Selasa, 20 April 2010

Tebaran Seks dari Gatoloco hingga Lady Chatterley’s Lover

oleh Asep Sambodja

Seks adalah persoalan yang purba. Adam dan Hawa, manusia pertama di dunia, dikeluarkan dari surga penyebab utamanya adalah persoalan seks. Buah kuldi yang dilarang Tuhan untuk dimakan Adam, kalau merujuk Alquran surat Al A’raaf (’tempat tertinggi’) ayat 19-22, tidak lain yang dimaksud "buah kuldi" adalah sesuatu yang berhubungan dengan aurat, seks. Dan Adam memakan buah kuldi itu karena bujukan setan. Sampai sekarang pun persoalan seks terus bertebaran, hingga ke karya sastra.
Dalam bukunya Khazanah Sastra Indonesia, A Teeuw menempatkan sastra sebagai jalur keempat ke kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Sastra ditempatkan Teeuw pada posisi yang relatif terhormat karena di dalamnya mengandung nilai dan di antaranya merupakan cerminan masyarakat sejamannya yang bisa dijadikan hikmah.
Dalam kaitannya dengan persoalan seks, baik dalam sastra daerah, sastra Indonesia, maupun sastra dunia, pembicaraan seputar perkelaminan itu merupakan suatu ketelanjuran. Gatoloco, Centini, Pengakuan Pariyem, Madame Bovary, dan Lady Chatterley’s Lover adalah sejumlah contoh betapa persoalan seks sudah merambah karya sastra sejak lama. Dalam buku Seks, Sastra, Kita, Goenawan Mohamad sampai pada kesimpulan bahwa persoalan karya sastra bukan pada ada tidaknya seks pada karya sastra, melainkan wajar tidaknya kehadiran seks dalam pengucapan literer.
Gatoloco sesungguhnya bukanlah karya sastra yang bermutu tinggi semacam Mahabarata dan Ramayana. Ia sering dibicarakan karena dua hal, yakni karena adanya ajaran mistik Jawa dan perkara seks yang tersusun secara vulgar. Peredarannya yang sangat terbatas di lingkungan keraton Jawa yang homogen menyebabkan kelahiran Gatoloco dan juga Darmogandul serta Centini tidak menimbulkan ketegangan di masyarakat sekitarnya, yang saat itu belum begitu melek huruf.

Ini berbeda dengan kelahiran Lady Chatterley’s Lover karya DH Lawrence, Ullyses karya James Joyce, Madame Bovary karya Gustave Flaubert, dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag yang sempat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat yang sudah melek huruf dan memperlakukan persoalan kesusilaan dengan ketat, di negara masing-masing. Karya sastra lainnya yang sering menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat pembacanya adalah karya sastra yang menyinggung persoalan agama dan politik, dan terlalu banyak contohnya, seperti Satanic Verses Salman Rushdie, Langit Makin Mendung Ki Panjikusmin, dan Bumi Manusia, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer.
A Sudewa, dalam tulisannya "Wanita Jawa: Antara Tradisi dan Transformasi" (yang dihimpun dalam Citra Wanita Jawa dan Kekuasaan Jawa karya Budi Santoso), menyebutkan Serat Gatholoco berisi perdebatan ajaran tasawuf, berisi dialog antara guru laki-laki dengan murid perempuan dengan menggunakan kata-kata yang kasar dan terkadang jorok. Sang guru bernama Gatoloco, yang berarti alat kelamin laki-laki. Sedangkan sang murid bernama Perjiwati, yang berarti alat kelamin perempuan.
Sementara dalam Bakat Alam dan Intelektualisme, Subagio Sastrowardoyo menyebutkan Gatoloco sebagai sastra Jawa yang berisi ajaran mistik Islam Jawa yang tergolong klasik. Mistik dalam karangan itu diuraikan melalui simbol seksual. Buku tersebut merupakan karya sastra yang mengandung pengalaman erotik dengan uraian plastis sampai kepada kejadian yang sekecil-kecilnya. Gatoloco, Centini, dan Darmogandul diistilahkan Subagio Sastrowardoyo sebagai ensiklopedi kebudayaan Jawa yang mengetengahkan berbagai kehidupan sosial, moral, dan agama dalam masyarakat Jawa, melukiskan adegan persetubuhan dan perlambangan perkelaminan dengan sangat nyata dan hidup.
