Senin, 19 April 2010

Enaknya Penelikungan Islam-Jawa

Pamomong, Suara Merdeka, Minggu, 8 September 2002

Oleh : Sucipto Hadi Purnomo

PERTEMUAN Islam dan Jawa secara stereotipe digambarkan berjalan amat damai dan mulus. Islam yang universal dan Jawa yang akomodatif dianggap sebagai pilar penyangga utamanya. Namun di sisi lain, Islam Jawa sering dituding sebagai penyimpangan dari Islam, bahkan sebagai Hindu atau Hindu-Budhha, sebagaimana anggapan kalangan muslim puritan dan banyak sejarawan-antropolog (kolonial). Benarkah relasi Islam-Jawa tampil dalam wajah dan wacana tunggal semacam itu?
Simaklah cerita setengah legendaris berkaitan dengan runtuhnya Majapahit, peralihan dari agama Hindu ke agama Islam, sebagaimana diungkap Zoetmulder dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1985). Dilukiskan, Sultan Demak merebut Keraton Majapahit dengan kekerasan, lalu melaporkan peristiwa itu kepada rapat Wali Sanga yang konon kabarnya merintis dan mempropagandakan agama baru itu. Menurut laporannya, ia menyerahkan keraton itu kepada para pengikutnya untuk dirampok dan atas perintahnya semua buku buda dibakar. Yang dimaksud adalah buku dari periode Hindu-Jawayang dianggap keramat.

