Kamis, 09 September 2010

Serat Centhini dalam Intepretasi Modernitas


Elizabeth D. Inandiak telah berjasa besar dalam mengenalkan Serat Centhini pada generasi muda Indonesia. Namun, Serat Centhini versi beliau dengan aslinya, tentu sulit dipersandingkan, apalagi jika kita mengetahui teks karya asli Serat Centhini. Sebagai karya gubahan dengan interpretasi dan latar belakangnya sendiri, Elizabeth lebih memakai Serat Centhini sebagai titik tolak (struktur penceritaan), sementara struktur contentnya, bisa sangat berbeda.
Apakah salah? Tentu tidak, karena penggubahan kreatif itu masih menghargai (memakai) batang tubuh Serat Centhini. Persoalannya lebih pada soal batang jiwanya, karena latar belakang pengetahuan, referensi, dan sebagainya, yang bukan hanya akan melahirkan atau memakai idiom berbeda, tapi juga pengaruh-pengaruh kitaran atau spirit jamannya. Lihat sebagai contoh, dikutipkan dari tulisan Olin Monteiro, Cibubur, 6 Februari 2007 (Sumber: olinmonteiro.multiply.com) berikut:

"Dalam buku Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan (2007), jika boleh disandingkan dengan The Prophet Khahlil Gibran. Dari tembang 71 sampai 111, penuh dengan filosofi kehidupan yang begitu dalam dan bagaimana memandang hidup dengan berbeda. Mengapa Amongraga melakukan ini kepada sang istri?

Bandingkan kata-kata cinta Amongraga dengan Khalil Gibran dalam the Prophet:

Love possesses not nor would it be possessed;
For love is sufficient unto love.
When you love you should not say, “God is in my heart,” but rather, I am in the heart of God.”
And think not you can direct the course of love, if it finds you worthy, directs your course.
Love has no other desire but to fulfil itself.
But if you love and must needs have desires, let these be your desires:

Amongraga (versi Inandiak) mengatakan, dengan rahmat Allah kita berlayar dalam diam, sementara Gibran mengatakan, ketika kau mencintai janganlah berkata,”Tuhan ada dalam hatiku” tapi yang benar adalah, “Aku bertahta dalam hati Tuhan. Jangan berpikir kamu bisa mengarahkan cinta, tapi bila memang kau dianggap layak, ia akan mengarahkan layarmu”. Betapa begitu bersinggungannya kedua tembang tersebut. Keduanya menceritakan bahwa cinta tidak lepas dari rahmat dan titipan yang Maha Kuasa atau sang Pencipta. Hanya dengan berserah diri pada Tuhan maka cinta itu bisa ada dan bisa hidup."

Demikian Olin Monteiro. Dan masih banyak lagi. Pandangan profetis Amongraga versi Inandiak, tentu berbeda dengan Amongraga aslinya, yang kadang pemaparan tekstual di sana (khususnya penjabaran pandangan-pandangan Islam) lebih bersifat copy-paste, yang semua itu bisa jadi karena semangat Serat Centhini sebagai ensiklopedi (lihat juga tinjauan Ulil Absar Abdalla soal sinkretisme Jawa-Islam yang sebelumnya diupload di wall ini).
Begitu juga misalnya, penokohan Centhini, banyak menjebak pembaca (modernnya) untuk mengandaikan ini sebagai tokoh penting. Padahal, Centhini lebih merupakan tokoh yang dipinjam dalam teknik penuturan Serat Centhini yang semula berjudul "Suluk Tambangraras" ini
Hal yang hampir mirip, mungkin kita bisa membandingkan antara Rara Mendut versi dongeng masa lalu dengan apa yang ditulis YB Mangunwijaya mengenai tokoh yang sama dalam bentuk novel modern berbahasa Indonesia. Ada perbedaan dalam spirit ideologis (pandangan gender) yang harus dibedakan secara kritis antara teks dan konteks.
Perlu diskusi lebih jauh, karena boleh dikata jarang orang (bahkan ahli sastra kita sendiri) yang menguasai masalah Serat Centhini aslinya, sehingga kadang karya-karya model Inandiak seperti di atas, dipakai sebagai referensi satu-satunya untuk mengenal Serat Centhini. Padahal, sungguh harus dibedakan dalam perkara teks karya sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar