Rabu, 13 Oktober 2010

Skandal Penjiplakan Novel Centhini 2 Perjalanan Cinta

Setelah menerbitkan novel “Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin” karya Sunardian Wirodono pada Mei 2009, merupakan novel gubahan dari sastra klasik Jawa Serat Centhini, Diva Press Yogyakarta menerbitkan novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” dengan penulis bernama Gangsar R Hayuaji (yang kemudian dijelaskan sendiri oleh penulisanya merupakan nama pena dari Sri Wintala Achmad), pada Oktober 2010.
Penerbitan novel terakhir itu, sungguh menyentak saya (Sunardian Wirodono, SW). Karena dari teks-teks yang ada dalam novel itu, yang dikatakan ditulis oleh Gangsar R. Hayuaji, sebagian besar adalah apa yang saya tulis untuk melanjutkan novel pertama saya “Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin”. Bagaimana bisa, dan apa buktinya?

Sebelumnya, harus dijelas latar belakangnya. Hubungan kerja saya (SW) dengan penerbitan Diva Press (DP) tidaklah mulus. Setelah mengalami cetak ulang tiga kali, DP antusias untuk meminta saya menyegerakan penulisan novel berikutnya, yang memang saya janjikan Serat Centhini saya gubah menjadi tiga buku, yakni (1) Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin, (2) Centhini Perjalanan Cinta, dan terakhir (3) Cebolang Sang Petualang Jalang.
Hubungan kerja itu, karena persahabatan, tidak memakai perjanjian tertulis. Demikian juga tak ada kontrak, kecuali SW mendapat honorarium berdasar jumlah buku yang dicetak. Ketika saya mempertanyakan soal kontrak kerja, setelah melihat hasil cetakan ke-tiga, saya disodorkan point-point kontrak kerja yang 100% menekan penulis dan 100% menguntungkan penerbit.
Sementara, hak honorarium saya untuk cetakan ke-tiga (Oktober 2009), tidak akan diberikan sebelum saya menyelesaikan naskah ke-dua, “Centhini Perjalanan Cinta”. Saya shock, karena pada waktu itu (Februari 2010) saya sangat membutuhkannya. Dan selama itu, sama sekali tidak ada pembicaraan lebih lanjut. Sebelum itu, saya memang sudah menyerahkan beberapa bab untuk “Centhini Perjalanan Cinta”, karena saya membutuhkan uang (dengan system ijon), dan pihak DV memberikan uang muka pada saya Rp 5.000.000,00 untuk hal itu. Maaf, detailnya saya lupa mengenai hal ini.
Sekarang persoalannya, ketika permasalahan tersebut di atas tidak atau belum terselesaikan, pihak DP kemudian menerbitkan novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” dengan penulis Gangsar R Hayuaji (Sri Wintala Achmad) tersebut.
Lepas dari apapun persoalan saya (SW) dengan DP, penerbitan novel atas nama Gangsar R Hayuaji itu mengandung cacat prinsipil dalam karya kreatif penulisan, yakni soal orisinalitas.
Dalam ucapan terima kasih (tak jelas dari penerbit atau penulisnya) pada novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” (C2PC) itu, dituliskan ucapan terima kasih pula pada Sunardian Wirodono, yang disitu ditulis sebagai “penulis naskah lepas Centhini: Perjalanan Cinta” yang “secara tidak langsung” memberikan sumber data penulisan novel ini (C2PC, h. 5). Seolah ada penulis tetap sebagaimana proses penulisan Serat Centhini yang ditunjuk oleh Sri Susuhunan Pakubuwana V.
Tidak jelas apa maksud “secara tidak langsung” ini, karena pada halaman 418 disebutkan “Wirodono, Sunardian. “Centhini: perjalanan Cinta”. Teks lepas, Jakarta-Yogya, Maret-November 2009” pada daftar bacaan novel C2PC. Artinya Gangsar R Hayuaji tak mungkin tidak tahu soal file tulisan SW itu.
Seorang teman, lewat facebook, pernah menanyakan pada DP, apakah novel C2PC adalah karya SW? Dijawab oleh pihak DP, sama sekali tidak (Oktober 2010). Dan melalui account “Membaca Serat Centhini” (MSC) di facebook, karena mendapatkan tag kiriman dari “Centhini Literatur From Java” yang dikelola oleh Sri Wintala Achmad, SW menanyakan agar dijelaskan oleh penerbit maupun penulis, bahwa buku tersebut tidak ada kaitannya dengan SW. Hal tersebut dijawab langsung oleh Sri Wintala Achmad, bahwa novel tersebut sama sekali tidak berkait dengan SW, dan ia katakan semuanya ia tulis sendiri berdasar referensi yang ia miliki (Oktober 2010).
Baiklah. Saya ingin masuk pada bukti-bukti teks, yang ternyata, hampir semuanya copy paste dari yang saya (SW) tulis, untuk kemudian dengan nama Gangsar R. Hayuaji didaku sebagai karyanya:
Saya telah membaca novel "Centhini 2 Perjalanan Cinta" yang diakukan ditulis oleh Gangsar R Hayuaji (nama pena dari Sri Wintala Achmad), yang baru saja diluncurkan.
Novel tersebut konon mengacu pada karya sastra klasik Jawa Serat Centhini. Namun, mencermati teks novel tersebut, yang dibagi dalam empat bagian (1) Tambangraras Mencari Belahan Jiwa, 12 bab (2) Amongraga Mencari Sarang Angin, 15 Bab (3) Kelana Sang Pelarian, 3 bab, dan (4) Sang Kelana yang Kembali, 7 bab, dan (5) Kesaksian Seorang Cethi, 2 bab.
Saya (Sunardian Wirodono) setelah membacanya, kemudian bisa memastikan, bahwa karya tersebut, khususnya pada bagian 1, hampir keseluruhan merupakan copy-paste dari apa yang telah saya tulis untuk karya yang saya juduli "Centhini Perjalanan Cinta" khususnya dari Bab 1 s.d 3 yang oleh Sdr gangsar digabung kemudian dipecah menjadi 12 bab.
Demikian juga pada bagian 2, Sdr. Gangsar mengcopy-paste tulisan saya untuk naskah yang sama, khususnya pada Bagian Pembuka, yang kemudian dijadikannya 15 bab, dan diletakkan pada bagian ke-2.
Peletakan bab 1-2-3 dan kemudian baru bab pembuka, jika dilihat dari struktur pengurutan naskah saya, tidak mengurangi penjiplakan yang dilakukan oleh saudara Gangsar, karena baris demi baris bisa diperbandingkan dengan kesamaan persis di atas 90%. Sdr. Gangsar hanya melakukan pengimbuhan kata, penyisipan, pengubahan sana-sini-situ, menghapus beberapa alinea, tetapi tidak mengubah struktur logika dan plot, bahkan beberapa idiom yang sengaja saya lakukan.
Bahkan, upaya pengotak-atikan (membolak-balik) urutan itu, menjelaskan lebih terang, bahwa saudara Gangsar sadar dan sengaja melakukan hal tersebut. Misalnya, mengcopy-paste bab pembuka SW, yang justeru dipakai sebagai footnote seperti pada bukunya di halaman 298-299, untuk yang ini bahkan sama sekali tidak diedit alias plek-plek-plek, padahal lebih dari 40 baris.
Dengan demikian, novel terbitan Diva Press setebal 420 halaman itu (dikurangi 50 halaman pengantar), dari halaman 61 s.d 178 dan 181 s.d 300 (total dari 370 halaman) yang didaku Gangsar R Hayuaji sebagai karyanya itu, 236 halaman atau 63,78% adalah teks naskah yang di tulis oleh Sunardian. Dari meta-data file komputer, saya berani bertanggungjawab, naskah tersebut saya tuliskan pada periode Maret 2009-Maret 2010, sementara Gangsar menuliskannya bertitimangsa Mei 2010.
Saya kutipkan dari file SW “Bab Satu : Cinta Begitu Membelenggu” | WANAMARTA. YANG ADA HANYALAH SUNYI SEPI. MATAHARI memang tetap bersinar di langit. Bahkan, seolah tiada jemu. Setiap pagi. Setiap sore. Di langit yang sama. Datang dan pergi.
Tapi betapa membosankan bagiku.
Hari demi hari, begitu terasa lambat.
Sangat lambat.
Entah berapa lama sudah. Denayu Tambangraras berkelana dalam diam, di atas tempat peraduannya. Ya, tempat peraduan, karena demikianlah hari-hari dan malam-malamnya, diadukan dalam kesendirian.
Sementara itu, aku, si Centhini, sebagai cethi, pembantu setia Tambangraras, pun hanya berada dalam diam. Tiada mengerti harus berbuat apa. Bukannya tiada daya, namun lebih karena tiada cara, agar Denayu Tambangraras melepaskan diri dari derita. Yang kulakukan hanyalah menemani, melayani, dan menjadi perantara, dari siapa pun yang ingin menemuinya. Karena hanya padaku, Denayu sudi menumpahkan isi hatinya. Dan hanya padaku, Denayu percaya.
Masa-masa yang sulit, juga bagaimana aku harus menceriterakan kepadamu, betapa tidak masuk akalnya ini semua. Cinta kepati-pati Denayu, pada Syekh Amongraga, menjadikan semuanya ini tidak masuk akal, tak bisa dinalar, setidaknya oleh nalarku.
Kenapa cinta begitu membelenggu? Dan bukannya membebaskan?
Ah, pertanyaan yang tidak cukup cerdas, justeru karena terlalu dipikirkan.
Masih ingat, bagaimana pada malam ke-40 hari perkawinannya, Syekh Amongraga pergi tanpa pamit pada isterinya, Tambangraras? Yang terjadi kemudian, hanya duka derita.
Denayu Tambangraras setelah itu, tiada mau melakukan apa pun. Tidak mandi, tidak bersalin pakaian. Makan dan minum pun, jika tak dipaksa, tak akan dilakukannya. Yang ia lakukan, hanyalah menderas Alquran, shalat, berdzikir.
Saat-saat keluar dari kamarnya, hanyalah untuk berwudhu, atau ke pakiwan. Selebihnya, tak ada.
Ia mengenakan pakaian serba putih, sebagaimana selembar kain yang hanya disampirkan di tubuh kurusnya.
Dan itu terjadi bukan saja berhari-hari, berpekan-pekan. Melainkan ketika bulan purnama telah berganti beberapa kali. Mungkin saja satu tahun lebih, aku tidak tahu pasti. Tapi nanti kau bisa merunutnya, seberapa lama perjalanan Syekh Amongraga di tempat-tempat yang ia datangi, untuk mencari dua adiknya, dengan meninggalkan isterinya!
Alasan yang menurutku dibuat-buat. Sangat dibuat-buat.
Apa sesungguhnya alasan yang sebenar-benarnya? Memang hendak meninggalkan Tambangraras, sebagaimana para lelaki meninggalkan perempuan yang telah dicecap sari-madunya? Sebegitu jugakah Amongraga yang bergelar syekh itu? Syekh apa pula namanya, dan darimana gelar itu didapatkannya?
“Centhini,…” suara Denayu Tambangraras perlahan.
Tersadar aku dibuatnya. Kupandangi perempuan kurus kering yang tepekur di atas ranjangnya, di depanku.
“Apa yang ada dalam pikiranmu kiranya?” Tambangraras menatapku.
“Tak ada,” jawabku keceplosan. Jengkel.
“Kita harus menerimanya,…”
“Untuk alasan apa, Denayu?” aku balik bertanya. Dengan nada meninggi.
“Tidak semua harus ada alasannya,…”
Jawaban Denayu Tambangraras mengecewakanku. Betapa dulu, ketika kami masih kanak-kanak, kami diminta untuk memberikan alasan. Semua benda yang bergerak di muka bumi ini, selalu dengan alasan-alasan. Tak ada yang tidak. Dan Ki Bayi Panurtha, akan selalu menuntut mengapa begini mengapa begitu. Tak boleh salah menjawab, dan tak boleh segala sesuatu dilakukan tanpa sebab dan tujuan yang pasti. Agar kami mengetahui dan waspada, mengenai baik-buruk segala sesuatu.
Tapi, kenapa justeru jauh waktu kemudian, ketika kami telah dianggap aqil-balikh, sama sekali kita tidak boleh mempertanyakannya? Dan diminta untuk menerima segala hal begitu saja?
Menyebalkan.