Dengan tindakan yang radikal itu,tradisi dan agama "Buddha" kehilangan kesaktiannya. Sunan Bonang dan para wali lainnya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata, "Itu membuktikan kebijaksanaan mendalam dan akal sehat. Selama masih terdapat buku-buku yang menerangkan pandangan agama 'Buddha', orang-orang Jawa akan bertahan dalam paham kekafiran mereka, mungkin untuk seribu tahun lagi, dan mereka tak pernah diajak untuk ganti agama dengan mengikuti hukum Rasulullah, apalagi bertobat untuk menyerukan Nama Allah serta Muhammad Rasul-Nya."
Demikian kelamkah pertemuan Islam-Jawa pada masa awal perkembangannya? Zoetmulder buru-buru menyangsikan kebenaran cerita itu dan menyatakan kurang masuk akal bahwa rasa muak dan benci terhadap cara hidup dahulu beserta agamanya berakar dalam, pun di antara para penyebar agama Islam seperti digambarkan oleh cerita-cerita tersebut. "Andaikata pembakaran itu sungguh terjadi, itu pasti suatu kekecualian. Sentimen itu pasti tidak tersebar luas dan juga bukan gejala umum," tulis resi sastra Jawa kuno itu.
Mark R Woodward dalam buku Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (1999) mengemukakan, tidaklah tunggal sumber Islam Jawa, sehingga tidaklah mungkin membicarakan suatu bentuk penafsiran Jawa yang tunggal. Penafsiran-penafsiran Jawa mengenai Islam, setidaknya sejak abad ke-16, berpusat pada persoalan yang berhubungan dengan teologi, ritual, dan hubungan politik antara bentuk-bentuk mistik dan kesalehan normatif.
Sejarah Islam Jawa, lanjut Woodward, tidak sekadar soal konversi, tapi juga soal penegaran Islam sebagai agama kerajaan, suatu proses yang mengakibatkan penghancuran banyak kebudayaan Hindu-Buddha dan subordinasi ulama atas kekuasaan keraton.
Dia juga menyebutkan, proses formulasi kerajaan Islam menguasai kehidupan keagamaan di Jawa Tengah sangat kompleks. Setelah runtuhnya Majapahit, komunitas-komunitas kerahiban Hindu-Buddha dan tradisi-tradisi tekstual yang berhubungan dengan mereka [b]dihancurkan atau melarikan diri ke Bali. "Kendati beberapa kerajaan Hindu kecil masih bertahan di Jawa Timur hingga abad ke-18 (Pigeaud, 1967-1970:137), keraton dan bentuk literer kebudayaan Jawa lama telah dilenyapkan di Jawa Tengah sebelum berdirinya Mataram."
Senada dengan itu, dalam The Concept of Power in Javanese Culture (1986), G Moedjanto menyatakan Sultan Agung telah melakukan banyak hal untuk mengarahkan turun-naiknya Islam kerajaan yang berorientasi mis tik. Sejarawan dari Unnes Prof Abu Suud menyebut penggunaan gelar Sultan Ngabdurahman, Sayidin Panatagama sebagai bukti gejala akulturasi Islam-Jawa, sedangkan Moedjanto melihatnya sebagai upaya memantapkan mandat keagamaannya.
Penguasaan itu tampaknya baru disempurnakan pada masa pemerintahan Mangkurat I, yang menurut sumber-sumber Belanda kontemporer, memerintahkan eksekusi sekitar lima ribu hingga enam ribu ulama (Vlekee dalam Woordward, 1999:8
Masih dari khazanah sastra, memang tak bisa dimungkiri adanya sentimen negatif Jawa (?) terhadap Islam pada Serat Darmogandhul dan Serat Gatholoco. Berbagai terminologi khas Islam telah dimaknai secara membabi buta, bahkan amat melecehkan, pada kedua kitab tersebut. Istilah semacam Mekah, sarengat, dan dzalikal kitabu dipelesetkan sedemikian rupa ke dalam ungkapan yang amat seronok. Celakanya, Prof Dr HM Rasyidi mengintroduksi kedua kitab itu sebagai representasi kebatinan (Jawa) dalam bukunya, Islam dan Kebatinan (1967). Walhasil, pencitraan secara peyoratif atas relasi Jawa-Islam pun berlangsung .
Tak terbantahkan memang, kitab sastra yang amat berwibawa dari masa Surakarta, Wedhatama karya Mangkunegara IV, pun turut menegarkan tipikal model resepsi Jawa terhadap Islam. Nasihat agar mencontoh laku Panembahan Senapati ketimbang Kangjeng Nabi, bisa dianggap sebagai unggapan keengganan menerima Islam pada level kesalehan normatif.
Adapun pula karya yang bisa dianggap mampu menampilkan negosiasi antara Islam dan Jawa barangkali adalah Serat Cebolek dan Serat Centhini. Pada kedua karya sastra itu, antara kesalehan dan normatif dan kebatinan telah didialogkan secara simbolis.
Demikian jamakkah saling telikung antara Jawa dan Islam? "Kerinduan kepada status yang hierarkis yang disahkan oleh kebudayaan Jawa, telah menelikung peradaban Islam meski telikungan itu dinikmati oleh orang-orang Islam yang di-status-quo-kan," kata antropolog dari Undip Dr Mudjahirin Thohir.
Betapapun terdapat beberapa lubang yang tampak amat kelam pada relasi Islam dan Jawa, dalam perkembangannya Islam Jawa telah menjelma sebagai varian Islam. "Islam Jawa bukanlah penyimpangan dari Islam, melainkan merupakan varian Islam, sebagimana Islam India, Islam Syiria, dan Islam Maroko," tulis Woodward.
Karena itu, tak perlu heran jika pada pertunjukan ketoprak di daerah Pati dan sekitarnya, tokoh Sunan Kalijaga -sosok yang selalu hadir dengan pakaian serba hitam, bukan surban putih- amat diidolakan. "Dia sosok yang amat njawani. Biarpun Islam, Jawanya tidak pernah ditinggalkan. Tidak lantas kearab-araban. Dia sososk nasionalis yang tidak mengkasifikasikan umat dan wawasan kebudayaannya luas," kata Budiyono, sesepuh ketoprak Wahyu Budoyo dari Karang, Juwana, Pati yang amat kerap memerankan tokoh tersebut di atas panggung.
Tak berlebihan juga jika Clifford Geertz (1968) menyebut Sunan Kalijaga sebagai pahlawan kebudayaan Jawa yang meletakkan model varian islam Jawa yang sinkretik. Dia mengemukaan Sunan Kalijaga sebagai contoh ideal bagi Islam Jawa dan pengalaman konversinya sebagai dasar teorinya bahwa Mataram tak lebih dari "Majapahit yang diislamkan". Sayang, Woorward justru dengan gegabah memasukkan tokoh ini dalam deretan tokoh yang terjebak pada kesalehan normatif belaka.
Sunan Kalijaga boleh jadi amat diterima di lingkungan Islam Jawa, sebagai personifikasi negosiasi dan "saling mengisi". Dan, akan berkesan nyinyir komentar Mudjahirin Thohir terhadap pertemuan ini. "Agama Islam diterima umumnya orang Jawa yang tersosialisikan berdasarkan pada kebudayaan Jawa dengan catatan-catatan. Yaitu sepanjang menguntungkan atau bagaimana mencari enaknya," kata Mudjahirin. Tapi, boleh jadi itulah nimatnya penelikungan dalam pertemuan Islam dan Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar