujuh pasaran lewat.
Yang menarik hatiku hari-hari ini, justru apa yang akan terjadi pada Syekh Amongraga dan Denayu Tambangraras. Ini bagian yang tidak kuberitahukan pada Nyi Malarsih, juga tentu saja kepada yang lain-lainnya. (Centhini, 2009:418)

Bentukperistiwa yang akan terjadi pada diri sendiri, manusia sendiri belum bisa menakarnya, apalagi untuk manusia lain. Centhini merupakan simbol perempuan yang memiliki revolusi batin, pergulatan mencari jati diri yang telah didengungkan oleh Sekh Amongraga sebagaian belum ia temukan. Persoalan hidup dan kehidupan yang selalu dihadapkan pada sebuah kebimbangan, kecemasan, dan kegamangan merupakan konflik batin yang melelahkan. Namun, Centhini tidak henti-hentinya dalam pencarian jati diri. Memang aliran eksistensialisme merupakan perdaulatan diri manusia secara mutlak sehingga hal tersebut pun memengaruhi ciptaannya. Sunardian Wirodono memakai “alat” eksistensialisme sebagai tujuan untuk menuangkan gagasan yang mendarah daging.
Novel Centhini merupakan karya yang barangkali menghadirkan Islam dan tidak mengatur kesastraan secara terperinci, tetapi terus mencipta dan berkembang untuk mencari yang baru. Berikut kutipan yang menggambarkan ketidaktahuan untuk mencapai rahasia pribadi melalui Islam pada tokoh-tokohnya.
“Tak boleh tidak harus mengetahui, yang tiada kelihatan, tiada tahu kemuliaan. Dalam kitab Ihya’Ulumuddin diingatkan, mereka yang saling berebut ilmu, utamakan mengetahui diri pribadi, mengetahui Tuhan Allah karena dengan demikian kau akan sampai pada kesejatian. Mengetahui kehadiran diri kita, sebagaimana telah disebut pula dalam hadits, Dinda. Itulah awal mula keberadaan manusia. (Centhini, 2009:448)

Ungkapan yang disampaikan Amongraga kepada Tambangraras dan sekaligus Centhini adalah bernada kecintaan dan kerinduan terhadap Tuhannya selalu m,endapatkan porsi otonom dalam cerita Centhini.Sebenarnya mencari Tuhan itu begitu mudah, bergantung pribadi dalam mengolah dan mengatur laku, bertafakur, dan bermediasi dalam mencapai keadaan suasana keheningan dan kebeningan. Dalam upaya mencari Tuhan melalui bahasa kesadaran jiwa yang menyentuh hakikat kenyataan.
Sementara itu, Ratu Kalinyamat dalam pencarian jati diri antara berada-pada-dirinya dan berada-pada-dirinya dapat dilihat sebagai simbolis ataupun gagasan Zhaenal Fanani, seorang pengarang Jawa dalam melihat kenyataan hidup ini, yaitu keadilan dan kebebasan menemukan bentuk wujud dari hawa napsu dengan dinamika dan daya kelemahan sebagai kekuatan perempuan. Bagi Ratu Kalinyamat kesendirian adalah hakikat kehidupan. Setelah kematian Pangeran Kalinyamat, ia merasa senang dengan hidupnya sendiri yang menyendiri. Sebaliknya, perlawanan tokoh perempuan seperti Ratu Kalinyamat sebenarnya merupakan refleksi upaya mencari kesejahteraan diri (perempuan).
Untuk yang kesekian kali, Ratu Kalinyamat dihantam kekagetan mendengar keterangan Laras Minang. Ia seperti mengarungi samudera luas yang tak memberikan jalan padanya menuju dermaga tujuan. Namun, baginya, kehadiran tokoh-tokoh itu mengantar dirinya pada semesta ketersanjungan. Ia berpikir, tanpa jejak-jejak yang terlangkahi bersama nasibnya, ia merasa kesulitan menghadirkan tamu-tamu istimewa itu. Tiba-tiba, ia merasa bersyukur. Dalam kesepiannya melawan jalan takdir, ia menemukan peristiwa menakjubkan yang tak terduga. Kini, ia mulai menyadari bahwa di balik setiap jengkal ujian hidup terdapat halaman misterius yang padat anugerah dan tak terbaca sebelumnya oleh hitungan manusia. (Madam Kalinyamat, 2009:337)

Dalam keadaan luar biasa sakit hatinya Ratu Kalinyamat, ia memiliki tujuan hidup yang masih dalam imajinasinya. Eksistensi Ratu Kalinyamat dalam menemukan kebebasannya, melakukan pengembaraan ke dalam kehidupan antara sadar dan tidak, antara tidur dan terjaga melihat orang yang disayanginya, Pangeran Kalinyamat, suaminya dan Sunan Prawata, kakak kandungnya, meninggal akibat kesalahan Arya Penangsang. Wajah orang mati bermunculan, sebagai wujud kekuatannya Ratu Kalinyamat berpuasa tanpa busana dan tidak tahu kapan ia mengakhirinya. Selama Arya Penasang, Adipati Jipang masih hidup, ia tidak akan bebas menemukan jati dirinya. Ia dapat menanggalkan baju, bahkan tubuhnya sepenuhnya sadar karena dendam dan kecemasan kalau maut menghampirinya, tetapi utang nyawa yang belum terbalaskan. Ia anggap hidup dan kehidupan tidak menemukan kesempurnaan.
...
“Paduka percaya dengan Penguasa Langit?”
Mulut Ratu Kalinyamat seperti terkancing rapat. Detik ini pula, ia merasa seluruh kata-kata seperti kepekatan warna malam yang tak terlihat. Detak dadanya seolah terserut dan terhenti mendadak.
...
“Saya..., saya percaya dengan undangan kematian ...” Suara Ratu Kalinyamat agak tersendat-sendat. Pertanyaan Ki Botolo seperti menyadarkan dirinya bahwa selama ini, ia terlalu tenggelam dalam dunia rencana, dunia perdebatan, dan dunia tanpa batas arus kedekatan dengan kuasa yang menggerakkan roda dunia itu sendiri. Ia jarang memandang sesuatu dalam bingkai yang jauh. Baginya, seolah kematian adalah sebuah permainan yang mengasyikan hingga mampu mendegradasi waktu dan kesempatan. (Madam Kalinyamat, 2009:323)

Penyataan Ratu Kalinyamat justru merupakan justifikasi refleksi teologis lalu menemukan tugasnya, suatu yang secara empiris tidak terlindungi dari ancaman kekelisahan dan dunia tanpa batas. Di sisi lain, kesadaran manusia tentang kematian masih berupa kecemasan dan ketakutan. Barangkali apa yang terjadi dalam novel Madam Kalinyamat, Centhin, dan Rara Mendut perlu diluruskan sebab kematian bagi manusia sesungguhnya bukanlah sebagai kemusnahan tidak bermakna, seperti yang diyakini para eksistensialimse-ateis semacam Sartre atau Camus (Lathief, 2008:107). Kematian adalah mediator untuk proses transendensi manusia itu sendiri, termasuk tokoh Rara Mendut, Tambangraras, Centhini, dan Ratu Kalinyamat. Apa yang terjadi antara berada-bagi-dirinya dan berada-pada-dirinya terdapat pada konsep pemahaman manusia atau struktur manusia yang terdiri atas jiwa dan badan; kematian adalah peristiwa yang terjadi atas berpisahnya jiwa dan badan. Badan adalah kualitas keadaan dalam kebendaan yang pada saat datangnya kematian akan musnah, sedangkan jiwa adalah kualitas rohani yang saat kematian bersifat abadi.

5. Narasi Sejarah Versi Kaum Minoritas Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat
Sastra “mainstream” atau sastra konvensional adalah hasil cipta sastra yang didasarkankepada konvensi sastra yang sudah lama dikenal masyarakat. Konvensi sastra yangdipakai untuk menciptakan karya tersebut sudah berterima di kalangan umum dan sudah dibicarakan di lembaga-lembaga akademis (Suryadi, 2004:154). Ada sastra daerah yang meminjam genre sastra modern. Sebaliknya, ada genre sastra Indonesia modern yang dipengaruhi oleh sastra daerah. Beberapa kajian tentang fenomena sastra Indonesia menyimpulkan bahwa kesusastraan Indonesia modern masih dipengaruhi oleh tradisi (sastra) lisan yang berakar kuat dalam budaya setiap suku bangsa di negeri ini. Demikian peta penciptaan kesusastraan Indoneisa.
Di samping itu, ada dua pernyataan historis pokok dalam novel Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat, yaitu budaya dan agama. Untuk menjawab pernyataan budaya dan agama harus beralih ke persoalan epistemologi, meninjaunya dengan memetakan pergeseran-pergeseran di tataran epistemologis. Ketiga novel tersebut berada dalam lapisan yang berbeda dan latar belakang kerajaan yang berbeda pula. Namun, dari segi sejarah lahirnya kerajaan dicuatkan oleh pola umum penguasa dan kekuasaan.
Rara Mendut Y.B. Mangunwijaya diambil dari versi Babad Tanah Jawi, dokumen duta besar VOC, Rijckloff van Goens, diadapsi dari beberapa penulis, di antaranya Djajadiningrat (1983:319 dalam Saputra, 2005:28—29) menyebutkan bahwa BTJ bersumber pada karya-karya Pengeran Adilangu II yang dibuat sekitar tahun 1680—1718, sejauh bagian yang bersangkut-paut dengan Mataram. Salah satu versi itu adalah versi resmi Surakarta, yang ditulis hingga tahun 1743 dibawah pimpinan Carik Braja pada masa pemerintahan Pakubuwono I dan dilanjtkan oleh pengganti-penggantinya. Pada bagian lain, Djajadiningrat (1983:319 dalam Saputra, 2005:29) mengatakan bahwa kemunculan BTJ berakibat hilangnya buku-buku sejarah yang lebih tua yang pernah dimiliki oleh orang Jawa. Berpangkal pada pendapat Husein Djajadiningrat, Berg (1974:124—125) menentukan terminus a quo tahun 1575 dan terminus ante quem tahun 1635 sebagai saat terbentuknya purwarupa BTJ.
Berat rasanya tanggung jawab menekan di dalam dadanya. Dalam hati ia kagum pada gadis pantai itu. Ini wanita yang benar-benar punya kepribadian. Tetapi, suaminya harus ditolong juga derajat martabatnya. Ah, perlu, sangat perlu Nyai Ageng berdoa. Kepada Dewi Sri, kepada Dewi Ratih, dan ah ... kepada citra ibu dari ibu, rahim yang pernah mengembanPanca-Batara, Dewi Umayi. Tak perlu mencari siapa yang salah. Sedangkan, Batara Guru pun begitu. Semua harus ditolong. Wiraguna, namun juga Mendut dan kekasihnya yang bertanggung jawab itu. Sebab jelaslah bagi Nyai Ageng bahwa Pranacitra datang melulu untuk membebaskan Rara Mendut. Semoga siasat Nyai Ageng berhasil, semoga Mendut menemukan kebahagiaannya. Namun, juga semoga Wiraguna junjungannya dapat selamat juga. Dan insya’ allah, selama Panglima Wiraguna dipercaya Raja, Mataram panggah jaya. (Rara Mendut, 2009:248)

Konflik pribadi antara Roro Mendut dan Tumenggung Wiraguna, menunjukkan konsep fundamental dan tanggung jawab masing-masing tokoh dalam melaksanakan tugas membela Mataram. Sikap Rara Mendut memberikan setiap eksistensi bahwa banyak yang mengagumi Rara Mendut, meskipun pembelaan atas dirinya berakibat buruk. Namun, apa pun yang dilakukan oleh Rara Mendut, ia tetaplah perempuan pesisir memandang dirinya sebagai perempuan pantai yang bebas menentukan pola pikir dan gerak tubuhnya.