Gatoloco secara ekstrim sekali menggambarkan proses persetubuhan. Gatoloco yang menjadi tokoh utama di dalam karya mistik itu adalah personifikasi dari asas kelelakian. Ia dirupakan sebagai laki-laki buruk wajah dan bentuknya, tubuhnya kerdil, kulitnya seperti sisik, tidak bermata, tidak berhidung, dan tidak berkuping. Gatoloco selalu ditemani oleh bujangnya yang bernama Darmogandul. Dari nama dan segala simbolik di sekitar kedua tokoh ini tersarankan kepada pembaca bahwa yang digambarkan adalah bentuk alat kelamin laki-laki.
Gatoloco dan Darmogandul mengembara beberapa lama sambil berdebat mengenai filsafat dan mistik dengan ahli-ahli agama. Mereka akhirnya bertemu dengan putri Perjiwati yang tinggal di gua Terusan. Dari perlambangan dan lukisan telah kentara pula bahwa tokoh perempuan ini adalah personifikasi dari asas perempuan. Dalam satu adegan dilukiskan bagaimana Gatoloco berhasil memasuki gua tersebut untuk menjemput Perjiwati, yang diuraikan dengan plastis dan detil, terkadang cenderung menjadi kasar di sana-sini tentang proses persetubuhan.
Sementara dalam Serat Centhini bertebaran pula adegan-adegan erotik yang menimbulkan nafsu birahi. Sunan Pakubuana V atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, yang memprakarsai lahirnya Serat Centhini, sempat kecewa pada ketiga pujangga yang menulis Serat Centhini, yakni Kyai Ngabehi Ranggasutrasna, Kyai Ngabehi Yasadipura II, dan Kyai Ngabehi Sastradipura. Alasannya sederhana, ketiga pujangga keraton itu tidak jelas mengungkap masalah senggama atau tulisan semacam Kamasutra, sebuah karya India yang menggarap persoalan seks secara serius. Sunan Pakubuana V pun kemudian mengambil alih penulisan Serat Centhini yang berjilid-jilid itu. Mulai Jilid 5-10 pun kemudian bertebaran adegan erotik karya Sunan Pakubuana V secara jelas dan tuntas. Adegan ini dapat ditemui pula dalam Suluk Tambanglaras karya Sumahatmaka.
Dalam khasanah sastra Indonesia pun, terutama dalam Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag, juga bertebaran adegan seks antara Pariyem dengan Raden Bagus Ario Atmojo dan antara Pariyem dengan pacar pertama dan teman sekampungnya, Sokidi Kliwon.
Ada 24 halaman dari 192 halaman cerita Pengakuan Pariyem yang berbicara tentang seks. Dan itu dituturkan secara blokosuto atau apa adanya. Salah satu adegan percintaan antara Pariyem dengan Raden Ario Atmojo itu seperti ini:
//"Lha, Den Bagus Ario Atmojo, betapa sering dia kumat manjanya. Wah, wah, kalau sudah begini, saya dibikin setengah mati. Lha, sudah gede kok suka merengek, kayak bocah kehilangan bonekanya. Apalagi kalau saya goda, besok saja ah, besok saja, saya sedang capek kok. Tapi saya juga pasang gaya: melepas setagen berganti kain, copot kebaya ganti yang lain.
Wuah-wuah, dia pasti terus merajuk. Tidak jarang dia pun ngamuk-ngamuk. Bilangnya, dia tresna banget sama saya. O allah Gusti nyuwun ngapura. O, saya tahu itu omongan gombal. Tapi biarpun gombal saya senang. Apabila seorang pria naik birahi, tingkah lakunya penuh emosi. Tingkah lakunya tak berbeda, sama dengan binatang piaraannya. Otaknya macet, nalarnya buntet, dan perasaannya terbakar.