Kemudian, ini yang saya baca dari “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” oleh Gangsar R. Hayuaji, pada bab 1, hal 61 – 64: | Sebagaimana kemarin, matahari masih terbit dan terbenam di langit Wanamarta. Datang dan pergi dengan membawa kabar yang sama. Hingga hidup hanya putaran roda kereta dalam kelengangan jalan. Melaju jauh menuju kota kesunyian hati tak bertepi. Betapa brengsek dan membosankan!
Entah sudah berapa lama Denayu Tambangraras berkelana dalam sunyi peraduannya. Tempat di mana ia selalu menghabiskan waktunya untuk mengadukan kesunyian hati pada cermin. Cermin yang selalu basah dengan air mata kepedihan.
Sementara aku si Centhini, cethi setia Denayu Tambangraras, tidak mengerti harus berbuat apa. Bukannya tidak berdaya, melainkan tidak tahu cara bagaimana membantu Denayu Tambangraras untuk terlepas dari belenggu nestapa. Pekerjaan yang kulakukan hanya menemani, melayani, dan menjadi perantara dari sesiapa yang ingin menemuinya. Karena hanya kepadaku, Denayu sudi menumpahkan isi hatinya. Hanya kepadaku, Denayu percaya.
Betapa sulit, manakala aku harus menceriterakan segala sesuatu yang tak masuk akal. Cinta kepati-pati Denayu Tambangraras pada Syekh Amongraga menjadikan segala sesuatu tidak masuk akal. Cinta yang membelenggu. Tidak memerdekakan. Cinta yang semakin tidak jelas hakikatnya. Memicu ketololan, ketika dipikirkan.
Makin terbersit di benak. Seusai melintasi empatpuluh malam perkawinannya, Denbagus Amongraga meninggalkan Wanamarta. Meninggalkan nestapa di dalam hati Denayu Tambangraras. Nestapa yang kemudian menyerupai ampas kopi, melarut kental di dasar cangkir.
Semenjak kepergian Denbagus Amongraga, Denayu Tambangraras tidak perduli dengan dirinya. Tidak mau mandi dan bersalin busana. Tidak mau merias wajah dan melulur tubuh langsatnya. Tidak mau makan dan minum. Hari-harinya hanya dihabiskan untuk menderas al-Quran, shalat, dan berdzikir.
Betapa iba aku pada Denayu Tambangraras. Perempuan yang tidak pernah lepas dari busana serba putih. Selembar kain yang hanya dibalutkan pada tubuh kurus keringnya. Perempuan yang hanya keluar dari tempat peraduan bila ingin berwudlu dan buang air besar dan kecil di pakiwan.
Di satu sisi, aku iba pada Denayu Tambangraras. Di sisi lain, aku jengkel pada Denbagus Amongraga yang pergi tanpa alasan. Apakah kepergiannya karena ingin meninggalkan Denayu Tambangraras? Apakah karena ingin mencari kedua adiknya yang tidak diketahui di mana rimbanya? Apakah ingin mencari jati diri? Semua masih teka-teki.
“centhini…” Denayu Tambangraras yang terpekur di ranjang sontak memecah lamunanku, “Apa yang tengah kamu pikirkan?”
“Ehm…”
“”Tidak perlu kamu pikirkan Centhini!” pinta Denayu Tambangraras. “Aku menerima semua ini.”
“Apa alasan Denayu menerima perlaku tidak adil dari Syekh Amongraga? Kekupu liar yang bergegas meninggalkan mawar layu, sudah dicecap sari madunya.”
“Barangkali sudah menjadi takdir.” Wajah Denayu Tambangraras serupa bulan terlindungi tirai awan tipis. “Karenanya, tidak ada alasan mengapa aku harus menerima semua ini.”
Jawaban Denayu Tambangraras membuatkan kecewa. Karena semasih kanak, aku selalu diajarkan untuk memberikan alasan atas segala yang diterima. Semua benda yang bergerak di muka bumi pun selalu hadir dengan alasan. Bahkan, Ki Bayi Panurta selalu menuntut agar segala sesuatu yang dilakukan berpijak pada alasan dan kepastian tujuan. Inilah pengetahuan yang berharga bagi manusia, agar senantiasa waspada terhadap segala sesuatunya.
Namun sesudah dewasa, aku justeru tidak diperbolehkan untuk menanyakan mengapa segala sesuatu harus diterima tanpa alasan. Sungguh menyebalkan!. Terlebih saat menyaksikan kepedihan Denayu Tambangraras yang harus menerima perlakuan tidak adil dari Denbagus Amongraga.

Stop sampai di sini.

Saya hanya ambilkan contoh kasusnya pada contoh di atas, karena pada hampir semua bagiannya, teknik copy paste dan pengubhannya sama persis.
Gangsar R. Hayuaji hanya mengcopy paste dari file Sunardian Wirodono, untuk kemudian dia tambahkan ini dan itu, diselipin kata lain, diubah sedikit kalimatnya. Namun struktur logika, idiomatika, dan beberapa penyebutan sama persis.
Memang tidak seratu persen copy-paste, namun itu tetap merupakan kerja pencurian. Bekerja di atas keringat penulis lain, untuk kemudian ditambah sana-sini-situ.
Penyebutan Denayu Tambangraras, adalah orisinal dari saya karena tidak ada penyebutan itu pada teks asli, yang ini juga dipakai oleh Gangsar, namun ia keliru ketika menyebut Syekh Amongraga dengan sebutan padanan denayu yakni Denbagus Amongraga, karena ia sudah beristeri dan bahkan disebut syekh (karena itu, saya tak pernah menyebut Denbagus Amongraga).
Semuanya, benar-benar sama persis sis dari awal sampai akhir. Jika SW memulai dengan pengantar berupa ihtisar perjalanan Syekh Amongraga, maka Gangsar langsung mengcopy paste bab satu sebagai pembuka. Dari copy paste tersebut, barulah ia edit di sana-sini-situ, tetapi sekali lagi dengan struktur kalimat dan logika yang sama persis dengan apa yang sudah ditulis oleh SW.
Yang paling dan sangat menyedihkan, pengutipan teks asli dari Serat Centhini dan juga terjemahannya, sama persis dengan apa yang ditulis oleh SW (Halaman 74-75-76-77) Pleg sama. Hanya pintarnya Gangsar, file bab satu SW, dipecah menjadi dua bab. Namun satu sama lain urutannya persis. Pola itu, dipakai untuk bab-bab berikutnya. Ada pula teknik lain, bagian dari teks narasi dicopy paste untuk kemudian dijadikan footnote (lihat C2PC halaman 298-299) total sebanyak 40 baris sama persis.
Untuk diketahui, teks naskah SW yang ada pada pihak DP adalah Bab Pembuka, Bab 1, 2, 3, serta Bab Terakhir (total semua lima file naskah, dari 12 file naskah yang direncanakan, atau) dari seluruh 10 bab yang direncanakan (tidak termasuk Prolog Bab Pembuka dan Epilog Bab Terakhir). Artinya, pada bab 4-5-6-7-8-9-10 sama sekali belum terjamah meski sudah diberikan strukturnya. Tapi untuk diingatkan, dari 4 bab yang sudah ditulis SW itu, semuanya dipakai oleh Gangsar dengan cara dipecah satu bab menjadi dua bab, dan seterusnya dengan teknik menyisipkan satu dua kata atau sedikit diubah kalimatnya. Dari 4 bab itu menjadi bahan baku (atau total sekitar 63,78%) bagi penulisan novel itu.
Ada yang dengan teknik copy paste, namun dihilang beberapa aliea, untuk kemudian masuk pada aliea berikutnya, tapi tetap dari milik SW. Misal sehabis mengutip Serat Centhini (C2PC hal 101-103) kemudian disambung hal 104 dengan alinea pembuka:

“Gemerosak dedaunan bercumbuan dengan angin malam. Bergoyangan ke kiri dan kanan. Di dalam ruang peraduan Ki jayengraga, Endhuk yang merasakan selangkangannya sakit menangis tanpa suara. “Ampuni aku, apa yang tengah tuan lakukan padaku?”

adalah sama persis dengan file SW dengan urutan setelah kutipan tembang, ada 10 aliena yang dihapus, langsung ke (kutipan dari file SW):

“Gemerosak daunan, bercumbuan dengan angin malam. Bergoyangan kekiri, ke kanan. Ke kiri. Ke kanan.
Tiba-tiba tubuh Endhuk terasa panas. Betisnya terasa basah, dan lekat. Ia menjerit kaget. Tubuhnya menggigil, dan tiba-tiba lunglai tiada daya.
“Apakah ini ayah, kenapa di selangkanganku ini, trasa basah dan lekat? Seperti air kencing tetapi ini kental sekali,...” Endhuk bertanya-tanya penuh kecemasan.
(SW. Bab 2, halaman 12-13).

Apakah bedanya? Beberapa pengubahan yang dilakukan Gangsar, missal penyebutan Ayah menjadi Tuan, menunjukkan penulis tersebut sama sekali tidak menguasai dan membaca Serat Centhini asli. Ia hanya berdasar pada teks yang ditulis SW. Apalagi, dalam C2PC juga dikutipkan syair dari “Serat Nirartha”terjemahan Prof Dr. Poerbatjaraka, sungguh sama sekali mengacaukan logika waktu Serat Centhini (dengan alasan apapun interpretasi kreatifnya).
Atau pada akhir bab 10 C2PC Gangsar hal 162-164, yang pola penuturan, struktur logika dan pengutipan teks asli Serat Centhini, bahkan juga terjemahannya, sama persis dengan yang ditulis oleh SW (teks asli SW tentang hal itu pada Bab 3: Keajaiban di Wanataka, untuk membuktikan tanggal penulis, system meta data computer bisa menjelaskan dan bukan rekayasa apalagi ada tanggal pengiriman file tersebut via email ke DP yang tidak bisa dihapus, tulisan SW dibuat pada meta data terakhir 1 Desember 2009).
Dalam forum yang tepat, saya (SW) bersedia menyodorkan fakta-fakta itu lebih rinci, karena jumlah copy paste itu hampir menyeluruh. Yang membedakan hanya dipecah-pecah, beberapa alinea dihilang, disisiplin kata baru tapi tidak mengubah struktur kalimat dan logika, strutur urutannya sama persis.
Bagi saya, Centhini 2: Perjalanan Cinta yang didaku sebagai tulisan Gangsar R. Hayuaji itu, sama sekali tidak berangkat dari Serat Centhini aslinya, tetapi berangkat dari teks yang dibuat oleh SW. Bahkan, pada referensi yang ditulisnya, sama persis dengan apa yang dituliskan oleh SW, hanya ditambahi beberapa judul buku. Lumayan untuk gagah-gagahan. Penulisan footnote pun, meniru pola SW, bahkan (dan sekali lagi) yang paling menyedihkan, terjemahan Serat Centhini yang dilakukan dengan susah payah oleh SW di copy paste begitu saja, semuanya (kecuali halaman 377 dst). Model ini celakanya, ia terjebak pada pola penggubahan dan idiomatika yang dikembangkan SW, tanpa mengerti aslinya bagaimana. Misal penyebutan nama, tempat, pengadeganan. Penyebutan Denbagus Amongraga, yang salah secara teks tersebut tentu karena terjebak mengikuti pengembangan idiom SW untuk Denayu Tambangraras. Demikian juga penyebutan “ayah” menjadi “tuan” oleh Gangsar misalnya, karena teks asli memang si Endhuk diminta menyebut Ki Jayengraga sebagai “ayah”, bukan tuan! Dan seterusnya.

Apakah kesimpulannya?

Apakah itu semua terjadi, karena DP merasa telah membayar pada SW, dan sama sekali tanpa kontrak kerja tertulis, hingga menganggap teks SW sudah sah milik DP, untuk kemudian boleh dipakai siapa saja dengan mendaku sebagai tulisannya? Padahal, persoalan yang terjadi antara DP dengan SW juga sama sekali belum diselesaikan secara baik-baik, belum ada kata putus?
Namun, sekali lagi, apakah cukup alasan kemudian, Sri Wintala Achmad dengan memakai nama gangsar R. Hayuaji mendaku teks-teks dalam novel C2PC sebagai karyanya, padahal jelas-jelas sebagian besar adalah bukan tulisannya, melainkan tulisan SW yang sudah dipegang oleh DP, dan itu diakui oleh penulis sendiri di halaman 418, sebagai bagian dari “bahan bacaan”? Bukankah artinya tidak ada alasan mengelak tidak tahu dan sebagainya, jika bukan hanya kalimat per kalimat, melainkan titik koma, suku kata dan idiomnya sama persis dengan yang ditulis SW? dalam meta-data file-file SW bertiti mangsa Maret-November 2009/Maret 2010, sementara dalam C2PC tulisan Gangsar bertanggal Mei 2010! Setidaknya tenggang waktu dua bulan.
Lantas, apa yang kemudian mesti dilakukan atas hal ini? Sesungguhnya, atas nama UUHC, saya bisa menuntut saudara Sri Wintala Achmad selaku pemegang nama Gangsar R Hayuaji, yang mengklaim bahwa novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” adalah karya tulis orisinalnya, atas bukti-bukti yang saya beberkan tersebut. Setidaknya minimal bisa menuntut Rp 500 juta, yang tentu lumayan bisa untuk mencetak sendiri novel saya dan dibagikan gratis.
Namun, sebagai sesama penulis, dan saya berharap Sri Wintala Achmad kelak tumbuh menjadi penulis yang baik, saya hanya menunggu pengakuan dia, bahwa yang dia lakukan bukanlah tindakan yang patut dilakukan oleh mereka yang bekerja di lapangan kreatif. Apalagi ketika di cover buku tersebut disebutkan bahwa novel tersebut penuh ajaran luhur dan sejenisnya.
Saya, Sunardian Wirodono, menunggu saudara Sri Wintala Achmad, di forum mana pun hendak diadakan.
Bagi saya, apa yang dilakukan Sri Wintala Achmad sebagai penulis, sangatlah menyedihkan. Karya kebudayaan yang besar, ternyata hanya disikapi secara lemah karena imbalan honorarium, namun tanpa perilaku kreatif yang memadai. Apalagi jika membaca pengantar penulis yang luar biasa panjang (dari hal 7 s.d 57, yang ditulis bertanda Cilacap-Yogyakarta, Mei 2010), terlihat lebih banyak copy-paste tulisan-tulisan mengenai Centhini yang bisa di-downdload dengan mudah dari internet.

Innalillahi wa inna illahi roji’un.

Yogyakarta, 13 Oktober 2010
Sunardian Wirodono

Selasa, 14 September 2010

Dewi Drupadi Naik Ambulans

Ditulis oleh Sujiwo Tejo

Bukan kuntilanak bukan gendruwo. Rambut ikal selutut. Perempuan itu cuma' berdiri tengah malam nduk pinggir jalan. Tempatnya ndak jauh dari kamar mayat di Karangmenjangan. Tadinya konco-konco mbecak dan ojek cangkruk sekitar situ. Sekarang mereka satu-satu mulai mlipir menjauh. ''Soale lama-lama ta' lihat kok kaki perempuan itu ndak nyentuh aspal,'' bisik seorang tukang ojek sing ngaku bernama Zawawi Imron.
Bisik-bisik ojek lain menyambungnya, ''Minyak wanginya rodok-rodok bau melati gitu ya...'' Tukang becak yang dengar itu meralat. Pak jenggot ini sambil kepontal-pontal membawa radio kecilnya, siaran wayang Ki Panut Dharmoko dari Nganjuk, lakonnya Alap-alapan Dewi Drupadi. ''Hush...Ngawur awakmu,'' ralatnya, ''Bukan bau melati ini. Ini menyan...''
Wah, tambah cepat-cepatlah kaum pekerja malam itu meninggalkan sang perempuan. Angin dari arah kamar mayat sempat menggeraikan rambut dan syalnya ke arah Unair.
Ciiiiiiiiittttttttt.....!!!!!!
Kaum ojek dan pabecakan di sekitar Stasiun Gubeng itu sudah merinding kini mendadak kaget pula oleh derit suara taksi ujuk-ujuk ngerem. Jejak bannya sampai mbliyat-mbliyut di aspal. Taksi hampir masuk got. Setelah mandek, taksi seketika mundur cepat. Perempuan berambut selutut dengan dua koper itu naik. Taksi bablas.
Kini di atas becek sisa gerimis, tukang-tukang ojek dan becak masih mencium sisa bau kemenyan, melati, dan kembang kantil, di ruas jalan lengang, di suatu tengah malam, nduk Suroboyo.

***

Tukang taksi separo umur itu pasti butuh duit tenan sampai ndak sadar bahwa calon penumpangnya tadi mencurigakan. Malam-malam begini. Sudah larut lagi. Sendirian. Jalanan yang biasanya masih ditongkrongi satu-dua ojek dan tukang becak itu tadi sudah kosong lho. Ndak kayak malam-malam biasanya. Kok sopir ini nekad main tarik saja siapa pun yang nyegat. Mungkin karena anak tukang taksi ini sakit. Dia perlu ongkos dokter dan apotek. Mau minta sumbangan melalui koin buat si sakit takutnya masyarakat lama-lama bosen.
Dukun dari Sampang bilang, anak seusia TK itu sakit-sakitan karena namanya ndak cocok. ''Sabar Budi Yuwono itu ndak pas, Dik. Nanti kalau ada anggota Pansus DPR mbesuk ke sini yok opo? Iya kalau semua anggota dewan itu mau memanggil namanya lengkap. Kalau mereka males capek-capek lalu cuma mau manggil inisial Sabar Budi Yuwono? Masa' mereka sebut SBY? Hmm... Begini saja, Dik. Namai Heru Ardi Ibas-koro. Jaga-jaga kalau anggota pansus kurang sehat, energinya ndak sanggup menyebut nama panjang. Mereka cukup panggil inisial ''Hai''...Lebih mesra. Dan ''Hai'' juga lebih punya arti dibanding ''BO'' maupun ''SMI''. Salah-salah malah dikiro Sekolah Menengah Ibu-ibu...''
Begitulah pandangan akhir dukun kelahiran Ngawi ini. Lain lagi pandangan akhir dokter merangkap psikolog. Orang asli Nguling ini yakin, anak sopir taksi itu sakit gara-gara keseringan ndengar ibunya ngomel ke ayahnya. Memang istrinya selalu ribut siang malem non-stop persis warung Padang. Dan, kalau sudah ngomel buaaanter banget.
''Ya itulah risiko punya istri, Mas,'' dokter bertutur ke sopir taksi. Si sopir langsung tampak nglokro mendengar diagnosa dokter. Dokter tanggap. Hiburnya, ''Hmmm...Tapi ndak papa...Tahu beda antara istri dan senapan? Senapan masih bisa kita pasangi alat peredam.''
Ketika temuan fraksi dukun dan fraksi dokter-psikolog disampekno sopir taksi nang istrinya, sang istri yang berbaju biru itu tumben jadi tenang. Katanya, ''Sini ta' bilangi. Apa pun yang diutarakan fraksi-fraksi itu aku gak pateken. Itu baru temuan politik. Bukan temuan hukum. Hukumnya sudah jelas, hukum karma. Anak kita jadi sakit-sakitan begini karena karma Sampeyan. Sampeyan itu ngeluuuuuuuh terus kalau cari duit. Padahal aku kurang opo, Cak? Aku wis mbantu-bantu jadi tukang pijet. Sampek semua bapak-bapak di RW sini wis roto pernah tak pijeti...''
Gitu ceritanya kenapa kok malam ini pak sopir semangat sekali cari duit. Sampek ia ndak awas lagi jangan-jangan perempuan yang baru naik itu bukan perempuan biasa, tapi kuntilanak. Baru ketika melintas Jembatan Merah pak sopir yang gemar wayang itu tiba-tiba merasa aneh. Tumben-tumbennya ada penumpang tidak minta siaran radionya dipindah ke musik. Padahal radio taksi sedang muter wayang, acara kesukaan pak sopir. Perempuan itu malah ketawa-ketawa mendengar radio. ''Itu suara Bagong kan, Pak,'' tanyanya renyah.
''Yo mesti ae,'' kata suara di radio. Suaranya serak, tercekik namun tetap lantang. ''Mesti ae orang hukum ndak takut nang DPR soal hasil pansus. Mereka juga ndak ngrasa terikat, minimal ndak sungkan pada DPR sebabe DPR memang bukan rakyat. DPR itu cuma wakilnya. Wakil ya lebih rendah daripada yang diwakili, yaitu rakyat, pemegang kedaulatan tertinggi. Makanya aparat hukum merasa kurang dihargai, kurang diorangkan. Yang ngomong ke mereka belum rakyat sendiri, baru wakilnya. Rakyat masih terlalu padat jadwalnya untuk berkenan datang dan ngomong langsung. Ndak tahu kalau nanti-nanti...''

***

Waktu menunjuk pukul 02.10 dini hari.
''Betul kan Pak, tadi suara Bagong kan, Pak?'' tanya perempuan itu sekali lagi. Suaranya masih renyah, campur suara kuluman permen karet.
''Inggih, betul, Mbak, eh, Bu...''
''Hehe, Bapak ini...Ehmm...Panggil saja saya Drupadi...''
Sopir mengernyit.
''Bapak tahu Drupadi di wayang kan? Pasti mudeng soale Bapak penggemar wayang...''
Jelas si Bapak tahu. Drupadi, alias Dewi Kresna, adalah putri Raja Drupada di Pancala. Dia perempuan yang dinikahi rame-rame oleh Pandawa karena sejak remaja Pandawa telah bersumpah: ''satu untuk semua, semua untuk satu''. Aturannya, siapa pun tidak boleh memasuki kamar saudaranya yang sedang digilir oleh titisan Dewi Srigati, dewinya poliandri itu.
Di suatu malam tiba-tiba ada teriakan. Ada Pak Tani bengak-bengok minta tolong mengejar maling anak gadisnya yang akan membawanya kabur ke Arab Saudi jadi TKW. Arjuna yang mendengar jeritan itu spontan berpikir harus menolong petani. Pikirnya, kalau tidak ditolong, ini akan berdampak sistemik. Seluruh gadis di Kampung Amerta akan dilarikan ke Timur Tengah. Arjuna langsung mengambil senjata Pandawa yang semuanya disimpan di kamar sulung Yudistira. Kamar terkunci. Yudistira sedang main asmara dengan Drupadi. Arjuna mendobraknya. Gedubrak!!! Dengan senjata yang baru diambilnya kesusu-susu itu Arjuna langsung bablas mengejar maling dan berhasil meringkusnya.
Keempat anggota Pandawa plus Drupadi langsung menggelar sidang hak angket. Agendanya merembuk hukuman apa yang pantas untuk Arjuna karena melanggar kebijakan. Berani-beraninya Arjuna memasuki kamar saudaranya yang sedang digilir Dewi Drupadi. Akhirnya semua sepakat Arjuna tak perlu dihukum karena tujuan memasuki kamar yang ada Drupadi-nya itu mulia. Tiba-tiba sing dirasani muncul. Semua kaget. Drupadi malah sampai pingsan. Gara-garanya Arjuna menyatakan akan menghukum dirinya sendiri selama 12 tahun di tengah hutan.
Di dalam taksi, lewat tengah malam itu, dari jok belakang, tiba-tiba Drupadi njawil pundak sopir taksi. ''Pak?'' tegurnya. Pak sopir sangat kaget. Remnya dia injek tiba-tiba. Mobil sempoyongan berkelok-kelok hingga nyaris nabrak patung polisi. Sopir ngos-ngosan.
''Sampeyan itu lho dijawil wae kaget. Baru tukaran sama istri ta? Atau ngomong-ngomong soal Drupadi, Sampeyan marah-marah margo Arjuna ndak disalahkan malah menghukum diri sendiri...tapi manusia sekarang sudah disalahkan sama pansus masih ndak mau ngrumangsani, gitu? Sampeyan ngalamun bareng tak jawil kaget.''
''Bukan begitu Bu Drupadi. Saya sudah 20 tahun bawa mobil, tapi baru pertama naksi ya hari ini...''
''Lha opo hubungane. Saya itu tadi mau tanya Sampeyan tahu Jalan Century ndak? Makanya saya jawil. Naksi baru sehari, oke. Tapi sudah 20 tahun lho Sampeyan itu nyopir. Mestinya nggak kaget gitu nek tak jawil dari belakang...20 tahun pengalaman nyopir kok masih gampang panik...''
''Dua puluh tahun nyopir itu saya nyetir ambulans, Bu...'' (*)

Disadur sepenuhnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo Episode 28.

Kamis, 09 September 2010

Serat Centhini dalam Intepretasi Modernitas


Elizabeth D. Inandiak telah berjasa besar dalam mengenalkan Serat Centhini pada generasi muda Indonesia. Namun, Serat Centhini versi beliau dengan aslinya, tentu sulit dipersandingkan, apalagi jika kita mengetahui teks karya asli Serat Centhini. Sebagai karya gubahan dengan interpretasi dan latar belakangnya sendiri, Elizabeth lebih memakai Serat Centhini sebagai titik tolak (struktur penceritaan), sementara struktur contentnya, bisa sangat berbeda.
Apakah salah? Tentu tidak, karena penggubahan kreatif itu masih menghargai (memakai) batang tubuh Serat Centhini. Persoalannya lebih pada soal batang jiwanya, karena latar belakang pengetahuan, referensi, dan sebagainya, yang bukan hanya akan melahirkan atau memakai idiom berbeda, tapi juga pengaruh-pengaruh kitaran atau spirit jamannya. Lihat sebagai contoh, dikutipkan dari tulisan Olin Monteiro, Cibubur, 6 Februari 2007 (Sumber: olinmonteiro.multiply.com) berikut:

"Dalam buku Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan (2007), jika boleh disandingkan dengan The Prophet Khahlil Gibran. Dari tembang 71 sampai 111, penuh dengan filosofi kehidupan yang begitu dalam dan bagaimana memandang hidup dengan berbeda. Mengapa Amongraga melakukan ini kepada sang istri?

Bandingkan kata-kata cinta Amongraga dengan Khalil Gibran dalam the Prophet:

Love possesses not nor would it be possessed;
For love is sufficient unto love.
When you love you should not say, “God is in my heart,” but rather, I am in the heart of God.”
And think not you can direct the course of love, if it finds you worthy, directs your course.
Love has no other desire but to fulfil itself.
But if you love and must needs have desires, let these be your desires:

Amongraga (versi Inandiak) mengatakan, dengan rahmat Allah kita berlayar dalam diam, sementara Gibran mengatakan, ketika kau mencintai janganlah berkata,”Tuhan ada dalam hatiku” tapi yang benar adalah, “Aku bertahta dalam hati Tuhan. Jangan berpikir kamu bisa mengarahkan cinta, tapi bila memang kau dianggap layak, ia akan mengarahkan layarmu”. Betapa begitu bersinggungannya kedua tembang tersebut. Keduanya menceritakan bahwa cinta tidak lepas dari rahmat dan titipan yang Maha Kuasa atau sang Pencipta. Hanya dengan berserah diri pada Tuhan maka cinta itu bisa ada dan bisa hidup."

Demikian Olin Monteiro. Dan masih banyak lagi. Pandangan profetis Amongraga versi Inandiak, tentu berbeda dengan Amongraga aslinya, yang kadang pemaparan tekstual di sana (khususnya penjabaran pandangan-pandangan Islam) lebih bersifat copy-paste, yang semua itu bisa jadi karena semangat Serat Centhini sebagai ensiklopedi (lihat juga tinjauan Ulil Absar Abdalla soal sinkretisme Jawa-Islam yang sebelumnya diupload di wall ini).
Begitu juga misalnya, penokohan Centhini, banyak menjebak pembaca (modernnya) untuk mengandaikan ini sebagai tokoh penting. Padahal, Centhini lebih merupakan tokoh yang dipinjam dalam teknik penuturan Serat Centhini yang semula berjudul "Suluk Tambangraras" ini
Hal yang hampir mirip, mungkin kita bisa membandingkan antara Rara Mendut versi dongeng masa lalu dengan apa yang ditulis YB Mangunwijaya mengenai tokoh yang sama dalam bentuk novel modern berbahasa Indonesia. Ada perbedaan dalam spirit ideologis (pandangan gender) yang harus dibedakan secara kritis antara teks dan konteks.
Perlu diskusi lebih jauh, karena boleh dikata jarang orang (bahkan ahli sastra kita sendiri) yang menguasai masalah Serat Centhini aslinya, sehingga kadang karya-karya model Inandiak seperti di atas, dipakai sebagai referensi satu-satunya untuk mengenal Serat Centhini. Padahal, sungguh harus dibedakan dalam perkara teks karya sastra.

Rabu, 08 September 2010

Serat Centhini: Suluk Kesaksian Gadis


Islam dan budaya Jawa hidup berdampingan. Serat Paku Buwono V ini buktinya.
Adapun manusia berasal dari cahaya gaib. Apabila meninggal atau zaman kiamat, manusia akan kembali pada zat yang gaib. Yakni pulang ke tempat asalnya, Manunggaling Kawula-Gusti.
SULUK Saloka Jiwa buah pena penyair sufi, Ronggowarsito, ini aslinya berbahasa Jawa. Tak beda dengan suluk Serat Centhini , yang meramu khazanah kultur Jawa dan ajaran Islam dengan merujuk pelbagai Kitab Kuning. Suluk adalah ajaran mistik yang diungkapkan berupa tembang, sebuah bentuk puisi Jawa. Tak syak, orang pun bertanya: bagaimanakah hubungan budaya Jawa dengan Islam?
Pertanyaan itulah yang dicoba disahuti oleh sebuah tim peneliti dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sejak enam bulan ini. Hasilnya menunjukkan bahwa antara kebudayaan Jawa dan Islam bisa hidup berdampingan. Daerah pedesaan Jawa, yang dulu menganut tradisi animistis dan dinamistis, ternyata bisa menerima Islam tanpa kehilangan makna kultural Jawa.
Penelitian yang dilakukan Drs. H. Muzairi, MA, dan lima koleganya itu berjudul “Kitab Kuning dan Suluk Serat Centhini Kajian Tentang Islam dan Budaya Jawa”. Ia dipublikasikan dalam jurnal penelitian IAIN Yogyakarta edisi Mei-Agustus. Terdiri dari 12 jilid, meliputi 3.216 halaman huruf Jawa dan 3.500 halaman tulisan Latin, sehingga layak disebut sebagai “Ensiklopedi Jawa”.
Serat Centhini adalah puncak karya sastra tulis Jawa klasik karya Raja Keraton Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono V -tatkala menjadi putra mahkota pada 1814. Sedangkan Centhini, yang berperawakan ramping, adalah seorang gadis pembantu rumah tangga suami-istri, Jayengresmi alias Amongraga dan Tembanglaras. Serat yang ditulis bergaya tembang macapat ini menceritakan pengembaraan Jayengresmi, salah seorang putra Sunan Giri III, setelah Sultan Agung dari Mataram menaklukkan Kewalian Giri di Gresik.
Perjalanan Jayengresmi ke arah barat, hingga ke Banten dan akhirnya kembali ke Mataram, itulah yang ditulis Paku Buwono V. Isinya beragam, mulai dari bab agama Islam, ilmu lahir batin, gending, tari, hari buruk dan baik, tembang, sampai masakan Jawa. Bahkan soal keris, kuda, kesaktian, hingga ke soal hubungan intim suami-istri yang paling rahasia pun terangkum di sana.
Dikisahkan pula ketika Jayengresmi bersua dengan Ki Jimat Ngabdul Ngatyanta dan Ki Sali di Kampung Laweyan, tempat makam Ki Ageng Henis. Ki Sali menceritakan “Ramalan Tanah Jawa” berdasarkan Jangka Jayabaya dari Kitab Musarar, yang diedarkan Sech Maulana Ngali Samsujen dari negara Rum Turki. Ramalan itu juga memaktubkan zaman kacau-balau di Jawa hingga hari kiamat -berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW.
Seperti disebut Karkono Kamajaya Partokusumo, 82 tahun, seorang pakar budaya Jawa yang menekuni Serat Centhini selama 17 tahun, kaitan suluk itu dengan Islam sangat kental. Meskipun harus diakui, serat ini membuktikan keberadaan sinkretis Islam dan budaya Jawa, yang memunculkan Islam Kejawen. “Artinya, Islam tak membunuh budaya Jawa,” kata Karkono kepada Gatra.
Gadis Centhini adalah saksi yang mendengarkan wejangan agama -tentang syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat- dari Jayengresmi kepada Tembanglaras selama 40 malam. Dari penelitian itu, ada 20 Kitab Kuning yang dirujuk Serat Centhini . Misalnya, ada enam kitab fikih (termasuk Taqrib dan Idah), sembilan kitab akidah, dua kitab tafsir (Jalalain dan Baidhawi), dan tiga kitab tasawuf, seperti Ihya dan Al Insan Al Kamil karya Abd. Al Karim Al Jali, sebuah sajian sistematis aliran Wahdah Al Wujud dari Ibn. Al Arabi.
Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, Drs. Taufik Ahmad Dardiri, SU, melihat bahwa Serat Centhini tak bisa lepas dari budaya sekitarnya. Sejarah mencatat, kala itu sedang terjadi transformasi Islam dengan tradisi “sastra Kitab Kuning”, atau sastra pesantren ke dalam sastra dan kebudayaan Jawa.
Bahkan serat ini juga mempengaruhi karya sastra Jawa sesudahnya -termasuk Ronggowarsito- yang terkenal dengan Serat Kalathida. Ronggowarsito termasyhur dengan seratnya yang menamsilkan hubungan manusia dengan Tuhan ibarat kain dengan baju, ombak dengan lautan, dan angin dengan debu. Mirip dengan pandangan penyair sufi, Hamzah Fansuri, dengan wahdatul wujudiyah yang kontroversial itu.
Jika mau ditarik sebuah ilustrasi: proses Jawanisasi Islamkah yang terjadi, atau Islamisasi Jawa? Boleh jadi, yang semula terjadi adalah “Jawanisasi Islam”, kala tradisi mistis Jawa mengakomodasi Islam. Tapi ketika mereka menemukan esensi kebudayaan Islam yang punya “kesamaan” dengan kultur Jawa, “Islamisasi Jawa” pun berlangsung. Itulah keberhasilan Islam di Jawa. “Islam masuk dengan pendekatan kultur, bukan dengan kekerasan,” kata Karkono.

Bersihar Lubis dan Joko Syahban
Majalah Gatra, Posted on 9 November 2009 by Jayeng Resmi

Vadamekum Serat Centhini


Serat Centhini secara keseluruhan terdiri dari 722 pupuh, 31.837 tembang (bait), 3.467 halaman pada 12 jilid buku ukuran 15cm X 21cm. Tembang yang dipergunakan adalah: Asmaradana 64 kali – 3.117 tembang, Balabak 16 kali – 676 tembang, Dhandhanggula (Sarkara) 73 kali – 5.207 tembang, Dudukwuluh (Megatruh) 52 kali – 1.929 tembang, Durma 17 kali – 483 tembang, Gambuh 55 kali – 975 tembang, Girisa 30 kali – 897 tembang, Jurudemung 42 kali – 1.168 tembang, Kinanthi 65 kali – 3.505 tembang, Lonthang 9 kali – 470 tembang, Maskumambang 42 kali – 1.704 tembang, Mijil 46 kali – 2.563 tembang, Pangkur 40 kali – 1.469 tembang, Pucung 58 kali – 2.388 tembang, Salasir 12 kali – 522 tembang, Sinom 64 kali – 2.675 tembang, Wirangrong 37 kali – 1.089 tembang.
Serat Centhini mendapat pujian dari Denys Lombard (orientalis asal Perancis, pengarang buku Le Carrefour Javanais --yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Nusa Jawa Silang Budaya), mengatakan dalam bukunya sebagai berikut: "... jika setiap pupuh mengandung rata-rata 40 bait dan setiap bait 7 larik/baris, maka diperoleh 200.000 larik/baris lebih. Wiracerita-wiracerita Yunani karangan Homeros: Iliad dan Odyssey masing-masing hanya mengandung 15,537 dan 12.363 larik.

Serat Centhini dibuka pada Jilid-1, Pupuh 1, Tembang 1 (Sinom):

Sri narpadmaja sudigbya,
talatahing tanah Jawi,
Surakarta Adiningrat,
agnya ring kang wadu carik,
Sutrasna kang kinanthi,
mangun reh cariteng dangu,
sanggyaning kawruh Jawa,
ingimpun tinrap kakawin,
mrih kemba karaya dhangan kang miyarsa.

Artinya: Sang putra mahkota, berwilayah tanah Jawa, Surakarta Adiningrat, memerintahkan jurutulis, Sutrasna yang dipercaya, mengumpulkan cerita lama, keseluruhan pengetahuan Jawa, digubah dalam bentuk tembang, agar mengenakkan dan menyenangkan (bagi) yang mendengar.

Sedangkan penutupannya pada Jilid-12, Pupuh 708, Tembang ke 672 (Dandanggula):

Kadarpaning panggalih sang aji,
kang jinumput wijanganing kata,
tinaliti saturute,
tetelane tinutur,
titi tatas tataning gati,
sakwehnung kang tinata,
wus samya ingimpun,
ala ayuning pakaryan,
kawruh miwah ngelmuning kang lair bathin,
winedhar mring para muda.

Artinya: Didorong oleh keinginan Sang Raja*, yang diambil makna kata-katanya, diteliti urutannya, nasehat yang disampaikan, teliti tuntas teratur maksud tujuannya, semua sudah diceritakan, semua sudah dikumpulkan, baik buruknya perbuatan, pengetahuan maupun ilmu lahir bathin, diuraikan buat para kawula muda.

* Keterangan: Serat Centhini digagas (pada 1742 tahun Jawa, kira-kira 1814 Masehi) oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, salah seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, dan baru selesai ketika putra mahkota tersebut diangkat sebagai raja Surakarta dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwana V (diangkat sebagai raja pada 1748 tahun Jawa atau 1820 Masehi).

Sebagai penutup Serat Centhini atau semula berjudul "Suluk Tambangraras" ada pada pupuh 722, tembang ke 55 (Asmaradana):

Titi tamat ingkang tulis,
telas ingkang cinarita,
Seh Mongraga lalakone,
kongsi amadeg narendra,
kendhang tekeng pralaya,
kran Sunan Tegalarum,
pisah sumarenira.

Artinya: Sudah tamat tulisannya, selesai ceritanya, riwayat Seh Amongraga, sampai menjadi raja, terusir meninggalnya, diberi nama Sunan Tegalarum, terpisah makamnya.

Dari tembang pembukaan dan penutup, maksud dan tujuan penulisan Serat Centhini adalah untuk melestarikan Budaya atau Pengetahuan Jawa agar bisa jadi pelajaran buat generasi muda. Jadi, pada saat itu pun tampaknya sudah ada problem komunikasi (dan mungkin orientasi) antara orangtua dan orangmuda, hingga "perlu digagas" sebuah karya yang dioerientasikan untuk generasi muda. Dan memang, bahasa Jawa Serat Centhini pada waktu itu, sangatlah berbeda dengan semangat teks sastra jamannya yang penuh simbol dan metafora. Dalam Serat Centhini bahkan penyebutan perangkat kelamin lelaki dan perempuan bisa sangat verbal dan vulgar.

Senin, 26 April 2010

"Serat Centhini", Sinkretisme Islam, dan Dunia Orang Jawa

Penulis: Ulil Abshar-Abdalla

Dikutip dari Kompas, Jumat, 4 Agustus 2000

Lagi-lagi, kita membicarakan sesuatu yang berkenaan dengan kebudayaan Jawa. Dalam situasi di mana Jawa sekarang dipersoalkan oleh semua orang, pembicaraan semacam ini boleh jadi dianggap mengafirmasi apa yang sering dianggap sebagai "dominasi" kebudayaan Jawa di Indonesia. Akan tetapi, kebudayaan Jawa memang menyuguhkan 'magic' yang tak habis-habisnya. Studi mengenai Jawa tak pernah membosankan, karena terdapat segi-segi yang terus memikat untuk dilihat. Salah satu tema yang menarik adalah hubungan antara kejawaan dan keislaman yang melahirkam sejumlah teori di tangan para ahli. Persoalan pokok yang tampil di sini adalah berkenaan dengan kedudukan Islam sebagai agama orang Jawa: apakah Islam di situ masih tegak sebagai agama yang "pristin", tidak terpengaruh oleh unsur-unsur lokal, atau justru mengalami "distorsi" ketika mulai bertemu dengan jenius setempat?