Centhini karya Sunardian Wirodono sebuah narasi yang bersumber dari Serat Centhini, yang muncul di abad ke-17. Sementara itu, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara ing Surakarta, pada awal ke-19 lahir Suluk Tambangraras, yang kemudian lebih dikenal dengan Serat Centhini. Karya sastra ini ditulis tahun 1815 oleh tiga pujangga Keraton Surakarta, yaitu Ki Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Tumenggung Sastranegara, dan Ki Ngabehi Sastradipura. Begitu hebatnya ia, sampai-sampai karya ini muncul dalam banyak versi. Setidaknya, ditengarai ada dua belas versi Serat Centhini dan itu cukup menunjukkan kelasnya. Berdasar karya klasik sastra Jawa, Serat Centhini adalah karya Susuhunan Pakubuwana IV Keraton Surakarta Hadiningrat (tahun 1820—1823), ditulis pertama kali pada tahun 1815. Novel Centhini berkisahtentang berbagai entri kebudayaan dan adat Jawa. Bahkan, bisa dikatakan bahwa Serat Centhinidalam hal ini ditransformasi oleh Sunardian dalam novel Centhini adalah sebuah korpus, sebuah teks multibentuk,mengekstualkan absennya kesaktian dan pengetahuan di kalangan kelas penguasa bangsawan dan kepanditaan Jawa. Dengan demikian, Serat Centhini merupakan adikarya Jawa yang begitu luas, apik, dan terkendali yang kontemporer karena memuat pengetahuan, informasi, dan kebudayaan Jawa secara lengkap dan menakjubkan. Dapat diperhatikan segi budaya, mulai dari kuliner, kesenian, agama, kebatinan, gender, dan seksualitas.
Setidaknya, 40 hari 40 malam pengantin Syekh Amongraga, akan menjadi berkah bagi penduduk Desa Wanamarta. Setiap sore hari, tepatnya antara bakda Ashar hingga menjalang Magrib, orang-orang Wanamarta akan pesta, belum lagi nanti pulang membawa berkatan kenduri. Bayangkan, antara Ashar dan Maghrib, orang-orang Desa Wanamarta bisa makan mewah sebanyak dua hingga empat kali. Dan, tidak ada yang sakit perut karena kekenyangan! (Centhini, 2009:163)

Kutipan di atas, sebagian kisah yang menunjukkan bahwa berbagai budaya Jawa dalam novel Centhini merupakan produk dari kelas “profesional” membawa petuah dalam perkembangan sastra Jawa. Bahkan, mengenai kisah seksual dalam Centhini merupakan bagian yang populer. Dalam Serat Centhini sendiri diyakini bahwa hal seksual yang dikisahkan secara terbuka sebagai gaya hidup, perilaku, dan penuh imajinasi manusia zaman sekarang. Ada beberapa penilaian bahwa Serat Centhini adalah buku porno karena mengungkapkan seks secara terbuka.Namun, Sunardian Wirodono berhasil melakukan transformasi yang membawa dedikasi dan interpretasi kreatif, tanpa menghilangkan cerita aslinya.Novel gubahan ini, terdiri atas tiga buku, (1) Centhini, 40 Malam Mengintip Sang Pengantin, (2) Centhini, Perjalanan Cinta, dan (3) Cebolang, Sang Petualang Jalang. Sebagai langkah awal perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai berbagai pendekatan.Tidak mustahil jika novel Centhini ini memberikan warna Jawa dan berbagai khazanah adat Jawa dan percampuran setelah masuknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.Anggapan bahwa sastra lokal hanya sastra pinggiran mampu memberikan warna tersendiri untuk sastra nasional.
Sementara itu, Madam Kalinyamat karya Zhaenal Fanani bersumber dari Babad Tanah Jawi dan Babad Demak.Meskipun tidak disebutka secara tersurat oleh pengarangnya, dalam kaijan ini dapat disimpulkan bahwa cerita yang terjadi pada masa pemerintahan Kerajaan Demak, yang dipimpin oleh Sultan Trenggana.Namun, peristiwa terbunuhnya Sultan Prawata dan Pangeran Kalinyamat, bahkan Arya Penangsang terjadi setelah Sultan Trenggana meninggal dunia. Mengenai Ratu Kalinyamat atau Retna Kencana adalah istri dari Pengeran Kalinyamat yang bersumpah berpuasa tanpa mengenakan baju selama Arya Penangsang masih hidup dan akan menghentikan puasa ketika kepala Arya Penangsang terpenggal, sebagai alas kaki pintu kediamannya. Babad Demak, penggolongan ini berdasarkan pada wilayah atau lokasi, seperti halnya Babad Tanah Jawi (BTJ, versi rangkuman Olthof, Leiden, 1987). Banyak bercerita tutur lain yang sempat tercatat, seperti lakon-lakon tentang Jaka Tingkir atau Hadiwijaya, Sultan Pajang, menantu Sultan Trenggana. Pada abad ke-16, sebelum sejarah Mataram, terlebih dahalu sejarah Demak, Jipang, dan Pajang, yang bersangkut-paut dengan sejarah Retna Kencana, yang tertulis dalam Madam Kalinyamat.
Ia menghela napas berat. Hatinya resah. Baginya, sesuatu yang membuat dirinya merasa berhasil dan bisa mengikis luka hatinya adalah meletakkan sebagaian anggota tubuh Arya Penangsang sebagai alas kaki pintu kediamannya. Tapi, sekarang, justru Sunan Kudus telah mendahuluinya. Tiba-tiba, ia merasa terlempar pada sisi gelap. (Madam Kalinyamat, 2009:406)

Sebagai gambaran bahwa sesungguhnya ketidakberdayaan perempuan seperti Ratu Kalinyamat terhadap hegemoni kaum laki-laki dan penguasa memberi penerangan lahirnya sebuah kerajaan. Hal ini berkaitan dengan kemungkinan letak titik temu yang memungkinkan terjadinya hubungan budaya dan Islam masyarakat Jawa, yang lebih dikenal aspek Islam sangat kental dalam budaya Jawa. Gambaran mengenai hal ini memerlukan paparan mengenai prosesIslamisasi Jawa yang menimbulkan persinggungan dengan budaya lokal dan memunculkan sintesis sebagai Islam Jawa. Sejauh ini, tingkat keberhasilan peran Islam yang dilakukan oleh Sunan Kudus dianggap sukses. Setelah kejatuhan Majapahit, berdirilah kerajaan Islam pertama, yaitu Kerajaan Demak. Tentu, Ratu Kalinyamat berperan dalam legotimasi ideologi dari kekuasaan yang terjadi di Demak, Jepara, dan Pajang, mengingat dia keturunan langsung dari Sultan Tenggana dan ada kaitannya dengan Sultan Hadiwijaya, yang akhirnya menjadi salah Raja Demak.
Bagaimanapun dominan peranan sejarah dalam karya sastra dapat menjelaskan fakta bahwa orang Jawa terus memproduksi citra kemajemukan dan keragaman praja (negeri) dan mengaitkan dengan keberlanjutkan berbagai entitas politik berbasis etnis kerajaan-kerajaan di Jawa. Cerita-cerita Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat tidak menyoal pergerakan jiwa atau agensi ilahiah para tokohnya, kecuali sebagai bumbu yang diperlukan untuk menarik narasi novel tersebut.

6. Simpulan dan Saran
7.1 Simpulan
1. Dalam geo-kultural Jawa dalam Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat yang terjadi sebelum prakolonial adalah dearah pantai. Pesisir, tepatnya pantai utara yang terletak di Kabupaten Pati adalah semacam matriks kultural yang merangkul sebagian besar kerajaan di Jawa. Konstruksi religius, budaya Jawa, dan pesisir dalam konteks sastra sejarah dalam Rara Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat adalah fenomena hibriditas yang perlu diamati.
2. Eksistensi tokoh perempuan mendahului hakikatnya. Hal ini adalah fakta dasar dan pokok. Setiap tokoh bertanggung jawab untuk membuat dirinya sebagaimana apa adanya, essence, subtansi atau watak dalam menjadikan suatu apa pun peristiwa itu apa adanya. Eksistensi selalu menjulangkan kebebasan manusia. Kebebasan tersebut individual. Begitu pula yang terjadi dalam kebebasan tokoh Rara Mendut, Tambangraras, centhini, dan Ratu Kalinyamat sebagai manusia bebas bertanggung jawab penuh atas implikasi perbuatannya.

7.2 Saran
1. Kajian ini adalah awal pemahaman budaya daerah (lokal, Jawa) sebagai revitalisasi sastra daerah melalui novel Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, Centhini karya Sunardian Wirodono, dan Madam Kalinyamat karya Zhaenal Fanani. Sebagai lanjutan penelitian diharapkan ada kajian lebih luas mengenai sosial budaya, agama, dan khususnya kelokalan.
2. Para bahasa dan sastra, kebudayaan, dan masyarakat hendaknya bekerja sama untuk mengembangkan dan melestarikan budaya Jawa dan nasional sebagai kekuatan budaya bangsa yang multilingual.