ISLAM DAN KEJAWAAN
Serat Centhini, sebuah karya penting dalam sastra Jawa yang ditulis pada abad ke-19, saya kira, bisa memberikan sedikit gambaran, bagaimana agama Islam dipersepsi oleh orang-orang Jawa, terutama oleh lapisan elite dalam masyarakat ini.
Salah satu teori yang dikemukakan oleh sejumlah ahli adalah teori mengenai "sinkretisme", atau percampuran antara Islam dengan unsur-unsur lokal Jawa dalam cara yang tidak genuine dan sedikit agak dipaksakan. Sebutan "sinkretisme" sebetulnya mengandung semacam ejekan: bahwa Islam tidak lagi tampil sebagai dalam wujudnya yang asli, tetapi sudah tercampur dengan unsur-unsur yang eksternal sifatnya. Islam yang "sinkretis", sebagaimana kita lihat dalam masyarakat Jawa, dengan demikian menggambarkan suatu genre keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang "murni" di tempat asalnya di Timur Tengah.
Di samping itu, sebutan "Islam sinkretis" sebenarnya mengandung asumsi tersembunyi, bahwa seolah-olah unsur utama di situ adalah Islam, sementara kejawaan adalah unsur tambahan yang menyebabkan unsur utama tersebut mengalami pemiuhan. Dengan demikian, sebutan tersebut juga memandang kejawaan sebagai "yang lain": unsur eksternal yang kehadirannya harus diwaspadai. Saya kira ini bisa kita lihat pada sejumlah tulisan yang menggunakan pendekatan "sinkretisme" dalam melihat hubungan antara kejawaan dan Islam. Perhatian pertama-tama diberikan pada Islam sebagai "tradisi besar" yang mempunyai elemen-elemen kanonik yang bersifat "universal", baru kemudian datang kejawaan sebagai unsur lokal yang mencerminkan "tradisi kecil" yang terbatas jangkauannya. Kalau kita baca sejumlah studi yang sudah klasik selama ini, seperti Clifford Geertz dalam Religion of Java (1976), akan tampak bahwa kejawaan dilihat semata-mata sebagai unsur eksternal yang membuat Islam mengalami transformasi bentuk.
Akan tetapi, sebutan yang sama sebetulnya juga bisa berarti "penaklukan" masyarakat Jawa terhadap Islam yang justru dianggap sebagai "yang lain". Kejawaan adalah elemen dasar yang membentuk "kosmos" masyarakat Jawa yang unsur-unsurnya dibangun melalui percampuran antarpelbagai elemen yang juga datang dari "luar" (di sini persoalan "yang lain" dalam kebudayaan Jawa menjadi soal yang rumit, karena amat sukar mengatakan bahwa ada unsur-unsur yang benar- benar bisa diandaikan sebagai "asli" dalam masyarakat Jawa). pendekatan ini digunakan oleh Harry J Benda. Dalam studinya yang amat terkenal, The Crescent and the Rising Sun (kemudian lebih tegas lagi ia tuliskan dalam Continuity and Change in Indonesian Islam di Asian and African Studies, vol. 1, 1965), Benda mengemukakan sebuah teori tentang penjinakan Islam oleh masyarakat Jawa. Benda mendasarkan teorinya ini atas studinya mengenai perkembangan Islam dalam rentang waktu antara abad ke-16 hingga ke-18. Pada periode itu, berlangsung pasang-surut hubungan antara Islam dan kejawaan, yang tercermin dalam persaingan antara dua kerajaan yang saling berebut pengaruh, yaitu kerajaan Islam di Demak yang memegang bentuk Islam yang kurang lebih "ortodoks", dan kerajaan Mataram Islam yang lebih cenderung pada bentuk Islam yang sinkretik dan heterodoks. (Sebenarnya dalam lingkungan Demak sendiri, juga berlangsung persaingan yang keras antara ortodoksi Islam yang tercermin dalam figur wali sembilan dan heterodoksi Islam yang tampil dalam figur Syeh Siti Jenar).
Teori "domestifikasi Islam" ini mengandaikan bahwa kejawaan tidak serta merta bisa ditundukkan begitu saja oleh Islam sebagai unsur eksternal yang sama sekali asing. Kemenangan Mataram atas Demak menggambarkan kemenangan Islam sinkretik atas Islam ortodoks yang dikembangkan oleh para wali sembilan. Dengan cara inilah, Benda mencoba menerangkan kekalahan kelompok Masyumi terhadap aristokrasi Jawa dan kelompok sekular dalam perdebatan di konstituante mengenai negara Islam di tahun 50-an. Benda, antara lain, menulis,
Karena itu, dilihat dari kerangka nasionalisme Jawa-sebagai- pusat, Islam, atau lebih khusus lagi, jenis Islam seperti Masyumi, harus dilihat sebagai pengaruh yang sejak dari awalnya sudah asing dan non-Jawa, bahkan malah "non-Indonesia". Pancasila, ideologi resmi negara, adalah Jawa, teistik, secara samar monoteistik, tetapi yang pasti bukan Islam. (Saya pinjam dari terjemahan Ihsan Ali-Fauzi terhadap bukunya Bachtiar Effendi, Islam dan Negara [hlm. 30].
Sejumlah penulis masih menggunakan kerangka yang sama dalam menganalisa hubungan antara Islam dan pemerintah Orde Baru yang dianggap juga mencerminkan perpanjangan dari dunia Jawa dalam politik Indonesia modern. Kemenangan pemerintah Orba di tahun 1984 dalam "memaksakan" penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal kepada ormas-ormas Islam, dianggap juga sebagai perulangan tema lama mengenai "domestifikasi Islam". Dalam kaca mata ini, sebutan "Islam sinkretik" justru menunjukkan keunggulan kebudayaan Jawa yang dianggap resilien terhadap unsur asing. Sebaliknya, Islam justru dianggap sebagai unsur luar yang tidak serta merta bisa memaksakan suatu kepercayaan baru, dan menghapuskan begitu saja kepercayaan yang sudah lama mengakar.
Studi-studi mutakhir dalam bidang keislaman makin cenderung melihat hubungan Islam dan budaya lokal dalam kerangka semacam ini, yaitu dalam konteks resistensi kebudayaan setempat atas penetrasi unsur-unsur luar seperti Islam. Dalam nada yang merayakan apa yang disebut sebagai kondisi postmodernitas, antropolog Islam asal Pakistan yang kini tinggal di Inggris, Akbar S Ahmed (dalam Islam dan Postmodernisme), menunjukkan bahwa hubungan antara Islam sebagai teks besar" dengan kebudayaan setempat sebagai "teks kecil" (dua istilah ini dari saya sendiri) tidak lagi dilihat dalam kerangka penundukan", tetapi justru dalam kerangka makin beragamnya ekspresi Islam setelah bertemu dengan unsur-unsur lokal, termasuk juga dalam kaitannya dengan pertemuan antara Islam dengan kebudayaan pop. Islam tidak saja dilihat sebagai unsur yang universal, tetapi juga akomodatif. Sementara kebudayaan lokal tidak dipandang sebagai unsur "rendah" yang harus mengalah kepada Islam, sebab jenius setempat ini juga bisa menolak terhadap unsur-unsur baru. "Sinkretisme Islam" tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang pejoratif, tetapi justru memperlihatkan adanya "dialog".

RESISTENSI TERSELUBUNG

Serat Centhini, sebagaimana kita tahu, ditulis oleh sejumlah pujangga di lingkungan Keraton Surakarta yang diketuai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III, putra mahkota Sunan Pakubuwana IV. Karya yang terkenal dengan sebutan Serat Centhini atau Suluk Tambangraras-Amongraga ini ditulis pada tahun 1742 dalam penanggalan Jawa, atau 1814 dalam tahun Masehi. Karya ini boleh dikatakan sebagai semacam ensiklopedi mengenai dunia dalam masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, atau katakanlah semacam database pengetahuan Jawa. Jumlah keseluruhan serat ini adalah 12 jilid. Aspek-aspek ngelmu yang dicakup dalam serat ini meliputi persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, kerawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon atau horoskop, soal makanan dan minuman, adat istiadat, cerita-cerita kuna mengenai tanah Jawa dan lain-lainnya.
Yang ingin ditunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini, tetapi ia telah mengalami "pembacaan" ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai "teks besar" yang "membentuk" kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodokasi yang standar. Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk "membaca kembali" Islam dalam konteks setempat, tanpa ada semacam kekikukan dan kecemasan karena "menyeleweng" dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan "resistensi". Penolakan tampil dalam nada yang "subtil", dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme" dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.
Barangkali, Serat Centhini bisa kita anggap sebagai cerminan dari suatu periode di mana hubungan antara Islam dan kejawaan masih berlangsung dalam watak yang saling mengakomodasikan, dan tidak terjadi kontestasi antara keduanya secara keras dan blatant. Sebagaimana kita tahu, dalam perkembangan pasca-kemerdekaan, identitas kejawaan makin mengalami "politisasi" dalam menghadapi naiknya kekuatan Islam yang cenderung "puritan" dalam kancah politik. Dalam konteks semacam ini, antara kedua identitas ini (Islam dan Jawa), terdapat hubungan yang tegang dan penuh prasangka. Ketegangan ini terus berlanjut hingga dalam pemerintahan Orba.
Serat disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga, dan seorang putri bernama Rancangkapti. Dengan diikuti oleh dua santri, Gathak dan Gathuk, Jayengresmi melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojanagara, hutan Bagor, Gambiralaya, Gunung Pandhan, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang. Dalam perjalanan ini, Jayengresmi seperti mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuna, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawi. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, alamat bunyi burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu bersanggama, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syeh Siti Jenar.
Jayengsari dan Rancangkapti berkelana dengan diiringi oleh santri Buras ke Sidacerma, Pasuruhan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Brama, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argapura, Gunung Rawun, Banyuwangi, terus ke Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas. Dalam perjalanan itu, mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat- istiadat tanah Jawi, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan mengenai wudlu, shalat, pengetahuan (yang terkesan agak bertakik- takik dan njlimet) mengenai dzat Allah, sifat, asma dan afngal-Nya, sifat dua puluh, Hadis Markum, perhitungan selamatan orang meninggal dunia, serta perwatakan Kurawa dan Pandawa.
Melihat luasnya daerah serta lingkup pengetahuan yang dipelajari ketiga putra-putri Giri itu, tampak sekali ambisi penggubah kisah dalam Serat Centhini ini untuk "menerangkan" secara menyeluruh "dunia dalam" orang Jawa. Dengan demikian, serat ini juga bisa digunakan sebagai titik masuk untuk mengetahui bagaimana dunia Jawa "plausible" dan bermakna buat orang-orang Jawa sendiri. Sekaligus juga adalah bagaimana Islam "bermakna" dalam konteks tatanan kosmik mereka.
Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang "ortodoks" bercampur baur dengan mitos-mitos di tanah Jawa. Ajaran Islam yang ortodoks mengenai sifat Allah yang dua puluh, misalnya, diterima begitu saja, tanpa harus membebani para penggubah ini untuk mempertentangkan ortodoksi itu dengan mitos-mitos dalam khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara "sinkretik", seolah antara alam "monoteisme" dengan paganisme"/"animisme" Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan.
Seperti telah dikemukakan di atas, dalam serat ini, Islam memang tidak dipandang semata-mata sebagai unsur eksternal yang "membebani" unsur lokal, bahkan pertentangan (katakan saja) weltanschauung antara kedua dunia itu (Islam dan Jawa) sama sekali tidak dipersoalkan. Begitu saja diandaikan bahwa keduanya commensurable dan saling bisa bertukar tempat. Tetapi, anehnya, dengan cara seperti inilah Jawa (sebagaimana ditampilkan oleh serat ini) melakukan "resistensi" (atau "domestifikasi", dalam istilah Benda) atas Islam. Penggubah serat ini seolah-olah tidak mau tahu bahwa Islam sebagaimana tampil dalam korpus standar membawa sejumlah "efek ikonoklastik" atas kepercayaan setempat. Saya tidak tahu, apakah penggubah serat ini "pura-pura" tidak tahu, tidak tahu sama sekali, atau sadar mengenai kontradiksi antara Jawa dan Islam lalu melakukan "pembacaan" yang sifatnya lain. Saya lebih cenderung pada kemungkinan yang terakhir ini. Kontradiksi antara Islam dan Jawa yang menjadi tema pokok gerakan reformasi dan pembaharuan Islam di awal abad dua puluh, sama sekali tidak kelihatan dalam serat ini. Inilah barangkali "resistensi terselubung" kebudayaan Jawa atas "teks besar" yang bernama Islam.
Dalam bukunya yang terakhir berjudul Beyond Belief: Islamic Excurtions Among the Converted Peoples (1998 [penekanan dari saya-UAA]), VS Naipaul, penulis Trinidad yang berkunjung beberapa kali ke Indonesoia, membuat suatu kesimpulan yang agak provokatif mengenai hubungan antara Islam dengan kebudayaan lokal di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Dengan nada sinis, Naipaul, antara lain, mengatakan,
Islam is in its origins an Arab religion. Everyone not an Arab who is a Muslim is a convert. Islam is not simply a matter of conscience or private belief. It makes imperial demands. A convert's world view alters. His holy places are in Arab lands; his sacred language is Arabic. His idea of history alters The convert has to turn away from everything that is his. (Cetak tebal dari saya-UAA)
Saya kira, Naipaul di sini sedang berbicara mengenai apa yang tadi saya sebut sebagai "efek ikonoklastik" Islam terhadap unsur- unsur lokal. Kehadiran Islam dalam konteks kultur lokal, dalam pandangan Naipaul, akan mempunyai dampak penghancuran terhadap yang terakhir itu. Seandainya statement Naipaul ini bisa dibenarkan dalam konteks masyarakat Islam di luar Jawa atau Indonesia, untuk konteks Jawa di mana kita berbicara mengenai Serat Centhini, pernyataan semacam itu jelas tidak bisa dibenarkan. Membaca Serat Centhini, kita mendapat kesan bahwa boro-boro Islam ingin menggantikan pandangan dunia orang Jawa, tempat-tempat suci serta bahasa mereka, seperti tercermin dalam pengamatan Naipaul itu. Agama "baru" ini bahkan tidak bisa mengusir sejumlah mitos dan semacam "paganisme" dalam masyarakat Jawa yang sudah mengakar sejak berabad-abad di sana, seperti kita lihat dalam jenis-jenis ngelmu yang dipelajari oleh ketiga putra- putri Giri di atas.