Puji Retno Hardiningtyas, bekerja di Balai Bahasa Denpasar, Pusat Bahasa, Kemdiknas. Aku suka dunia sastra, teater, dan puisi. Aku dulu lulusan Universitas Negeri Semarang, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni tahun 2004.


Bibliografi

Bandel, Katrin. 2009. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.
Fanani, Zhaenal. 2009. Madam Kalinyamat. Yogyakarta: Diva Press.
Foulcher, Keith dan Tony Day (Editor). 2008. Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial. Alih bahasa Koesalah Soebagyo Toer dan Monique Soesman. Jakarta: KITLV bekerja sama Yayasan Obor Indonesia.
Hassan, Fuad. 1992. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Lathief, Supaat I. 2008. Sastra: Eksistensialisme-Mistisisme Religius. Lamongan: Pustaka Ilalang.
Mahayana, Maman S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening Publising.
Mangunwijaya, Y.B. 2009. Rara Mendut Sebuah Trilogi. Jakarta: Gramedia.
Salam, Aprinus. 2004. Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta: Lkis Yogyakarta.
Saputra, Karsono H. 2005. “Babad Tanah Jawi sebagai Model Penulisan Sastra Sejarah Jawa” dalam Bahasa dan Sastra Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Citra Pustaka.
Toer, Pramoedya Ananta. 2000. Mangir. Jakarta: Kepustakaan Populer Grmaedia Bekerja Sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.
Vickers, Adrian. 2009. Peradaban Pesisir Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Alih Bahasa Arief B. Prasetyo. Denpasar: Pustaka Larasan Bekerja Sama dengan Udayana University Press.
Wahyudi, Ibnu (Editor). 2004. Menyoal Sastra Marginal. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Bekerja Sama HISKI Pusat.
Wirodono, Sunardian. 2009. Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin. Yogyakarta: Diva Press.
Zaidan, Abdul Rozak. 2002. Pedoman Penelitian Sastra Daerah. Jakarta: Pusat Bahasa.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Alih Bahasa Dick Hartoko. Yogyakarta: Djambatan.

Diungggah dari : http://pujiretnohardiningtyas.blogspot.com/
Per-tanggal : 4 Januari 2011

Minggu, 16 Januari 2011

SERAT CENTHINI DWI LINGUA

Mengindonesiakan Serat Centhini text by text? Selama ini belum pernah ada yang berhasil melakukannya. Bukan hanya sekedar ketebalannya, lebih dari 3500 halaman, memuat 722 pupuh atau jenis tembang, dan semuanya yang terbagi dalam 12 jilid buku, memuat 250-an ribu baris. Namun selain itu juga karena bahasa tembang Macapat serta kandungan isinya sebagai ensiklopedi, membuat penerjemahan itu bukanlah sesuatu yang mudah.
Apa yang dilakukan oleh Sunardian Wirodono, dengan melakukan pengindonesiaan yang diharapkan mendekati teks Serat Centhini, adalah sebuah keberanian. Dikatakan sebuah keberanian, karena Sunardian yang telah menggubah Serat Centhini menjadi sebuah novel berbahasa Indonesia, tidak bisa bersembunyi pada berbagai penjelasan naratif yang selama ini sering dipakai, jika beberapa orang mencoba untuk menerjemahkan karya sastra klasik Sri Susuhunan Pakubuwana V (1820-1823) itu.
Dikatakan oleh Sunardian, niatan mengindonesiakan Serat Centhini, lebih karena kenyataan banyak yang mengetahui (dengan menyebut-nyebut) Serat Centhini, namun belum tentu mereka membacanya, bahkan mungkin melihat wujud kitabnya. Belum lagi jika mengetahui, bahwa karya klasik itu masih tersimpan dalam bahasa Jawa. Maka banyak yang menyebut Serat Centhini adalah "Kamasutra Jawa".
Penyebutan itu, tidak sangat keliru, karena di dalam Serat Centhini memang bertebar ujaran-ujaran dan bahkan ajaran mengenai seksualitas. Dijabarkan dengan jelas, bagaimana sebaiknya orang melakukan senggama, juga pada waktu apa, dengan posisi seperti apa. Bahkan, dalam narasinya, juga diceriterakan bagaimana beberapa tokohnya seperti Ki Jayengraga, Ki Kulawirya, Cebolang, melakukan persenggamaan dengan berbagai perempuan, dari gadis di bawah umur, janda, atau bahkan isteri orang lain. Atau juga dengan terus-terang diceritakan bagaimana mereka melakukan party-sex, three-some, dan lelaki dengan lelaki. Cerita-cerita seperti itu tersebar hampir merata di setiap jilidnya.
Namun, Serat Centhini bukan hanya mengenai satu hal itu (sebagaimana Kamasutra yang memang secara khusus menguraikan teknis bersenggama cara India-Hindu). Serat Centhini adalah ensiklopedi yang naratif. Penuturan mengenai berbagai item, konten, dituliskan melalui kisah perjalanan tokoh-tokohnya (terutama Ki Syekh Amongraga, Ki Jayengsari dan Ni Rancangkapti, juga Cebolang), dengan setting waktu paska jatuhnya Kasunanan Giri oleh Sultan Agung Mataram (1736). Latar belakang kisah, adalah pelarian dan petualangan tiga anak Sunan Giri yang berada dalam kejaran para prajuri Mataram.
Dengan bangunan setting waktu, setting tema, dan pola bertuturnya yang linier, Serat Centhini menguraikan mengenai pernak-pernik kehidupan manusia melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tokoh-tokohnya. Dari sana meluncur berbagai hal dari perbintangan (astrologi), pengetahuan mengenai alam, cara bercocok-tanam, jamu-jamuan, aneka jenis makanan dan minuman, berbagai adat dan ritual (Jawa) dari melahirkan anak, pengantin, hingga kematian.
Dalam Serat Centhini juga bisa didapatkan berbagai hal mengenai ajaran dan ujaran agama, tasawuf, etika, filsafat. Juga kitab ini memuat data dan fakta mengenai sejarah, legenda, mitos, mengenai candi, bangunan kraton, aneka tetumbuhan, dan potret sosial dari berbagai kelas masyarakat.
Serat Centhini adalah kitab yang ditulis mulai 1814, dengan menyodorkan warna baru. Ia ditulis dari tembok kraton, namun ia tidak berbicara mengenai kejayaan sebuah kerajaan atau keagungan Sang Raja. Serat Centhini, bahkan sebaliknya, menuliskan kisah orang-orang pinggiran, tokoh-tokoh yang tidak dikenali sejarah tetapi punya wilayah dan kehidupan sosial, orang-orang terusir atau pelarian. Sultan Agung yang menjadi "penyebab" dari latar belakang sosial Serat Centhini pun, hanya muncul sebagian kecil pada jilid pertama dan terakhir. Itu pun tidak sangat dominan. Ia tokoh yang menyebabkan pelarian Ki Syekh Amongraga, tetapi juga mengakhiri kisah Syekh Amongraga, namun di tengah-tengahnya Sri Pakubuwana memberikan ruang yang luas bagi berbagai tokoh kecil yang bisa jadi adalah korban-korban dari Sultan Agung.
Dari situ, keanehan sudah tampak pada karakter Serat Centhini ini yang berbeda dengan serat-serat lainnya. Bahkan, jika kita mengetahui, bagaimana proses terciptanya karya sastra itu sendiri, akan terasa semakin keanehannya. Karena sejak awal oleh penggagasnya (Sri Pakubuwana V, yang pada waktu itu masih sebagai putra mahkota dari Pakubuwana IV) dimaksudkan sebagai "baboning pangawikan Jawi" (sumber pengetahuan Jawa), maka ia memerintahkan pada Ranggasutrisna, Yasadipura II untuk berkeliling ke Jawa bagian barat dan timur, serta Sastradipura diutusnya ke Mekah untuk sekalian naik haji dan belajar mengenai agama (hingga kemudian namanya berganti menjadi H. Mohammad Ilhar) senarai dengan selesainya penulisan Serat Centhini pada 1823, atausembilan tahun kemudian.
Karena itu, Serat Centhini menjadi sangat tebal (12 jilid dan hampir 4000 halaman jika dilatinkan dengan ukuran buku 14x21 Cm, sebagaimana bisa dilihat dalam buku "Serat Centhini Latin" yang disusun oleh Karkana Kamajaya), sangat kaya. Ia adalah buku ensiklopedi pertama di Indonesia, yang ditulis dengan cara "paling kreatif dan orisinal".
Maka jika bisa disebut jasa siapa yang "meneruskan" Serat Centhini dikenal oleh kalangan lebih luas, ialah upaya menyalin Serat Centhini dari huruf Jawa ke huruf latin, seperti yang dilakukan oleh Karkana Kamajaya (1980) itu. Dari sana, serat Centhini yang semula ngendon di istana, bisa keluar dan dinikmati oleh kalangan luar, meski masih terbatas yang mengetahui bahasa Jawa. Selebihnya, gelap.
Baru kemudian 25 tahun kemudian, munculnya karya gubahan Elizabeth D. Inandiak (wartawati Perancis) dalam bentuk prosa liris berbahasa Indonesia (mulanya gubahan dalam bahasa Perancis), menjadi pintu masuk Serat Centhini pada generasi baru Indonesia. Banyak anak muda Indonesia yang kemudian sedikit tercerahkan dengan apa yang dilakukan oleh Inandiak. Meski pada karya Inandiak, rasa ensiklopedi Serat Centhini sedikit banyak dihilangkan, karena lebih bertumpu pada kisah romansa tokoh-tokohnya. Karya Inandiak, karena satu-satunya yang berbahasa Indonesia dengan pendekatan kontemporer, seolah menjadikan referensi utama pengenalan Serat Centhini.
Pada 2009, Sunardian Wirodono menggubahnya ke dalam bentuk novel, dimulai dari "centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin", Sunardian "hanya" memakai peristiwa 40 hari masa pengantin antara Syekh Amongraga dengan Tambangraras, namun berhasil menyarikan gambaran Serat Centhini secara utuh, dari sejak awal sejarah Sunan Giri, hingga pecahnya perang, dan kisah pelarian anak-anak Sunan Giri tersebut, dengan teknik penulisan yang un-linier.
Sayang untuk seri novel keduanya, yakni paska minggatnya Syekh Amongraga dari isterinya, "Centhini, Perjalanan Cinta", yang mengisahkan pencarian Tambangraras dan seluruh keluarganya hingga kisah kematian Syekh Amongraga dan pertemuan terakhirnya dengan Sultan Agung, proses penerbitan novel itu terhambat karena konflik Sunardian dengan penerbitnya, yang secara sepihak mengalihkan naskah-naskah yang sudah digarap ke penulis lain Gangsar R Hayuaji alias sri Wintala Ahmad, yang penulis ini kemudin membajak atau mengcopy paste tulisan-tulisan Sunardian didaku sebagai karyanya dan atas namanya). Kasus pembajakan buku ini masih berproses secara hukum. Padahal, Sunardian yang semula merancang tiga novel gubahan atas serat Centhini itu, ingin menyodorkan kitab klasik itu dalam spirit dan bentuk awalnya, yakni Sunardian memilih tetap setia pada alur dan komponen isi Serat Centhini yang memang ensiklopedis, meski diakui menjadi tidak sebebas Inandiak misalnya. Sayang, dengan kasus hukum itu, menjadi terhambat.
Tidak bisa menunggu kevakuman (atas proses hukum pembajakan novel Centhini) itu, Sunardian menjadi terpicu untuk sekalian saja menerjemahkan Serat Centhini seutuhnya. Dengan demikian, maka masyarakat akan langsung tahu dari sumber aslinya, text by text. Disebutkan demikian, karena berbeda dengan penerjemahan yang sudah dilakukan oleh Tim Universitas Gajah Mada, terjemahan Sunardian tetap di susun sebagaimana teks syair tembang macapat, meski tidak mungkin memenuhi guru wilangan dan guru lagu metrum tembang macapat yang ketat. Namun setidaknya, pembaca dituntun mampu mendekatkan pengertiannya atas teks bahasa Jawa yang akan disertakan juga. Itu perbedaan dengan penerjemahan sebelumnya, yang dituliskan secara prosa dan lebih mendekati uraian deskriptif daripada pendekatan karya sastra kreatif.
Apa yang diharapkan oleh penerjemah adalah, agar dengan demikian Serat Centhini diketahui teks aslinya, dan diketahui pula makna sejatinya, kalimat-perkalimat sebagaimana pola penerjemahan kitab-kitab suci seperti Alquran, Injil, Wedha, tanpa niatan menyamakannya. Dimaksudkan oleh Sunardian, dengan demikian "rasa puitik" dari tembang macapat, bisa dirasakan pula meski dalam bahasa Indonesia.
Penulis yang dulunya dikenal sebagai penyair, dan kemudian lebih berkonsentrasi ke novel, tentu lebih mempunyai pendekatan sastrawi yang dibutuhkan untuk proses penerjemahan Serat Centhini ini.
Namun karena proyek penerjemahan ini lebih bersifat pribadi, Sunardian memilih jalur penerbitan indie, dengan gotong-royong masyarakat yang mencintai dan menginginkan dapat membaca Serat Centhini sesuai pengetahuan bahasanya. Karena itu, proses penerjemahan itu akan memakan waktu lama. Sunardian menjanjikan, setiap bulannya, akan diterbitkan per-jilid mulai Januari 2011, hingga jilid XII direncanakan selesai dan terbit pada Desember 2011.
"Dengan gotong royong pembaca dan penggemar Serat Centhini, proses penerjemahan ini tidak perlu menggantungkan pada funding atau lembaga kebudayaan pemerintah, yang memang tidak peduli pada dokumen bangsanya," demikian dikatakan Sunardian yang memilih jejaring sosial seperti facebook dan blogspot untuk menyebarkan bukunya. Jejaring sosial ini, katanya, mampu membebaskan cengkeraman dari dominasi toko buku, yang biasanya memotong antara 50-60% dari harga jual buku, sehingga menyebabkan harga buku mahal namun penulisnya kurang mendapatkan penghargaan. Jika toko buku langsung mendapatkan lebih dari separoh harga buku, maka teknik yang dipakai penerbit adalah melipatgandakan buku itu hingga mereka memperhitungkan mendapatkan keuntungan memadai, akibatnya harga buku menjadi sangat tinggi, apalagi jika memakai jasa distributor, karena toko buku tidak memberikan ruang pada munculnya penerbit-penerbit kecil yang tidak bisa menjaga kontinyuitas penerbitan. Dengan komposisi toko buku mendapat 50-60%, distributor antara 10-15%, penerbit hanya akan sekitar 25-35%, dan penulis sebagai tiang utamanya, hanya sekitar 10% (dengan model royalti, terutama pada penerbit besar), tetapi kebanyakan penerbit buku hanya memberikan sekitar 1% dari harga jual buku.
"Komposisi itu, jelas tidak mengembangkan dunia penulisan," kata Sunardian Wirodono yang semula malang-melintang di dunia broadcast di Jakarta dan mulai 2008 memilih tinggal di Yogyakarta.

Rabu, 13 Oktober 2010

Skandal Penjiplakan Novel Centhini 2 Perjalanan Cinta

Setelah menerbitkan novel “Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin” karya Sunardian Wirodono pada Mei 2009, merupakan novel gubahan dari sastra klasik Jawa Serat Centhini, Diva Press Yogyakarta menerbitkan novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” dengan penulis bernama Gangsar R Hayuaji (yang kemudian dijelaskan sendiri oleh penulisanya merupakan nama pena dari Sri Wintala Achmad), pada Oktober 2010.
Penerbitan novel terakhir itu, sungguh menyentak saya (Sunardian Wirodono, SW). Karena dari teks-teks yang ada dalam novel itu, yang dikatakan ditulis oleh Gangsar R. Hayuaji, sebagian besar adalah apa yang saya tulis untuk melanjutkan novel pertama saya “Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin”. Bagaimana bisa, dan apa buktinya?

Sebelumnya, harus dijelas latar belakangnya. Hubungan kerja saya (SW) dengan penerbitan Diva Press (DP) tidaklah mulus. Setelah mengalami cetak ulang tiga kali, DP antusias untuk meminta saya menyegerakan penulisan novel berikutnya, yang memang saya janjikan Serat Centhini saya gubah menjadi tiga buku, yakni (1) Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin, (2) Centhini Perjalanan Cinta, dan terakhir (3) Cebolang Sang Petualang Jalang.
Hubungan kerja itu, karena persahabatan, tidak memakai perjanjian tertulis. Demikian juga tak ada kontrak, kecuali SW mendapat honorarium berdasar jumlah buku yang dicetak. Ketika saya mempertanyakan soal kontrak kerja, setelah melihat hasil cetakan ke-tiga, saya disodorkan point-point kontrak kerja yang 100% menekan penulis dan 100% menguntungkan penerbit.
Sementara, hak honorarium saya untuk cetakan ke-tiga (Oktober 2009), tidak akan diberikan sebelum saya menyelesaikan naskah ke-dua, “Centhini Perjalanan Cinta”. Saya shock, karena pada waktu itu (Februari 2010) saya sangat membutuhkannya. Dan selama itu, sama sekali tidak ada pembicaraan lebih lanjut. Sebelum itu, saya memang sudah menyerahkan beberapa bab untuk “Centhini Perjalanan Cinta”, karena saya membutuhkan uang (dengan system ijon), dan pihak DV memberikan uang muka pada saya Rp 5.000.000,00 untuk hal itu. Maaf, detailnya saya lupa mengenai hal ini.
Sekarang persoalannya, ketika permasalahan tersebut di atas tidak atau belum terselesaikan, pihak DP kemudian menerbitkan novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” dengan penulis Gangsar R Hayuaji (Sri Wintala Achmad) tersebut.
Lepas dari apapun persoalan saya (SW) dengan DP, penerbitan novel atas nama Gangsar R Hayuaji itu mengandung cacat prinsipil dalam karya kreatif penulisan, yakni soal orisinalitas.
Dalam ucapan terima kasih (tak jelas dari penerbit atau penulisnya) pada novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” (C2PC) itu, dituliskan ucapan terima kasih pula pada Sunardian Wirodono, yang disitu ditulis sebagai “penulis naskah lepas Centhini: Perjalanan Cinta” yang “secara tidak langsung” memberikan sumber data penulisan novel ini (C2PC, h. 5). Seolah ada penulis tetap sebagaimana proses penulisan Serat Centhini yang ditunjuk oleh Sri Susuhunan Pakubuwana V.
Tidak jelas apa maksud “secara tidak langsung” ini, karena pada halaman 418 disebutkan “Wirodono, Sunardian. “Centhini: perjalanan Cinta”. Teks lepas, Jakarta-Yogya, Maret-November 2009” pada daftar bacaan novel C2PC. Artinya Gangsar R Hayuaji tak mungkin tidak tahu soal file tulisan SW itu.
Seorang teman, lewat facebook, pernah menanyakan pada DP, apakah novel C2PC adalah karya SW? Dijawab oleh pihak DP, sama sekali tidak (Oktober 2010). Dan melalui account “Membaca Serat Centhini” (MSC) di facebook, karena mendapatkan tag kiriman dari “Centhini Literatur From Java” yang dikelola oleh Sri Wintala Achmad, SW menanyakan agar dijelaskan oleh penerbit maupun penulis, bahwa buku tersebut tidak ada kaitannya dengan SW. Hal tersebut dijawab langsung oleh Sri Wintala Achmad, bahwa novel tersebut sama sekali tidak berkait dengan SW, dan ia katakan semuanya ia tulis sendiri berdasar referensi yang ia miliki (Oktober 2010).
Baiklah. Saya ingin masuk pada bukti-bukti teks, yang ternyata, hampir semuanya copy paste dari yang saya (SW) tulis, untuk kemudian dengan nama Gangsar R. Hayuaji didaku sebagai karyanya:
Saya telah membaca novel "Centhini 2 Perjalanan Cinta" yang diakukan ditulis oleh Gangsar R Hayuaji (nama pena dari Sri Wintala Achmad), yang baru saja diluncurkan.
Novel tersebut konon mengacu pada karya sastra klasik Jawa Serat Centhini. Namun, mencermati teks novel tersebut, yang dibagi dalam empat bagian (1) Tambangraras Mencari Belahan Jiwa, 12 bab (2) Amongraga Mencari Sarang Angin, 15 Bab (3) Kelana Sang Pelarian, 3 bab, dan (4) Sang Kelana yang Kembali, 7 bab, dan (5) Kesaksian Seorang Cethi, 2 bab.
Saya (Sunardian Wirodono) setelah membacanya, kemudian bisa memastikan, bahwa karya tersebut, khususnya pada bagian 1, hampir keseluruhan merupakan copy-paste dari apa yang telah saya tulis untuk karya yang saya juduli "Centhini Perjalanan Cinta" khususnya dari Bab 1 s.d 3 yang oleh Sdr gangsar digabung kemudian dipecah menjadi 12 bab.
Demikian juga pada bagian 2, Sdr. Gangsar mengcopy-paste tulisan saya untuk naskah yang sama, khususnya pada Bagian Pembuka, yang kemudian dijadikannya 15 bab, dan diletakkan pada bagian ke-2.
Peletakan bab 1-2-3 dan kemudian baru bab pembuka, jika dilihat dari struktur pengurutan naskah saya, tidak mengurangi penjiplakan yang dilakukan oleh saudara Gangsar, karena baris demi baris bisa diperbandingkan dengan kesamaan persis di atas 90%. Sdr. Gangsar hanya melakukan pengimbuhan kata, penyisipan, pengubahan sana-sini-situ, menghapus beberapa alinea, tetapi tidak mengubah struktur logika dan plot, bahkan beberapa idiom yang sengaja saya lakukan.
Bahkan, upaya pengotak-atikan (membolak-balik) urutan itu, menjelaskan lebih terang, bahwa saudara Gangsar sadar dan sengaja melakukan hal tersebut. Misalnya, mengcopy-paste bab pembuka SW, yang justeru dipakai sebagai footnote seperti pada bukunya di halaman 298-299, untuk yang ini bahkan sama sekali tidak diedit alias plek-plek-plek, padahal lebih dari 40 baris.
Dengan demikian, novel terbitan Diva Press setebal 420 halaman itu (dikurangi 50 halaman pengantar), dari halaman 61 s.d 178 dan 181 s.d 300 (total dari 370 halaman) yang didaku Gangsar R Hayuaji sebagai karyanya itu, 236 halaman atau 63,78% adalah teks naskah yang di tulis oleh Sunardian. Dari meta-data file komputer, saya berani bertanggungjawab, naskah tersebut saya tuliskan pada periode Maret 2009-Maret 2010, sementara Gangsar menuliskannya bertitimangsa Mei 2010.
Saya kutipkan dari file SW “Bab Satu : Cinta Begitu Membelenggu” | WANAMARTA. YANG ADA HANYALAH SUNYI SEPI. MATAHARI memang tetap bersinar di langit. Bahkan, seolah tiada jemu. Setiap pagi. Setiap sore. Di langit yang sama. Datang dan pergi.
Tapi betapa membosankan bagiku.
Hari demi hari, begitu terasa lambat.
Sangat lambat.
Entah berapa lama sudah. Denayu Tambangraras berkelana dalam diam, di atas tempat peraduannya. Ya, tempat peraduan, karena demikianlah hari-hari dan malam-malamnya, diadukan dalam kesendirian.
Sementara itu, aku, si Centhini, sebagai cethi, pembantu setia Tambangraras, pun hanya berada dalam diam. Tiada mengerti harus berbuat apa. Bukannya tiada daya, namun lebih karena tiada cara, agar Denayu Tambangraras melepaskan diri dari derita. Yang kulakukan hanyalah menemani, melayani, dan menjadi perantara, dari siapa pun yang ingin menemuinya. Karena hanya padaku, Denayu sudi menumpahkan isi hatinya. Dan hanya padaku, Denayu percaya.
Masa-masa yang sulit, juga bagaimana aku harus menceriterakan kepadamu, betapa tidak masuk akalnya ini semua. Cinta kepati-pati Denayu, pada Syekh Amongraga, menjadikan semuanya ini tidak masuk akal, tak bisa dinalar, setidaknya oleh nalarku.
Kenapa cinta begitu membelenggu? Dan bukannya membebaskan?
Ah, pertanyaan yang tidak cukup cerdas, justeru karena terlalu dipikirkan.
Masih ingat, bagaimana pada malam ke-40 hari perkawinannya, Syekh Amongraga pergi tanpa pamit pada isterinya, Tambangraras? Yang terjadi kemudian, hanya duka derita.
Denayu Tambangraras setelah itu, tiada mau melakukan apa pun. Tidak mandi, tidak bersalin pakaian. Makan dan minum pun, jika tak dipaksa, tak akan dilakukannya. Yang ia lakukan, hanyalah menderas Alquran, shalat, berdzikir.
Saat-saat keluar dari kamarnya, hanyalah untuk berwudhu, atau ke pakiwan. Selebihnya, tak ada.
Ia mengenakan pakaian serba putih, sebagaimana selembar kain yang hanya disampirkan di tubuh kurusnya.
Dan itu terjadi bukan saja berhari-hari, berpekan-pekan. Melainkan ketika bulan purnama telah berganti beberapa kali. Mungkin saja satu tahun lebih, aku tidak tahu pasti. Tapi nanti kau bisa merunutnya, seberapa lama perjalanan Syekh Amongraga di tempat-tempat yang ia datangi, untuk mencari dua adiknya, dengan meninggalkan isterinya!
Alasan yang menurutku dibuat-buat. Sangat dibuat-buat.
Apa sesungguhnya alasan yang sebenar-benarnya? Memang hendak meninggalkan Tambangraras, sebagaimana para lelaki meninggalkan perempuan yang telah dicecap sari-madunya? Sebegitu jugakah Amongraga yang bergelar syekh itu? Syekh apa pula namanya, dan darimana gelar itu didapatkannya?
“Centhini,…” suara Denayu Tambangraras perlahan.
Tersadar aku dibuatnya. Kupandangi perempuan kurus kering yang tepekur di atas ranjangnya, di depanku.
“Apa yang ada dalam pikiranmu kiranya?” Tambangraras menatapku.
“Tak ada,” jawabku keceplosan. Jengkel.
“Kita harus menerimanya,…”
“Untuk alasan apa, Denayu?” aku balik bertanya. Dengan nada meninggi.
“Tidak semua harus ada alasannya,…”
Jawaban Denayu Tambangraras mengecewakanku. Betapa dulu, ketika kami masih kanak-kanak, kami diminta untuk memberikan alasan. Semua benda yang bergerak di muka bumi ini, selalu dengan alasan-alasan. Tak ada yang tidak. Dan Ki Bayi Panurtha, akan selalu menuntut mengapa begini mengapa begitu. Tak boleh salah menjawab, dan tak boleh segala sesuatu dilakukan tanpa sebab dan tujuan yang pasti. Agar kami mengetahui dan waspada, mengenai baik-buruk segala sesuatu.
Tapi, kenapa justeru jauh waktu kemudian, ketika kami telah dianggap aqil-balikh, sama sekali kita tidak boleh mempertanyakannya? Dan diminta untuk menerima segala hal begitu saja?
Menyebalkan.

Kemudian, ini yang saya baca dari “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” oleh Gangsar R. Hayuaji, pada bab 1, hal 61 – 64: | Sebagaimana kemarin, matahari masih terbit dan terbenam di langit Wanamarta. Datang dan pergi dengan membawa kabar yang sama. Hingga hidup hanya putaran roda kereta dalam kelengangan jalan. Melaju jauh menuju kota kesunyian hati tak bertepi. Betapa brengsek dan membosankan!
Entah sudah berapa lama Denayu Tambangraras berkelana dalam sunyi peraduannya. Tempat di mana ia selalu menghabiskan waktunya untuk mengadukan kesunyian hati pada cermin. Cermin yang selalu basah dengan air mata kepedihan.
Sementara aku si Centhini, cethi setia Denayu Tambangraras, tidak mengerti harus berbuat apa. Bukannya tidak berdaya, melainkan tidak tahu cara bagaimana membantu Denayu Tambangraras untuk terlepas dari belenggu nestapa. Pekerjaan yang kulakukan hanya menemani, melayani, dan menjadi perantara dari sesiapa yang ingin menemuinya. Karena hanya kepadaku, Denayu sudi menumpahkan isi hatinya. Hanya kepadaku, Denayu percaya.
Betapa sulit, manakala aku harus menceriterakan segala sesuatu yang tak masuk akal. Cinta kepati-pati Denayu Tambangraras pada Syekh Amongraga menjadikan segala sesuatu tidak masuk akal. Cinta yang membelenggu. Tidak memerdekakan. Cinta yang semakin tidak jelas hakikatnya. Memicu ketololan, ketika dipikirkan.
Makin terbersit di benak. Seusai melintasi empatpuluh malam perkawinannya, Denbagus Amongraga meninggalkan Wanamarta. Meninggalkan nestapa di dalam hati Denayu Tambangraras. Nestapa yang kemudian menyerupai ampas kopi, melarut kental di dasar cangkir.
Semenjak kepergian Denbagus Amongraga, Denayu Tambangraras tidak perduli dengan dirinya. Tidak mau mandi dan bersalin busana. Tidak mau merias wajah dan melulur tubuh langsatnya. Tidak mau makan dan minum. Hari-harinya hanya dihabiskan untuk menderas al-Quran, shalat, dan berdzikir.
Betapa iba aku pada Denayu Tambangraras. Perempuan yang tidak pernah lepas dari busana serba putih. Selembar kain yang hanya dibalutkan pada tubuh kurus keringnya. Perempuan yang hanya keluar dari tempat peraduan bila ingin berwudlu dan buang air besar dan kecil di pakiwan.
Di satu sisi, aku iba pada Denayu Tambangraras. Di sisi lain, aku jengkel pada Denbagus Amongraga yang pergi tanpa alasan. Apakah kepergiannya karena ingin meninggalkan Denayu Tambangraras? Apakah karena ingin mencari kedua adiknya yang tidak diketahui di mana rimbanya? Apakah ingin mencari jati diri? Semua masih teka-teki.
“centhini…” Denayu Tambangraras yang terpekur di ranjang sontak memecah lamunanku, “Apa yang tengah kamu pikirkan?”
“Ehm…”
“”Tidak perlu kamu pikirkan Centhini!” pinta Denayu Tambangraras. “Aku menerima semua ini.”
“Apa alasan Denayu menerima perlaku tidak adil dari Syekh Amongraga? Kekupu liar yang bergegas meninggalkan mawar layu, sudah dicecap sari madunya.”
“Barangkali sudah menjadi takdir.” Wajah Denayu Tambangraras serupa bulan terlindungi tirai awan tipis. “Karenanya, tidak ada alasan mengapa aku harus menerima semua ini.”
Jawaban Denayu Tambangraras membuatkan kecewa. Karena semasih kanak, aku selalu diajarkan untuk memberikan alasan atas segala yang diterima. Semua benda yang bergerak di muka bumi pun selalu hadir dengan alasan. Bahkan, Ki Bayi Panurta selalu menuntut agar segala sesuatu yang dilakukan berpijak pada alasan dan kepastian tujuan. Inilah pengetahuan yang berharga bagi manusia, agar senantiasa waspada terhadap segala sesuatunya.
Namun sesudah dewasa, aku justeru tidak diperbolehkan untuk menanyakan mengapa segala sesuatu harus diterima tanpa alasan. Sungguh menyebalkan!. Terlebih saat menyaksikan kepedihan Denayu Tambangraras yang harus menerima perlakuan tidak adil dari Denbagus Amongraga.

Stop sampai di sini.

Saya hanya ambilkan contoh kasusnya pada contoh di atas, karena pada hampir semua bagiannya, teknik copy paste dan pengubhannya sama persis.
Gangsar R. Hayuaji hanya mengcopy paste dari file Sunardian Wirodono, untuk kemudian dia tambahkan ini dan itu, diselipin kata lain, diubah sedikit kalimatnya. Namun struktur logika, idiomatika, dan beberapa penyebutan sama persis.
Memang tidak seratu persen copy-paste, namun itu tetap merupakan kerja pencurian. Bekerja di atas keringat penulis lain, untuk kemudian ditambah sana-sini-situ.
Penyebutan Denayu Tambangraras, adalah orisinal dari saya karena tidak ada penyebutan itu pada teks asli, yang ini juga dipakai oleh Gangsar, namun ia keliru ketika menyebut Syekh Amongraga dengan sebutan padanan denayu yakni Denbagus Amongraga, karena ia sudah beristeri dan bahkan disebut syekh (karena itu, saya tak pernah menyebut Denbagus Amongraga).
Semuanya, benar-benar sama persis sis dari awal sampai akhir. Jika SW memulai dengan pengantar berupa ihtisar perjalanan Syekh Amongraga, maka Gangsar langsung mengcopy paste bab satu sebagai pembuka. Dari copy paste tersebut, barulah ia edit di sana-sini-situ, tetapi sekali lagi dengan struktur kalimat dan logika yang sama persis dengan apa yang sudah ditulis oleh SW.
Yang paling dan sangat menyedihkan, pengutipan teks asli dari Serat Centhini dan juga terjemahannya, sama persis dengan apa yang ditulis oleh SW (Halaman 74-75-76-77) Pleg sama. Hanya pintarnya Gangsar, file bab satu SW, dipecah menjadi dua bab. Namun satu sama lain urutannya persis. Pola itu, dipakai untuk bab-bab berikutnya. Ada pula teknik lain, bagian dari teks narasi dicopy paste untuk kemudian dijadikan footnote (lihat C2PC halaman 298-299) total sebanyak 40 baris sama persis.
Untuk diketahui, teks naskah SW yang ada pada pihak DP adalah Bab Pembuka, Bab 1, 2, 3, serta Bab Terakhir (total semua lima file naskah, dari 12 file naskah yang direncanakan, atau) dari seluruh 10 bab yang direncanakan (tidak termasuk Prolog Bab Pembuka dan Epilog Bab Terakhir). Artinya, pada bab 4-5-6-7-8-9-10 sama sekali belum terjamah meski sudah diberikan strukturnya. Tapi untuk diingatkan, dari 4 bab yang sudah ditulis SW itu, semuanya dipakai oleh Gangsar dengan cara dipecah satu bab menjadi dua bab, dan seterusnya dengan teknik menyisipkan satu dua kata atau sedikit diubah kalimatnya. Dari 4 bab itu menjadi bahan baku (atau total sekitar 63,78%) bagi penulisan novel itu.
Ada yang dengan teknik copy paste, namun dihilang beberapa aliea, untuk kemudian masuk pada aliea berikutnya, tapi tetap dari milik SW. Misal sehabis mengutip Serat Centhini (C2PC hal 101-103) kemudian disambung hal 104 dengan alinea pembuka:

“Gemerosak dedaunan bercumbuan dengan angin malam. Bergoyangan ke kiri dan kanan. Di dalam ruang peraduan Ki jayengraga, Endhuk yang merasakan selangkangannya sakit menangis tanpa suara. “Ampuni aku, apa yang tengah tuan lakukan padaku?”

adalah sama persis dengan file SW dengan urutan setelah kutipan tembang, ada 10 aliena yang dihapus, langsung ke (kutipan dari file SW):

“Gemerosak daunan, bercumbuan dengan angin malam. Bergoyangan kekiri, ke kanan. Ke kiri. Ke kanan.
Tiba-tiba tubuh Endhuk terasa panas. Betisnya terasa basah, dan lekat. Ia menjerit kaget. Tubuhnya menggigil, dan tiba-tiba lunglai tiada daya.
“Apakah ini ayah, kenapa di selangkanganku ini, trasa basah dan lekat? Seperti air kencing tetapi ini kental sekali,...” Endhuk bertanya-tanya penuh kecemasan.
(SW. Bab 2, halaman 12-13).

Apakah bedanya? Beberapa pengubahan yang dilakukan Gangsar, missal penyebutan Ayah menjadi Tuan, menunjukkan penulis tersebut sama sekali tidak menguasai dan membaca Serat Centhini asli. Ia hanya berdasar pada teks yang ditulis SW. Apalagi, dalam C2PC juga dikutipkan syair dari “Serat Nirartha”terjemahan Prof Dr. Poerbatjaraka, sungguh sama sekali mengacaukan logika waktu Serat Centhini (dengan alasan apapun interpretasi kreatifnya).
Atau pada akhir bab 10 C2PC Gangsar hal 162-164, yang pola penuturan, struktur logika dan pengutipan teks asli Serat Centhini, bahkan juga terjemahannya, sama persis dengan yang ditulis oleh SW (teks asli SW tentang hal itu pada Bab 3: Keajaiban di Wanataka, untuk membuktikan tanggal penulis, system meta data computer bisa menjelaskan dan bukan rekayasa apalagi ada tanggal pengiriman file tersebut via email ke DP yang tidak bisa dihapus, tulisan SW dibuat pada meta data terakhir 1 Desember 2009).
Dalam forum yang tepat, saya (SW) bersedia menyodorkan fakta-fakta itu lebih rinci, karena jumlah copy paste itu hampir menyeluruh. Yang membedakan hanya dipecah-pecah, beberapa alinea dihilang, disisiplin kata baru tapi tidak mengubah struktur kalimat dan logika, strutur urutannya sama persis.
Bagi saya, Centhini 2: Perjalanan Cinta yang didaku sebagai tulisan Gangsar R. Hayuaji itu, sama sekali tidak berangkat dari Serat Centhini aslinya, tetapi berangkat dari teks yang dibuat oleh SW. Bahkan, pada referensi yang ditulisnya, sama persis dengan apa yang dituliskan oleh SW, hanya ditambahi beberapa judul buku. Lumayan untuk gagah-gagahan. Penulisan footnote pun, meniru pola SW, bahkan (dan sekali lagi) yang paling menyedihkan, terjemahan Serat Centhini yang dilakukan dengan susah payah oleh SW di copy paste begitu saja, semuanya (kecuali halaman 377 dst). Model ini celakanya, ia terjebak pada pola penggubahan dan idiomatika yang dikembangkan SW, tanpa mengerti aslinya bagaimana. Misal penyebutan nama, tempat, pengadeganan. Penyebutan Denbagus Amongraga, yang salah secara teks tersebut tentu karena terjebak mengikuti pengembangan idiom SW untuk Denayu Tambangraras. Demikian juga penyebutan “ayah” menjadi “tuan” oleh Gangsar misalnya, karena teks asli memang si Endhuk diminta menyebut Ki Jayengraga sebagai “ayah”, bukan tuan! Dan seterusnya.

Apakah kesimpulannya?

Apakah itu semua terjadi, karena DP merasa telah membayar pada SW, dan sama sekali tanpa kontrak kerja tertulis, hingga menganggap teks SW sudah sah milik DP, untuk kemudian boleh dipakai siapa saja dengan mendaku sebagai tulisannya? Padahal, persoalan yang terjadi antara DP dengan SW juga sama sekali belum diselesaikan secara baik-baik, belum ada kata putus?
Namun, sekali lagi, apakah cukup alasan kemudian, Sri Wintala Achmad dengan memakai nama gangsar R. Hayuaji mendaku teks-teks dalam novel C2PC sebagai karyanya, padahal jelas-jelas sebagian besar adalah bukan tulisannya, melainkan tulisan SW yang sudah dipegang oleh DP, dan itu diakui oleh penulis sendiri di halaman 418, sebagai bagian dari “bahan bacaan”? Bukankah artinya tidak ada alasan mengelak tidak tahu dan sebagainya, jika bukan hanya kalimat per kalimat, melainkan titik koma, suku kata dan idiomnya sama persis dengan yang ditulis SW? dalam meta-data file-file SW bertiti mangsa Maret-November 2009/Maret 2010, sementara dalam C2PC tulisan Gangsar bertanggal Mei 2010! Setidaknya tenggang waktu dua bulan.
Lantas, apa yang kemudian mesti dilakukan atas hal ini? Sesungguhnya, atas nama UUHC, saya bisa menuntut saudara Sri Wintala Achmad selaku pemegang nama Gangsar R Hayuaji, yang mengklaim bahwa novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” adalah karya tulis orisinalnya, atas bukti-bukti yang saya beberkan tersebut. Setidaknya minimal bisa menuntut Rp 500 juta, yang tentu lumayan bisa untuk mencetak sendiri novel saya dan dibagikan gratis.
Namun, sebagai sesama penulis, dan saya berharap Sri Wintala Achmad kelak tumbuh menjadi penulis yang baik, saya hanya menunggu pengakuan dia, bahwa yang dia lakukan bukanlah tindakan yang patut dilakukan oleh mereka yang bekerja di lapangan kreatif. Apalagi ketika di cover buku tersebut disebutkan bahwa novel tersebut penuh ajaran luhur dan sejenisnya.
Saya, Sunardian Wirodono, menunggu saudara Sri Wintala Achmad, di forum mana pun hendak diadakan.
Bagi saya, apa yang dilakukan Sri Wintala Achmad sebagai penulis, sangatlah menyedihkan. Karya kebudayaan yang besar, ternyata hanya disikapi secara lemah karena imbalan honorarium, namun tanpa perilaku kreatif yang memadai. Apalagi jika membaca pengantar penulis yang luar biasa panjang (dari hal 7 s.d 57, yang ditulis bertanda Cilacap-Yogyakarta, Mei 2010), terlihat lebih banyak copy-paste tulisan-tulisan mengenai Centhini yang bisa di-downdload dengan mudah dari internet.