TUMPUKAN
Marilah kita lihat, bagaimana penggubah Serat Centhini ini "menyandingkan" dengan rileks dan tanpa beban antara "ortodoksi" Islam dengan unsur-unsur yang paganistis. Dalam Kinanthi ke-23, bait 31-27, misalnya, dikisahkan sebagai berikut (saya kutip dari naskah Serat Centhini yang telah disadur dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, 1991).
"Fajar telah menyingsing, mereka (maksudnya: Jayengresmi dan kedua santrinya, Gathak dan Gathuk) mengambil air wudhu, lalu sembahyang subuh. Setelah selesai sembahyang, mereka pergi dari Sugihwaras, tiba di kaki Gunung Pandhan. Mereka mendakinya dan tibalah mereka di Desa Kedhaton. Mereka menyeberangi sungai yang mengalir ke selatan, airnya sangat jernih lagi bening. Di sana mereka melihat tulang-tulang besar berserakan banyak sekali. Jayengresmi berjalan terus hingga sampai di kaki Gunung Gambiralaya. Tiba di atas mereka melihat pertapaan yang dikelilingi tanggul ditanami bunga mawar yang harum semerbak. Di luar pematang jalan sebelah tenggara terdapat arca batu hitam, sikapnya seperti lelaki memangku alat kelaminnya. Arca tersebut telah pisah dengan tubuhnya. (Alat kelaminnya) hanya sebesar pohon pinang. Gathak Gathuk tertawa terbahak-bahak (ketika melihatnya), karena melebihi kepunyaan arca Ki Gaprang, kalah panjang dan besar."
Kisah selanjutnya kemudian diikuti dengan pertemuan ketiga orang itu dengan seorang lurah yang bernama Ki Padhang yang menjelaskan mengenai beberapa pemandangan yang mereka lihat di Gunung Gambiralaya itu. Pola pengkisahan dalam serat ini boleh dikatakan mengikuti sebuah "formula naratif" seperti yang tercermin dalam penggalan yang saya kutip itu: mereka berjalan, lalu istirahat, menunaikan shalat, dan kemudian berjalan kembali, dan berjumpa dengan sejumlah tempat keramat, guru, dan mitos-mitos Jawa kuna. Yang menarik di sini adalah bahwa ritual shalat diulang-ulang dalam setiap narasi, seolah ingin menunjukkan bahwa pelaku-pelaku dalam kisah ini adalah orang-orang yang secara agama adalah taat, dan boleh jadi masuk dalam kategori "santri" dalam pengertian yang lebih longgar dari yang didefinisikan oleh Geertz. Identitas kesantrian dan kejawaan bersanding tanpa ada soal yang merisaukan.
Dan, saya kira, inilah pengertian pokok dari "sinkretisme": penjejeran dua gagasan kebudayaan tanpa mempersoalkan "kontradiksi" dan "koherensi logis" dari keduanya, karena paksaan-paksaan yang sifatnya pragmatis. Sinkretisme mirip sebuah "montase budaya" yang kita lihat dalam produk-produk kebudayaan pop sekarang ini, dengan perbedaan pokok bahwa pada yang terakhir ini "motif praktis" yang dominan adalah kepentingan pasar dan konsumerisme. Sementara pada sinkretisme, tampaknya motif pokok di sana adalah semacam "dorongan subsisten" dalam masyarakat Jawa. Yang saya maksud adalah dorongan agar tetap bertahan "hidup" ketika ada "serbuan" unsur-unsur baru yang membawa "pandangan dunia" yang lain.
Jika Serat Centhini kita jadikan sandaran penilaian, maka suatu kesimpulan sementara yang bisa kita katakan mengenai Islam dan Jawa adalah bahwa agama itu hanyalah "menambahkan" sejumlah hal baru pada struktur pandangan dunia yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, tak ada yang dibuang dari khazanah lama, dan unsur-unsur baru yang datang belakangan juga tidak diandaikan akan "menggantikan" yang lama.
Jika kita melihat struktur pandangan orang Jawa melalui "optik" Serat Centhini, kelihatan sekali bahwa di sana terdapat "tumpukan" sejumlah unsur-unsur kebudayaan satu di atas yang lainnya, dan membentuk lapisan-lapisan yang tak saling berkaitan. Masing-masing lapisan tidak mengandaikan sebagai terusan dari yang lain dalam suatu bentuk "kontinuitas budaya". Juga tidak mengandaikan adanya semacam "diskontinuitas budaya", di mana lapisan yang satu dianggap mengakhiri lapisan sebelumnya. Artinya, dalam hal ini kita tidak bisa berbicara mengenai "arkeologi" kebudayaan Jawa, setidak-tidaknya jika kita mengandaikan Serat Centhini sebagai dasar studi. Sebab, dalam suatu arkeologi, diandaikan adanya semacam "retakan-retakan" yang memutuskan lapisan-lapisan kebudayaan satu dari yang lainnya, dan masing-masing lapisan merupakan consummation atau penyempurnaan dari yang sebelumnya.
Pengamatan ini memang bernada generalistis, dan sangat spekulatif. Tetapi, jika kita melihat Serat Centhini, maka kesan- kesan seperti yang saya kemukakan itu memang amat kuat sekali.

PASCA-CENTHINI: JAWA "BARU" ?

Bagaimana orang-orang Jawa pada periode-katakan saja-"pasca- eenthini" memahami hubungan antara Islam dan kejawaan? Adakah perubahan yang mendasar dalam pandangan-pandangan yang sebelumnya bernada sinkretis itu? Sebuah kesaksian kontemporer dari keluarga Jawa sebagaimana dituturkan oleh Hersri saya kira layak dikutip di sini (saya ambil dari tulisan Hersri Between the Bars yang dimuat dalam buku Silenced Voices suntingan John H McGlynn yang terbit baru-baru ini). Cerita Hersri ini saya kira mewakili semacam corak yang umum dalam keluarga Jawa dari kelas bawah. Cerita ini terjadi di tahun 1947/1948.
Hersri adalah orang yang tumbuh dalam keluarga abangan dan tidak mengenal "kesetiaan" yang fanatik terhadap agama-agama resmi. Sikap yang longgar ini tercermin dalam jawabannya ketika suatu ketika ia ditanya oleh gurunya di kelas, "Apa agamamu?" Ia kebingungan, karena di rumah tidak pernah memperoleh pengajaran mengenai kesetiaan yang eksklusif terhadap agama tertentu. Kakaknya yang sulung dikirim oleh ayahnya ke Sekolah Katolik di Muntilan, bukan dengan kesadaran mendalam agar anaknya belajar agama itu. Tetapi, Sekolah Katolik di daerahnya lebih menerapkan disiplin yang keras ketimbang sekolah lain, sehingga dengan demikian ayahnya berharap agar kakaknya yang ndablek itu bisa dijinakkan. Kakaknya yang lain belajar di Sekolah Taman Siswa. Sementara kakaknya yang nomor tiga dikirim ke Sekolah Muhammadiyah, juga bukan dengan alasan agar belajar Islam dengan baik, tetapi karena kakaknya yang satu ini tidak diterima baik di sekolah umum atau Protestan. Bapaknya sendiri selalu berkata bahwa semua agama adalah baik, dan sering ikut dalam acara selamatan desa yang biasanya juga menggunakan sejumlah ritual Islam (seperti tahlil, misalnya). Tetapi ia tidak pernah menjadi Muslim. Terhadap pertanyaan yang membingungkan dari gurunya itu, Hersri akhirnya menjawab, "Saya mengikuti semua agama yang ada." Seluruh murid di kelasnya tertawa.
Apakah ini cerminan dari sinkretisme seperti yang disebut di muka? Boleh jadi. Tetapi sikap permisif secara "teologis" ini lama- lama makin pudar, karena proses yang lain juga sedang berlangsung, yaitu apa yang sering disebut sebagai "santri-isasi" orang Jawa. Saya pernah mendengar cerita seorang jemaat Gereja Kristen di kawasan Pulo Mas mengenai proses "baru" yang sedang berlangsung dalam masyarakat Jawa itu. Dahulu, cerita si jemaat ini, jika ada jenazah di desanya (di Madiun), sudah menjadi adat yang lazim bahwa seluruh warga desa dari agama apa pun akan mengurusnya. Sekarang, setelah sejumlah fatwa MUI dikeluarkan mengenai larangan orang Islam terlibat dalam ritual agama lain (termasuk seremoni kematian, tentunya), pelan-pelan orang makin sadar akan "identitasnya" sebagai orang Muslim atau Kristen atau yang lain. Orang Jawa makin menyadari bahwa ada gejala lain yang muncul ke permukaan: gejala untuk menganggap sikap "permisif" secara teologis sebagai hal yang tidak lagi wajar.
Proses ini, tampaknya sudah berlangsung sejak lama, meskipun resonansinya baru tampak dengan "keras" akhir-akhir ini. GWJ Drewes (dalam artikel berjudul Indonesia: Mysticism and Activism, yang dimuat dalam buku suntingan Gustave von Grunebaum, Unity and Variety in Muslim Civilization, [1955]), pernah mengemukakan pengamatannya di tahun 50-an mengenai proses Islamisasi di tanah Jawa. Ia mengatakan bahwa,
[T]he Islamization of Indonesia is still in progress, not only in the sense that Islam is still spreading among pagan tribes, but also in that peoples who went over to Islam centuries ago are living up more and more to the standard of Muslim orthodoxy.
Kecenderungan yang kita lihat akhir-akhir ini tampaknya memang makin cenderung membenarkan apa yang dikatakan oleh Drewes itu. Tetapi semacam caveat tetap harus dikemukakan di sini. Jika kecenderungan makin "ortodoks" di kalangan masyarakat Jawa seperti dikemukakan oleh Drewes itu benar-benar terjadi, maka harus pula dipertimbangkan kenyataan bahwa dalam pemilu tahun lalu, partai- partai Islam mengalami kekalahan yang dramatis. PDI-P yang mempunyai basis luas di kalangan masyarakat Jawa yang abangan, memperoleh suara yang besar.
Apakah yang bisa kita simpulkan dari perkembangan baru ini? Tampaknya memang Jawa-Serat-Centhini belum menunjukkan tanda-tanda kepudaran, bahkan mungkin semacam resiliensi baru mulai dikembangkan. Meskipun perkembangan-perkembangan baru yang menuju ke arah Jawa-pasca-Centhini juga mulai memperlihatkan gejalanya. Dalam pemilu yang terakhir, kontestasi antara kedua Jawa ini kita lihat dalam kontroversi mengenai pemilihan Megawati sebagai calon Presiden.

* Ulil Abshar-Abdalla, Ketua Lakpesdam-NU, Jakarta.



SERAT CENTHINI LATIN; Menggabungkan Mistik dan Syariat

Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. 29/05/2008 08:46:31 YOGYA (KR) - Kedatangan Islam di Jawa bukanlah di daerah Pagan, melainkan ke dalam masyarakat yang penuh tradisi Hindu Budha dan kepercayaan-kepercayaan lain yang telah tertanam berabad sebelumnya, kenyataan ini memaksa Islam untuk bisa menyesuaikan diri dengan tradisi dan kepercayaan Jawa yang sudah ada. Terjadilah saling serap, saling pengaruh antara keduanya, sehingga muncul kelompok-kelompok komunitas Jawa yang beragam. Hal tersebut disampaikan Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Drs H Fauzan Naif MA saat mempresentasikan disertasinya untuk memperoleh gelar Doktor Bidang Ilmu Agama dalam promosi Program Pascasarjana (PPs) UIN Sunan Kalijaga, Selasa (27/5). Disertasi yang berjudul Ahli Syariat dan Ahli Mistik dalam Tradisi Jawa (Telaah atas Serat Centhini Latin) ini dipertahankan di hadapan Promotor Prof Dr Marsono dan Dr Hj Alef Theria Wasim MA serta Tim Penguji yang terdiri Prof Dr Hj Chamamah Soeratno, Prof Dr H Syamsul Anwar MA, Dr H Abdurrahman dan Prof Dr H Djam'annuri MA. Sidang promosi dipimpin Rektor UIN Prof Dr HM Amin Abdullah. Dalam promosi ini, Fauzan meraih predikat sangat memuaskan dan tercatat menjadi Doktor ke-178 PPs UIN. Kelompok-kelompok itu, jelas Fauzan Naif, ada yang menerima perpaduan Islam Jawa (komunitas abangan), komunitas yang ingin mempertahankan kemurnian Islam (ahli syariat) dan kelompok yang menempuh jalan mistik dengan menggabungkan mistik Islam dengan mistik Jawa (ahli mistik). Menurut Fauzan, hubungan, pergumulan, gesekan dan ketegangan antara Islam murni (Islam Syariat) dengan kepercayaan mistik Jawa telah menjadi tema sentral dalam khasanah, budaya dan sastra Jawa. Sebut saja kisah kasus Syekh Siti Jenar dan Pangeran Panggung. Sementara karya sastra Jawa yang berisi tema sentral di atas antara lain Darmogandhul, Serat Cibolek dan Serat Centhini yang ia teliti. Serat Centhini sendiri memiliki banyak ragam yakni Suluk Tembangraras, Serat Canthini Purwadiningratan, Serat Centhini Kusumadiningratan, Serat Centhini Amongraga, Serat Centhini Latin dan sebagainya. (Obi)-k Fauzan sendiri meneliti Serat Centhini Latin, yang menurutnya, merupakan karya sastra Jawa yang monumental dan spektakuler dilihat dari ketebalan halaman (12 jilid) dan aneka ragam isinya, sehingga ada yang menyebutnya sebagai ensiklopedi kebudayaan Jawa. Serat Centhini Latin, mengambil figur penghulu sebagai ahli syariat dan figur Syekh Amongraga sebagai ahli mistik. Ahli syariat juga digambarkan dalam serat ini, sebagai diri Sultan Agung. Promovendus berhasil memberikan kritik dan koreksi terhadap hasil-hasil penelitian atas Serat Centhini yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian yang dilakukan Pigeaud dan Drewes menyatakan, Serat Centhini lebih mengutamakan mistik. Sedangkan, S Soebardi menilai, Serat Centhini menekankan pentingnya syariat. Namun, Fauzan berpendapat, Serat Centhini Latin mementingkan kedua-duanya, baik syariat maupun mistik. Kesimpulan itu, ditegaskan dengan diakhirinya Serat Centhini Latin dengan kisah manunggalnya Syekh Amongraga sebagai figur ahli mistik dengan diri Sultan Agung sebagai figur ahli syariat, yang bisa diartikan, mistik (wiji nugraha) bersatu di dalam syariat(wadhah sakalir). Jadi, keduanya sama-sama penting tak terpisahkan dan ini merupakan model hubungan antara syariat dan mistik, yang menggabungkan keduanya dalam kerangka tunggal. (Obi)