Innalillahi wa inna illahi roji’un.

Yogyakarta, 13 Oktober 2010
Sunardian Wirodono

Selasa, 14 September 2010

Dewi Drupadi Naik Ambulans

Ditulis oleh Sujiwo Tejo

Bukan kuntilanak bukan gendruwo. Rambut ikal selutut. Perempuan itu cuma' berdiri tengah malam nduk pinggir jalan. Tempatnya ndak jauh dari kamar mayat di Karangmenjangan. Tadinya konco-konco mbecak dan ojek cangkruk sekitar situ. Sekarang mereka satu-satu mulai mlipir menjauh. ''Soale lama-lama ta' lihat kok kaki perempuan itu ndak nyentuh aspal,'' bisik seorang tukang ojek sing ngaku bernama Zawawi Imron.
Bisik-bisik ojek lain menyambungnya, ''Minyak wanginya rodok-rodok bau melati gitu ya...'' Tukang becak yang dengar itu meralat. Pak jenggot ini sambil kepontal-pontal membawa radio kecilnya, siaran wayang Ki Panut Dharmoko dari Nganjuk, lakonnya Alap-alapan Dewi Drupadi. ''Hush...Ngawur awakmu,'' ralatnya, ''Bukan bau melati ini. Ini menyan...''
Wah, tambah cepat-cepatlah kaum pekerja malam itu meninggalkan sang perempuan. Angin dari arah kamar mayat sempat menggeraikan rambut dan syalnya ke arah Unair.
Ciiiiiiiiittttttttt.....!!!!!!
Kaum ojek dan pabecakan di sekitar Stasiun Gubeng itu sudah merinding kini mendadak kaget pula oleh derit suara taksi ujuk-ujuk ngerem. Jejak bannya sampai mbliyat-mbliyut di aspal. Taksi hampir masuk got. Setelah mandek, taksi seketika mundur cepat. Perempuan berambut selutut dengan dua koper itu naik. Taksi bablas.
Kini di atas becek sisa gerimis, tukang-tukang ojek dan becak masih mencium sisa bau kemenyan, melati, dan kembang kantil, di ruas jalan lengang, di suatu tengah malam, nduk Suroboyo.

***

Tukang taksi separo umur itu pasti butuh duit tenan sampai ndak sadar bahwa calon penumpangnya tadi mencurigakan. Malam-malam begini. Sudah larut lagi. Sendirian. Jalanan yang biasanya masih ditongkrongi satu-dua ojek dan tukang becak itu tadi sudah kosong lho. Ndak kayak malam-malam biasanya. Kok sopir ini nekad main tarik saja siapa pun yang nyegat. Mungkin karena anak tukang taksi ini sakit. Dia perlu ongkos dokter dan apotek. Mau minta sumbangan melalui koin buat si sakit takutnya masyarakat lama-lama bosen.
Dukun dari Sampang bilang, anak seusia TK itu sakit-sakitan karena namanya ndak cocok. ''Sabar Budi Yuwono itu ndak pas, Dik. Nanti kalau ada anggota Pansus DPR mbesuk ke sini yok opo? Iya kalau semua anggota dewan itu mau memanggil namanya lengkap. Kalau mereka males capek-capek lalu cuma mau manggil inisial Sabar Budi Yuwono? Masa' mereka sebut SBY? Hmm... Begini saja, Dik. Namai Heru Ardi Ibas-koro. Jaga-jaga kalau anggota pansus kurang sehat, energinya ndak sanggup menyebut nama panjang. Mereka cukup panggil inisial ''Hai''...Lebih mesra. Dan ''Hai'' juga lebih punya arti dibanding ''BO'' maupun ''SMI''. Salah-salah malah dikiro Sekolah Menengah Ibu-ibu...''
Begitulah pandangan akhir dukun kelahiran Ngawi ini. Lain lagi pandangan akhir dokter merangkap psikolog. Orang asli Nguling ini yakin, anak sopir taksi itu sakit gara-gara keseringan ndengar ibunya ngomel ke ayahnya. Memang istrinya selalu ribut siang malem non-stop persis warung Padang. Dan, kalau sudah ngomel buaaanter banget.
''Ya itulah risiko punya istri, Mas,'' dokter bertutur ke sopir taksi. Si sopir langsung tampak nglokro mendengar diagnosa dokter. Dokter tanggap. Hiburnya, ''Hmmm...Tapi ndak papa...Tahu beda antara istri dan senapan? Senapan masih bisa kita pasangi alat peredam.''
Ketika temuan fraksi dukun dan fraksi dokter-psikolog disampekno sopir taksi nang istrinya, sang istri yang berbaju biru itu tumben jadi tenang. Katanya, ''Sini ta' bilangi. Apa pun yang diutarakan fraksi-fraksi itu aku gak pateken. Itu baru temuan politik. Bukan temuan hukum. Hukumnya sudah jelas, hukum karma. Anak kita jadi sakit-sakitan begini karena karma Sampeyan. Sampeyan itu ngeluuuuuuuh terus kalau cari duit. Padahal aku kurang opo, Cak? Aku wis mbantu-bantu jadi tukang pijet. Sampek semua bapak-bapak di RW sini wis roto pernah tak pijeti...''
Gitu ceritanya kenapa kok malam ini pak sopir semangat sekali cari duit. Sampek ia ndak awas lagi jangan-jangan perempuan yang baru naik itu bukan perempuan biasa, tapi kuntilanak. Baru ketika melintas Jembatan Merah pak sopir yang gemar wayang itu tiba-tiba merasa aneh. Tumben-tumbennya ada penumpang tidak minta siaran radionya dipindah ke musik. Padahal radio taksi sedang muter wayang, acara kesukaan pak sopir. Perempuan itu malah ketawa-ketawa mendengar radio. ''Itu suara Bagong kan, Pak,'' tanyanya renyah.
''Yo mesti ae,'' kata suara di radio. Suaranya serak, tercekik namun tetap lantang. ''Mesti ae orang hukum ndak takut nang DPR soal hasil pansus. Mereka juga ndak ngrasa terikat, minimal ndak sungkan pada DPR sebabe DPR memang bukan rakyat. DPR itu cuma wakilnya. Wakil ya lebih rendah daripada yang diwakili, yaitu rakyat, pemegang kedaulatan tertinggi. Makanya aparat hukum merasa kurang dihargai, kurang diorangkan. Yang ngomong ke mereka belum rakyat sendiri, baru wakilnya. Rakyat masih terlalu padat jadwalnya untuk berkenan datang dan ngomong langsung. Ndak tahu kalau nanti-nanti...''

***

Waktu menunjuk pukul 02.10 dini hari.
''Betul kan Pak, tadi suara Bagong kan, Pak?'' tanya perempuan itu sekali lagi. Suaranya masih renyah, campur suara kuluman permen karet.
''Inggih, betul, Mbak, eh, Bu...''
''Hehe, Bapak ini...Ehmm...Panggil saja saya Drupadi...''
Sopir mengernyit.
''Bapak tahu Drupadi di wayang kan? Pasti mudeng soale Bapak penggemar wayang...''
Jelas si Bapak tahu. Drupadi, alias Dewi Kresna, adalah putri Raja Drupada di Pancala. Dia perempuan yang dinikahi rame-rame oleh Pandawa karena sejak remaja Pandawa telah bersumpah: ''satu untuk semua, semua untuk satu''. Aturannya, siapa pun tidak boleh memasuki kamar saudaranya yang sedang digilir oleh titisan Dewi Srigati, dewinya poliandri itu.
Di suatu malam tiba-tiba ada teriakan. Ada Pak Tani bengak-bengok minta tolong mengejar maling anak gadisnya yang akan membawanya kabur ke Arab Saudi jadi TKW. Arjuna yang mendengar jeritan itu spontan berpikir harus menolong petani. Pikirnya, kalau tidak ditolong, ini akan berdampak sistemik. Seluruh gadis di Kampung Amerta akan dilarikan ke Timur Tengah. Arjuna langsung mengambil senjata Pandawa yang semuanya disimpan di kamar sulung Yudistira. Kamar terkunci. Yudistira sedang main asmara dengan Drupadi. Arjuna mendobraknya. Gedubrak!!! Dengan senjata yang baru diambilnya kesusu-susu itu Arjuna langsung bablas mengejar maling dan berhasil meringkusnya.
Keempat anggota Pandawa plus Drupadi langsung menggelar sidang hak angket. Agendanya merembuk hukuman apa yang pantas untuk Arjuna karena melanggar kebijakan. Berani-beraninya Arjuna memasuki kamar saudaranya yang sedang digilir Dewi Drupadi. Akhirnya semua sepakat Arjuna tak perlu dihukum karena tujuan memasuki kamar yang ada Drupadi-nya itu mulia. Tiba-tiba sing dirasani muncul. Semua kaget. Drupadi malah sampai pingsan. Gara-garanya Arjuna menyatakan akan menghukum dirinya sendiri selama 12 tahun di tengah hutan.
Di dalam taksi, lewat tengah malam itu, dari jok belakang, tiba-tiba Drupadi njawil pundak sopir taksi. ''Pak?'' tegurnya. Pak sopir sangat kaget. Remnya dia injek tiba-tiba. Mobil sempoyongan berkelok-kelok hingga nyaris nabrak patung polisi. Sopir ngos-ngosan.
''Sampeyan itu lho dijawil wae kaget. Baru tukaran sama istri ta? Atau ngomong-ngomong soal Drupadi, Sampeyan marah-marah margo Arjuna ndak disalahkan malah menghukum diri sendiri...tapi manusia sekarang sudah disalahkan sama pansus masih ndak mau ngrumangsani, gitu? Sampeyan ngalamun bareng tak jawil kaget.''
''Bukan begitu Bu Drupadi. Saya sudah 20 tahun bawa mobil, tapi baru pertama naksi ya hari ini...''
''Lha opo hubungane. Saya itu tadi mau tanya Sampeyan tahu Jalan Century ndak? Makanya saya jawil. Naksi baru sehari, oke. Tapi sudah 20 tahun lho Sampeyan itu nyopir. Mestinya nggak kaget gitu nek tak jawil dari belakang...20 tahun pengalaman nyopir kok masih gampang panik...''
''Dua puluh tahun nyopir itu saya nyetir ambulans, Bu...'' (*)

Disadur sepenuhnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo Episode 28.

Kamis, 09 September 2010

Serat Centhini dalam Intepretasi Modernitas


Elizabeth D. Inandiak telah berjasa besar dalam mengenalkan Serat Centhini pada generasi muda Indonesia. Namun, Serat Centhini versi beliau dengan aslinya, tentu sulit dipersandingkan, apalagi jika kita mengetahui teks karya asli Serat Centhini. Sebagai karya gubahan dengan interpretasi dan latar belakangnya sendiri, Elizabeth lebih memakai Serat Centhini sebagai titik tolak (struktur penceritaan), sementara struktur contentnya, bisa sangat berbeda.
Apakah salah? Tentu tidak, karena penggubahan kreatif itu masih menghargai (memakai) batang tubuh Serat Centhini. Persoalannya lebih pada soal batang jiwanya, karena latar belakang pengetahuan, referensi, dan sebagainya, yang bukan hanya akan melahirkan atau memakai idiom berbeda, tapi juga pengaruh-pengaruh kitaran atau spirit jamannya. Lihat sebagai contoh, dikutipkan dari tulisan Olin Monteiro, Cibubur, 6 Februari 2007 (Sumber: olinmonteiro.multiply.com) berikut:

"Dalam buku Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan (2007), jika boleh disandingkan dengan The Prophet Khahlil Gibran. Dari tembang 71 sampai 111, penuh dengan filosofi kehidupan yang begitu dalam dan bagaimana memandang hidup dengan berbeda. Mengapa Amongraga melakukan ini kepada sang istri?

Bandingkan kata-kata cinta Amongraga dengan Khalil Gibran dalam the Prophet:

Love possesses not nor would it be possessed;
For love is sufficient unto love.
When you love you should not say, “God is in my heart,” but rather, I am in the heart of God.”
And think not you can direct the course of love, if it finds you worthy, directs your course.
Love has no other desire but to fulfil itself.
But if you love and must needs have desires, let these be your desires:

Amongraga (versi Inandiak) mengatakan, dengan rahmat Allah kita berlayar dalam diam, sementara Gibran mengatakan, ketika kau mencintai janganlah berkata,”Tuhan ada dalam hatiku” tapi yang benar adalah, “Aku bertahta dalam hati Tuhan. Jangan berpikir kamu bisa mengarahkan cinta, tapi bila memang kau dianggap layak, ia akan mengarahkan layarmu”. Betapa begitu bersinggungannya kedua tembang tersebut. Keduanya menceritakan bahwa cinta tidak lepas dari rahmat dan titipan yang Maha Kuasa atau sang Pencipta. Hanya dengan berserah diri pada Tuhan maka cinta itu bisa ada dan bisa hidup."

Demikian Olin Monteiro. Dan masih banyak lagi. Pandangan profetis Amongraga versi Inandiak, tentu berbeda dengan Amongraga aslinya, yang kadang pemaparan tekstual di sana (khususnya penjabaran pandangan-pandangan Islam) lebih bersifat copy-paste, yang semua itu bisa jadi karena semangat Serat Centhini sebagai ensiklopedi (lihat juga tinjauan Ulil Absar Abdalla soal sinkretisme Jawa-Islam yang sebelumnya diupload di wall ini).
Begitu juga misalnya, penokohan Centhini, banyak menjebak pembaca (modernnya) untuk mengandaikan ini sebagai tokoh penting. Padahal, Centhini lebih merupakan tokoh yang dipinjam dalam teknik penuturan Serat Centhini yang semula berjudul "Suluk Tambangraras" ini
Hal yang hampir mirip, mungkin kita bisa membandingkan antara Rara Mendut versi dongeng masa lalu dengan apa yang ditulis YB Mangunwijaya mengenai tokoh yang sama dalam bentuk novel modern berbahasa Indonesia. Ada perbedaan dalam spirit ideologis (pandangan gender) yang harus dibedakan secara kritis antara teks dan konteks.
Perlu diskusi lebih jauh, karena boleh dikata jarang orang (bahkan ahli sastra kita sendiri) yang menguasai masalah Serat Centhini aslinya, sehingga kadang karya-karya model Inandiak seperti di atas, dipakai sebagai referensi satu-satunya untuk mengenal Serat Centhini. Padahal, sungguh harus dibedakan dalam perkara teks karya sastra.

Rabu, 08 September 2010

Serat Centhini: Suluk Kesaksian Gadis


Islam dan budaya Jawa hidup berdampingan. Serat Paku Buwono V ini buktinya.
Adapun manusia berasal dari cahaya gaib. Apabila meninggal atau zaman kiamat, manusia akan kembali pada zat yang gaib. Yakni pulang ke tempat asalnya, Manunggaling Kawula-Gusti.
SULUK Saloka Jiwa buah pena penyair sufi, Ronggowarsito, ini aslinya berbahasa Jawa. Tak beda dengan suluk Serat Centhini , yang meramu khazanah kultur Jawa dan ajaran Islam dengan merujuk pelbagai Kitab Kuning. Suluk adalah ajaran mistik yang diungkapkan berupa tembang, sebuah bentuk puisi Jawa. Tak syak, orang pun bertanya: bagaimanakah hubungan budaya Jawa dengan Islam?
Pertanyaan itulah yang dicoba disahuti oleh sebuah tim peneliti dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sejak enam bulan ini. Hasilnya menunjukkan bahwa antara kebudayaan Jawa dan Islam bisa hidup berdampingan. Daerah pedesaan Jawa, yang dulu menganut tradisi animistis dan dinamistis, ternyata bisa menerima Islam tanpa kehilangan makna kultural Jawa.
Penelitian yang dilakukan Drs. H. Muzairi, MA, dan lima koleganya itu berjudul “Kitab Kuning dan Suluk Serat Centhini Kajian Tentang Islam dan Budaya Jawa”. Ia dipublikasikan dalam jurnal penelitian IAIN Yogyakarta edisi Mei-Agustus. Terdiri dari 12 jilid, meliputi 3.216 halaman huruf Jawa dan 3.500 halaman tulisan Latin, sehingga layak disebut sebagai “Ensiklopedi Jawa”.
Serat Centhini adalah puncak karya sastra tulis Jawa klasik karya Raja Keraton Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono V -tatkala menjadi putra mahkota pada 1814. Sedangkan Centhini, yang berperawakan ramping, adalah seorang gadis pembantu rumah tangga suami-istri, Jayengresmi alias Amongraga dan Tembanglaras. Serat yang ditulis bergaya tembang macapat ini menceritakan pengembaraan Jayengresmi, salah seorang putra Sunan Giri III, setelah Sultan Agung dari Mataram menaklukkan Kewalian Giri di Gresik.
Perjalanan Jayengresmi ke arah barat, hingga ke Banten dan akhirnya kembali ke Mataram, itulah yang ditulis Paku Buwono V. Isinya beragam, mulai dari bab agama Islam, ilmu lahir batin, gending, tari, hari buruk dan baik, tembang, sampai masakan Jawa. Bahkan soal keris, kuda, kesaktian, hingga ke soal hubungan intim suami-istri yang paling rahasia pun terangkum di sana.
Dikisahkan pula ketika Jayengresmi bersua dengan Ki Jimat Ngabdul Ngatyanta dan Ki Sali di Kampung Laweyan, tempat makam Ki Ageng Henis. Ki Sali menceritakan “Ramalan Tanah Jawa” berdasarkan Jangka Jayabaya dari Kitab Musarar, yang diedarkan Sech Maulana Ngali Samsujen dari negara Rum Turki. Ramalan itu juga memaktubkan zaman kacau-balau di Jawa hingga hari kiamat -berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW.
Seperti disebut Karkono Kamajaya Partokusumo, 82 tahun, seorang pakar budaya Jawa yang menekuni Serat Centhini selama 17 tahun, kaitan suluk itu dengan Islam sangat kental. Meskipun harus diakui, serat ini membuktikan keberadaan sinkretis Islam dan budaya Jawa, yang memunculkan Islam Kejawen. “Artinya, Islam tak membunuh budaya Jawa,” kata Karkono kepada Gatra.
Gadis Centhini adalah saksi yang mendengarkan wejangan agama -tentang syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat- dari Jayengresmi kepada Tembanglaras selama 40 malam. Dari penelitian itu, ada 20 Kitab Kuning yang dirujuk Serat Centhini . Misalnya, ada enam kitab fikih (termasuk Taqrib dan Idah), sembilan kitab akidah, dua kitab tafsir (Jalalain dan Baidhawi), dan tiga kitab tasawuf, seperti Ihya dan Al Insan Al Kamil karya Abd. Al Karim Al Jali, sebuah sajian sistematis aliran Wahdah Al Wujud dari Ibn. Al Arabi.
Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, Drs. Taufik Ahmad Dardiri, SU, melihat bahwa Serat Centhini tak bisa lepas dari budaya sekitarnya. Sejarah mencatat, kala itu sedang terjadi transformasi Islam dengan tradisi “sastra Kitab Kuning”, atau sastra pesantren ke dalam sastra dan kebudayaan Jawa.
Bahkan serat ini juga mempengaruhi karya sastra Jawa sesudahnya -termasuk Ronggowarsito- yang terkenal dengan Serat Kalathida. Ronggowarsito termasyhur dengan seratnya yang menamsilkan hubungan manusia dengan Tuhan ibarat kain dengan baju, ombak dengan lautan, dan angin dengan debu. Mirip dengan pandangan penyair sufi, Hamzah Fansuri, dengan wahdatul wujudiyah yang kontroversial itu.
Jika mau ditarik sebuah ilustrasi: proses Jawanisasi Islamkah yang terjadi, atau Islamisasi Jawa? Boleh jadi, yang semula terjadi adalah “Jawanisasi Islam”, kala tradisi mistis Jawa mengakomodasi Islam. Tapi ketika mereka menemukan esensi kebudayaan Islam yang punya “kesamaan” dengan kultur Jawa, “Islamisasi Jawa” pun berlangsung. Itulah keberhasilan Islam di Jawa. “Islam masuk dengan pendekatan kultur, bukan dengan kekerasan,” kata Karkono.

Bersihar Lubis dan Joko Syahban
Majalah Gatra, Posted on 9 November 2009 by Jayeng Resmi