Selasa, 20 April 2010

Tebaran Seks dari Gatoloco hingga Lady Chatterley’s Lover

oleh Asep Sambodja

Seks adalah persoalan yang purba. Adam dan Hawa, manusia pertama di dunia, dikeluarkan dari surga penyebab utamanya adalah persoalan seks. Buah kuldi yang dilarang Tuhan untuk dimakan Adam, kalau merujuk Alquran surat Al A’raaf (’tempat tertinggi’) ayat 19-22, tidak lain yang dimaksud "buah kuldi" adalah sesuatu yang berhubungan dengan aurat, seks. Dan Adam memakan buah kuldi itu karena bujukan setan. Sampai sekarang pun persoalan seks terus bertebaran, hingga ke karya sastra.
Dalam bukunya Khazanah Sastra Indonesia, A Teeuw menempatkan sastra sebagai jalur keempat ke kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Sastra ditempatkan Teeuw pada posisi yang relatif terhormat karena di dalamnya mengandung nilai dan di antaranya merupakan cerminan masyarakat sejamannya yang bisa dijadikan hikmah.
Dalam kaitannya dengan persoalan seks, baik dalam sastra daerah, sastra Indonesia, maupun sastra dunia, pembicaraan seputar perkelaminan itu merupakan suatu ketelanjuran. Gatoloco, Centini, Pengakuan Pariyem, Madame Bovary, dan Lady Chatterley’s Lover adalah sejumlah contoh betapa persoalan seks sudah merambah karya sastra sejak lama. Dalam buku Seks, Sastra, Kita, Goenawan Mohamad sampai pada kesimpulan bahwa persoalan karya sastra bukan pada ada tidaknya seks pada karya sastra, melainkan wajar tidaknya kehadiran seks dalam pengucapan literer.
Gatoloco sesungguhnya bukanlah karya sastra yang bermutu tinggi semacam Mahabarata dan Ramayana. Ia sering dibicarakan karena dua hal, yakni karena adanya ajaran mistik Jawa dan perkara seks yang tersusun secara vulgar. Peredarannya yang sangat terbatas di lingkungan keraton Jawa yang homogen menyebabkan kelahiran Gatoloco dan juga Darmogandul serta Centini tidak menimbulkan ketegangan di masyarakat sekitarnya, yang saat itu belum begitu melek huruf.

Ini berbeda dengan kelahiran Lady Chatterley’s Lover karya DH Lawrence, Ullyses karya James Joyce, Madame Bovary karya Gustave Flaubert, dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag yang sempat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat yang sudah melek huruf dan memperlakukan persoalan kesusilaan dengan ketat, di negara masing-masing. Karya sastra lainnya yang sering menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat pembacanya adalah karya sastra yang menyinggung persoalan agama dan politik, dan terlalu banyak contohnya, seperti Satanic Verses Salman Rushdie, Langit Makin Mendung Ki Panjikusmin, dan Bumi Manusia, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer.
A Sudewa, dalam tulisannya "Wanita Jawa: Antara Tradisi dan Transformasi" (yang dihimpun dalam Citra Wanita Jawa dan Kekuasaan Jawa karya Budi Santoso), menyebutkan Serat Gatholoco berisi perdebatan ajaran tasawuf, berisi dialog antara guru laki-laki dengan murid perempuan dengan menggunakan kata-kata yang kasar dan terkadang jorok. Sang guru bernama Gatoloco, yang berarti alat kelamin laki-laki. Sedangkan sang murid bernama Perjiwati, yang berarti alat kelamin perempuan.
Sementara dalam Bakat Alam dan Intelektualisme, Subagio Sastrowardoyo menyebutkan Gatoloco sebagai sastra Jawa yang berisi ajaran mistik Islam Jawa yang tergolong klasik. Mistik dalam karangan itu diuraikan melalui simbol seksual. Buku tersebut merupakan karya sastra yang mengandung pengalaman erotik dengan uraian plastis sampai kepada kejadian yang sekecil-kecilnya. Gatoloco, Centini, dan Darmogandul diistilahkan Subagio Sastrowardoyo sebagai ensiklopedi kebudayaan Jawa yang mengetengahkan berbagai kehidupan sosial, moral, dan agama dalam masyarakat Jawa, melukiskan adegan persetubuhan dan perlambangan perkelaminan dengan sangat nyata dan hidup.
Gatoloco secara ekstrim sekali menggambarkan proses persetubuhan. Gatoloco yang menjadi tokoh utama di dalam karya mistik itu adalah personifikasi dari asas kelelakian. Ia dirupakan sebagai laki-laki buruk wajah dan bentuknya, tubuhnya kerdil, kulitnya seperti sisik, tidak bermata, tidak berhidung, dan tidak berkuping. Gatoloco selalu ditemani oleh bujangnya yang bernama Darmogandul. Dari nama dan segala simbolik di sekitar kedua tokoh ini tersarankan kepada pembaca bahwa yang digambarkan adalah bentuk alat kelamin laki-laki.
Gatoloco dan Darmogandul mengembara beberapa lama sambil berdebat mengenai filsafat dan mistik dengan ahli-ahli agama. Mereka akhirnya bertemu dengan putri Perjiwati yang tinggal di gua Terusan. Dari perlambangan dan lukisan telah kentara pula bahwa tokoh perempuan ini adalah personifikasi dari asas perempuan. Dalam satu adegan dilukiskan bagaimana Gatoloco berhasil memasuki gua tersebut untuk menjemput Perjiwati, yang diuraikan dengan plastis dan detil, terkadang cenderung menjadi kasar di sana-sini tentang proses persetubuhan.
Sementara dalam Serat Centhini bertebaran pula adegan-adegan erotik yang menimbulkan nafsu birahi. Sunan Pakubuana V atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, yang memprakarsai lahirnya Serat Centhini, sempat kecewa pada ketiga pujangga yang menulis Serat Centhini, yakni Kyai Ngabehi Ranggasutrasna, Kyai Ngabehi Yasadipura II, dan Kyai Ngabehi Sastradipura. Alasannya sederhana, ketiga pujangga keraton itu tidak jelas mengungkap masalah senggama atau tulisan semacam Kamasutra, sebuah karya India yang menggarap persoalan seks secara serius. Sunan Pakubuana V pun kemudian mengambil alih penulisan Serat Centhini yang berjilid-jilid itu. Mulai Jilid 5-10 pun kemudian bertebaran adegan erotik karya Sunan Pakubuana V secara jelas dan tuntas. Adegan ini dapat ditemui pula dalam Suluk Tambanglaras karya Sumahatmaka.
Dalam khasanah sastra Indonesia pun, terutama dalam Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag, juga bertebaran adegan seks antara Pariyem dengan Raden Bagus Ario Atmojo dan antara Pariyem dengan pacar pertama dan teman sekampungnya, Sokidi Kliwon.
Ada 24 halaman dari 192 halaman cerita Pengakuan Pariyem yang berbicara tentang seks. Dan itu dituturkan secara blokosuto atau apa adanya. Salah satu adegan percintaan antara Pariyem dengan Raden Ario Atmojo itu seperti ini:
//"Lha, Den Bagus Ario Atmojo, betapa sering dia kumat manjanya. Wah, wah, kalau sudah begini, saya dibikin setengah mati. Lha, sudah gede kok suka merengek, kayak bocah kehilangan bonekanya. Apalagi kalau saya goda, besok saja ah, besok saja, saya sedang capek kok. Tapi saya juga pasang gaya: melepas setagen berganti kain, copot kebaya ganti yang lain.
Wuah-wuah, dia pasti terus merajuk. Tidak jarang dia pun ngamuk-ngamuk. Bilangnya, dia tresna banget sama saya. O allah Gusti nyuwun ngapura. O, saya tahu itu omongan gombal. Tapi biarpun gombal saya senang. Apabila seorang pria naik birahi, tingkah lakunya penuh emosi. Tingkah lakunya tak berbeda, sama dengan binatang piaraannya. Otaknya macet, nalarnya buntet, dan perasaannya terbakar.
Demikian pun Den Bagus Ario Atmojo. Saya dibopongnya, diambunginya. Saya sibaringkan di atas amben, tempat tidur saya bila malam, tempat ngaso saya bila siang. Dalam keriat-keriut diseling sunyi, saya digulatinya habis-habisan. Tak malam, tak siang, tak sore, waktu habis di atas bale-bale. Dalam dahaga saya reguk air murni, jagad merasuk ke dalam sanubari. Oh ampun ya ampun! Anunya gede banget lho. Saya marem meladeninya.//
Komentar Subagio Sastrowardoyo atas Pengakuan Pariyem yang dimuat di majalah Tempo menunjukkan sikap yang bisa menerima atas kehadiran buku tersebut, yang memang sempat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat pembaca pada awal kemunculannya. Dalam pandangannya, Subagio menilai Maria Magdalena Pariyem berbeda dengan Maria Magdalena di dalam Kitab Injil yang sadar akan dosanya. Maria Magdalena Pariyem dari Gunung Kidul, Yogyakarta, ini tidak mengenal dosa. Dia tidak merasa terikat kepada dogma-dogma agama dan membenarkan naluri-naluri alam. Kehidupan mengalir dengan wajar dan tidak ada penyesalan-penyesalan yang menggoda batinnya. Pariyem lebih dekat kepada kejawaannya daripada kepada agama Katoliknya, seperti yang terucap dalam pengakuannya, "Bila dia itu orang Jawa tulen, tak usah merasa perlu ditanya — perkara dosa."
Kehidupan seks Pariyem yang dibentangkan dalam buku ini tanpa disidhem dan didekam, juga sekadar mengikuti aliran alam yang tidak terhambat oleh cuaca batin yang gelap. "Saya mau mengalir saja, saya krasan ada di dalamnya." Dia tidak gusar ketika hilang keperawanannya oleh teman sekampungnya, Sokidi Kliwon. Juga kemudian setelah menjadi babu (pembantu) di Yogya, ia melayani kebutuhan bermain cinta putra majikannya dengan lega lila (ikhlas) pula. Bahkan setelah hubungan itu membuahkan anak, ia rela menerima keturunan itu, dan tidak menjadi soal baginya apakah ia akan dinikahi atau tidak.
Dalam bukunya Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan: Seberkas Catatan Sastra, Subagio Sastrowardoyo yang menyoroti moralitas dalam kesusastraan mengatakan, moralitas dalam sastra dinilai dari dasar pertimbangan seberapa jauhnya kandungan karya sastra memenuhi ataupun melanggar tanggapan masyarakat pada umumnya mengenai kepatutan hidup yang disebut kesusilaan.
Dalam sejarah kesusastraan dunia, beberapa karangan yang kemudian terkenal sebagai karya sastra yang besar artinya bagi perkembangan sastra pada suatu waktu pernah mengalami pelarangan di suatu negara. Ullyses karya James Joyce pernah dilarang beredar di Amerika Serikat, Lady Chatterley’s Lover karya DH Lawrence pun pernah dilarang beredar di Inggris dengan alasan bahwa roman-roman itu terlalu terbuka mengetengahkan hubungan seks. Terutama pada bagian yang menguraikan pertemuan-pertemuan Lady Chatterley dengan bujang (pembantu) pemelihara binatang piaraannya di sebuah gubuk, karena adanya dorongan perasaan Lady Chatterley yang tidak puas hidup dengan suaminya. Hanya saja, setelah Amerika dan Inggris dikuasai kelas menengah yang tidak konservatif, maka kedua karya tersebut dapat beredar kembali.
A Teeuw dalam Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, yang menggunakan pendekatan teori resepsi, melihat adanya pergeseran norma sosio-budaya dalam pelarangan buku Lady Chatterley’s Lover. Dalam sejarah sastra Inggris, buku DH Lawrence Lady Chatterley’s Lover yang bentuk aslinya dianggap melanggar tata susila, sehingga mau tak mau buku itu harus diubah, dibersihkan, supaya penulisnya dapat luput dari hukuman penjara. Jauh kemudian bentuk asli baru memungkinkan diterbitkan tanpa bahaya. Jelaslah kasus semacam itu sangat menarik dari segi resepsi sastra dalam masyarakat: karya yang pada masa tertentu dianggap melanggar tata susila dan berbahaya, beberapa puluh tahun kemudian ternyata dapat diterima, setidaknya tidak dapat diadili lagi, karena perubahan norma susila yang menjadi lebih longgar.
Persoalan seks akan menjadi sesuatu yang lazim dalam sejarah manusia sejak awalnya hingga akhirnya. Bahkan Tuhan pun tidak pernah mengajarkan hal itu pada Adam sebelumnya, selain mengajarinya nama-nama pohon dan binatang. Namun tidak perlu ada mata pelajaran atau kuliah khusus untuk mengerti dan memahami soal seks, yang bisa membawa persoalan yang berbeda-beda dalam masyarakat heterogen.

SASTRA KARATON DAN UPAYA KONTROL PENGUASA

Karaton sebagai sumber budaya Jawa memiliki hasil seni sastra yang tersimpan di sasana pustaka. Sasana pustaka merupakan perpustakaan karaton yang menyimpan sebagian besar hasil seni sastra karaton. Perpustakaan ini didirikan oleh Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwono X pada tanggal 20 Januari 1920. Letak perpustakaan ini ada disebelah selatan Sasanasewaka, berdekatan dengan sasana Handrawina yang sekarang sedang dibangun. Didalamnya tersimpan buku hasil seni sastra, buku, majalah, dan bahan terbitan antara lain :

Naskah manuskrip (tulisan tangan atau carik) sebanyak 726 naskah yang sekarang sudah tersimpan dalam bentuk mikro film
b. Buku cetak huruf Jawa sebanyak 2000 buku.
c. Buku yang berbahasa Belanda sebanyak 1000 buku
d. Buku-buku terbitan Balai Pustaka sebanyak 1100 buku
e. Buku-buku dari berbagai instansi sebanyak 600 buku
f. Kurang lebih 200 majalah dan koran lama (sebelum kemerdekaan Republik Indonesia)
Khusus mengenai naskah manuskrip sebanyak 726 buah seluruhnya sudah disusun dalam bentuk katalog oleh dua orang. Kedua orang itu yaitu (1) Nikolous Girandet dari Universitas Heidelberg Jerman dan (2) Nancy K. Florida dari Ford Foundation Amerika Serikat. Dari kedua katalog itu dapat diperoleh gambaran ringkas mengenai isi naskah. Berdasarkan isinya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a Babad atau sejarah.
b.Tatacara dan upacara
c.Keris
d.Pedalangan dan wayang
e Ilmu bahasa/paramasastra
f.Mistik Jawa
g. Perbintangan atau astronomi
h.Mistik dan tari
i. Islam dalam sejarah perkembangannya

Berdasarkan jumlah dan koleksi buku perpustakaan sasana pustaka termasuk perpustakaan lama yang besar. Perpustakaan sebagai sumber inspirasi cukup menyimpan bahan yang melimpah. Bahan yang melimpah ini untuk pemakaiannya ada kendala yaitu kendala mengenai bahasa dan tulisan. Sebagian bahasanya tertulis dalam huruf Jawa dan tentunya juga terungkap dalam bahasa.
Untuk mengatasi kendala itu perlu ditempuh adanya usaha transkripsi dan terjemahan. Dengan usaha ini fungsi Sasana Pustaka sebagai sumber informasi dan sumber inspirasi dapat diwujudkan. Demi kelancaraan usaha ini perlu juga adanya peningkatan pengelolaan. Sebab perpustakaan dengan banyak buku harus seimbang dengan jumlah pengelolanya.

SASTRA JAWA DULU DAN KINI
Perkembangan satra Jawa pada abad ke-18 dan ke-19 sering disebut sebagai “renaisans sastra klasik” (maksudnya: sastra Jawa Kuno). Sebutan “renaisans” dalam penelitian-penelitian mutahir ditolak, jika yang dimaksudkan dengan “renaisans” itu adalah munculnya kegairahan dan kegiatan baru untuk mengkaji sastra Jawa Kuno. Yang terjadi adalah penggubahan karya-karya sastra Jawa Kuno yang bermantra kakawin menjadi karya-karya sastra Jawa yang bermantra macapat (tembang macapat)
Hal ini menjadi jelas dalam kasus Serat Wiwaha Jarwa (Serat Mintaraga), gubahan Paku Buwana III (1749-1788). Paku Buwana III tidak langsung bekerja degan teks Kawi (Jawa Kuno), tetapi mengubah teks prosa yang sudah menjadi Serat Wiwaha Jarwa yang bertempat macapat.
Sumber-sumber sastra yang dimanfaatkan di keraton Surakarta itu tampaknya berasal dari kegiatan sastra pada zaman Kartasura, khususnya kegiatan sastra yang justru dilakukan di luar karaton, yakni padepokan-padepokan di wilayah Merapi-Merbabu.
Khasanah sastra zaman Kartasura ini kemudian diwarisi oleh para pujangga dan literati Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta saat terjadinya pembagian kerajaan itu.

Abad Baru
Serat Wiwaha Jarwa gubahan Paku Buwono III mulai di tulis pada tahun 1704 Jawa (1778 Masehi) atau pada awal “abad baru” menurut kalender Jawa.
Ada kepercayaan bahwa pada setiap abad baru akan muncul. Jika demikian dapatlah ditafsirkan bahwa pengubaha Serat Wiwaha Jarwa merupakan imbangan terhadap penciptaan Serat Suryaraja, yang ditulis oleh Putra Mahkota (kelak: Hamengku Buwono II) di Keraton Yogyakarta pada tahun 1700 Jawa (1774 masehi). Disitu tampak adanya kompetisi legitimasi Surakarta ataukah Yogyakarta yang merupakan “Keraton baru” yang sah menggantikan keraton kartasura.
Dengan menggubah serat wiwaha jarwa, paku buwana III menampilkan diri sebagai “raja” sekaligus “pendeta” atau “raja” sekaligus “pujangga”. Tugas seorang pujangga adalah menulis dalam rangka legitimasi kedudukan sang raja.
Srat wiwaha jarwa memuat kisah Arjuna yang bertapa berhasil menaklukan Niwatakawaca dan memperoleh pahala dari kahyangan. Disini legitimasi kerajaan dihubungkan dengan Arjuna, yang dianggap sebagai leluhur raja-raja Jawa.
Serat Suryaraja mengambil bentuk babad yang memuat kisah Keraton Yogyakarta dengan menyamarkan tokoh-tokohnya menjadi tokoh-tokoh mistis. Didalamnya dapat dilacak bagaimana Keraton Yogyakarta menghadapi masalah-masalah dalam menyongsong “abad baru”.
Putra mahkota (kelak: Hamengku Buwono II) ini juga kiranya penulis Babad Mangkubumi, yang mengisahkan masa pemerintahan Mangkubumi (Hamengku Buwono I) sesudah pembagian kerajaan pada tahun 1755.
Bagian pertama yang merupakan bagian terbesar dari babad ini, selesai ditulis pada tahun 1773. Bagian kedua ditambahkan sesudah wafatnya Sultan Mangkubumi dan putra mahkotanya, sangat keras mengritik. Mangkunegoro, tidak mengacuhkan Paku Buwono III, dan melawan Paku Buwono IV.
Penulisan babad yang penting juga di keraton Yogyakarta adalah penulisan Babad Keraton oleh Raden Tumenggung Jayengrat pada tahun 1703 Jawa (1777 Masehi). Babad ini memuat kisah dari Adam sampai jatuhnya keraton Kartasura. Semula babad ini berakhir dengan berdirinya keraton Kartasura, kemudian dilanjutklan dengan jatuhnya keraton itu. Dengan jatuhnya keraton Kartasura, maka karaton Yogyakarta merupakan karatopn baru pada awal abad baru, yang merupakan pengpengganti langsung dan sah dari karaton Kartasura.
Melihat dari kisahnya, bisa dikatakan Babad Keraton bersifat memandang ke belakang. Ini berbeda dengan serat Suryaraja yang bersifat profetis dan memandang ke masa depan.

Yosodipuro
Beberapa waktu kemudian pada pergantian abad ke-18-19 dilingkungan keraton Surakarta, tampil pujangga Raden Ngabehi Yosodipuro I (1792-1803). Banyak karya sastra disebut-sebut sebagai gubahan atau tulisan Yosodipuro I. Namun, penelitian Ricklefs akhir-akhir ini menyimpulkan bahwa sekurang-kurangnya ada enam karya harus diragukan atau ditolak sebagai karya Yosodipuro I, yakni Tajusalatin, menak, Iskandar, Sewaka, Arjunawiwaha jarwa, dan Cebolek.
Yosodipuro I inilah yang menggubah kakawin-kakawin lama menjadi karya-karya bertembang macapat. Umpamanya: serat serat rama (dari kakawin ramayana), serat Bharatayuda (dari kakawin Bharatayuddha), dan serat Arjuna sasrabahu (diperbaharui oleh Yosodipuro II; dari Kakawin Arjunawijaya). Mengingat kasus serat wiwwaha jarwa gubahan Paku buwono III, mungkin Yosodipuro I juga bekerja atas dasar terjemahan prosa yang telah ada, yang dibuat pada jaman Kartasura. Selain itu Yosodipuro I juga menggubah serat Dewaruci.
Serat rama memuat kisah rama yang bertempur melawan rahwana untuk memperoleh Sinta. Ajaran penting yang terdapat dalam serat rama adalah ajaran rama kepada wibisana tentang sikap dan perilaku seorang raja dalam memerintah rakyat. Ajaran itu dikenal dengan Asthabrata, delapan sikap dan perilaku seorang raja sesuai dengan watak dan perilaku delapan dewa.
Ajaran Asthabrata banyak dikaji, dikutip, dan digubah kembali, sehingga menghasilkan banyak versi, baik dalam bentuk tembang maupun prosa. Dalam pentas wayang kulit, ajaran ini juga dituturkan dalam berbagai konteks cerita, antara lain dalam lakon Makutharama.
Serat Bratayuda memuat kisah pertempuran Pandawa Korawa yang memperebutkan Kerajaan Hastina. Secara alegoris kisah ini membayangkan sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Suksesi kerap kali melibatkan perang saudara. Dalam upacara bersih desa dan upacara nyadran (mengirim doa untuk para leluhur dan mereka yang sudah meninggal) kerap kali dipentaskan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Bratayuda. Pembersihan Bumi dan penyucian dosa bagi mereka yang telah meninggal dikaitkan dengan gugurnya para pahlawan Bratayuda.
Serat Arjunasasrabahu memuat kisah kelahiran Rahwana dan saudara-saudaranya, serta pertempuran Rahwana melawan Arjunasasrabahu. Berkat salah paham atas teks Jawa kuna, kisah pertemuan Wisrawa-sukesi menimbulkan ngelemu sastra jendra, ilmu tentang hakikat terjadinya manusia yang dianggap rahasia.
Serat Dewaruci memuat kisah Bima yang atas perintah Drona mencari air suci (tirta perwira sari) dan akhirnya berjumpa dengan Dewaruci. Dalam wejangan Dewaruci kepada Bima termuat ajarang tentang hakikat diri manusia. Dalam pentaswayang kulit, Lakon Dewaruci kerap kali dianggap berpasnagan dengan lakon Mintaraga.
Lakon Dewarucci menampilkan pencarian manusia sampai menemukan dirinya yang sejati. Penemuan diri yang sejati ini merupakan modal untuk melaksanakan tugas ditengah masyarakat. Sedangkan lakon Mintaraga menampilkan usaha manusia untuk mendisiplinkan diri sehingga sanggup melaksanakan tugas membina kesejahteraan dunia (mamayu hayuning buwana).

“Babad Giyanti”
Yosodipuro I juga menulis babad yang penting, yakni Babad Giyanti. Babad ini tidak mencantumkan tanggal penulisannya, tetapi diperkirakan paling lambat sekitar 1803 babad itu telah selesai ditulis.
Yang menarik perhatian, dalam babad ini tampak Yosodipuro I mengagumi Sultan Mangkubumi dan menjadikannya tokoh utama. Ini tentu sesuatu yang istimewa karena Yosodipuro adalah pujangga keroton Surakarta, sementara Sultan Mangkubumi adalah raja Keraton Yogyakarta.
Perhatian terhadap babad di lingkungan Keraton Surakarta tampak dari munculnya babad pakepung dan babad tanah jawi. Babad pakepung mengisahkan krisis tahun 1790 di Surakarta. Babad ini tampaknya ditulis oleh Raden Ngabehi Yosodipuro II.
Babad Tanah Jawi mulai disusun pada pemerintahan Paku Buwono IV (1788-1820). Penyusunan babad ini mungkin berhubungan dengan usaha Paku Buwono IV untuk mengkukuhkan kedudukan dan kekuasaan sebagai raja.
Paku Buwono IV menuangkan ajarannya untuk anak-cucu, kerabat dan abdinya dalam Serat Wulangreh. Paku Buwono IV memang banyak menulis serat (ajaran), yang dapat ditafsirkan sebagai pedoman dan sarana kontrol perilaku di lingkunan istana.
Menarik mengkaji soal Pakubuwono IV ini, karena, darinyalah lahir penggagas utama Serat Centhini, yakni Pakubuwono V, penggantinya.