Demikian pun Den Bagus Ario Atmojo. Saya dibopongnya, diambunginya. Saya sibaringkan di atas amben, tempat tidur saya bila malam, tempat ngaso saya bila siang. Dalam keriat-keriut diseling sunyi, saya digulatinya habis-habisan. Tak malam, tak siang, tak sore, waktu habis di atas bale-bale. Dalam dahaga saya reguk air murni, jagad merasuk ke dalam sanubari. Oh ampun ya ampun! Anunya gede banget lho. Saya marem meladeninya.//
Komentar Subagio Sastrowardoyo atas Pengakuan Pariyem yang dimuat di majalah Tempo menunjukkan sikap yang bisa menerima atas kehadiran buku tersebut, yang memang sempat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat pembaca pada awal kemunculannya. Dalam pandangannya, Subagio menilai Maria Magdalena Pariyem berbeda dengan Maria Magdalena di dalam Kitab Injil yang sadar akan dosanya. Maria Magdalena Pariyem dari Gunung Kidul, Yogyakarta, ini tidak mengenal dosa. Dia tidak merasa terikat kepada dogma-dogma agama dan membenarkan naluri-naluri alam. Kehidupan mengalir dengan wajar dan tidak ada penyesalan-penyesalan yang menggoda batinnya. Pariyem lebih dekat kepada kejawaannya daripada kepada agama Katoliknya, seperti yang terucap dalam pengakuannya, "Bila dia itu orang Jawa tulen, tak usah merasa perlu ditanya — perkara dosa."
Kehidupan seks Pariyem yang dibentangkan dalam buku ini tanpa disidhem dan didekam, juga sekadar mengikuti aliran alam yang tidak terhambat oleh cuaca batin yang gelap. "Saya mau mengalir saja, saya krasan ada di dalamnya." Dia tidak gusar ketika hilang keperawanannya oleh teman sekampungnya, Sokidi Kliwon. Juga kemudian setelah menjadi babu (pembantu) di Yogya, ia melayani kebutuhan bermain cinta putra majikannya dengan lega lila (ikhlas) pula. Bahkan setelah hubungan itu membuahkan anak, ia rela menerima keturunan itu, dan tidak menjadi soal baginya apakah ia akan dinikahi atau tidak.
Dalam bukunya Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan: Seberkas Catatan Sastra, Subagio Sastrowardoyo yang menyoroti moralitas dalam kesusastraan mengatakan, moralitas dalam sastra dinilai dari dasar pertimbangan seberapa jauhnya kandungan karya sastra memenuhi ataupun melanggar tanggapan masyarakat pada umumnya mengenai kepatutan hidup yang disebut kesusilaan.
Dalam sejarah kesusastraan dunia, beberapa karangan yang kemudian terkenal sebagai karya sastra yang besar artinya bagi perkembangan sastra pada suatu waktu pernah mengalami pelarangan di suatu negara. Ullyses karya James Joyce pernah dilarang beredar di Amerika Serikat, Lady Chatterley’s Lover karya DH Lawrence pun pernah dilarang beredar di Inggris dengan alasan bahwa roman-roman itu terlalu terbuka mengetengahkan hubungan seks. Terutama pada bagian yang menguraikan pertemuan-pertemuan Lady Chatterley dengan bujang (pembantu) pemelihara binatang piaraannya di sebuah gubuk, karena adanya dorongan perasaan Lady Chatterley yang tidak puas hidup dengan suaminya. Hanya saja, setelah Amerika dan Inggris dikuasai kelas menengah yang tidak konservatif, maka kedua karya tersebut dapat beredar kembali.
A Teeuw dalam Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, yang menggunakan pendekatan teori resepsi, melihat adanya pergeseran norma sosio-budaya dalam pelarangan buku Lady Chatterley’s Lover. Dalam sejarah sastra Inggris, buku DH Lawrence Lady Chatterley’s Lover yang bentuk aslinya dianggap melanggar tata susila, sehingga mau tak mau buku itu harus diubah, dibersihkan, supaya penulisnya dapat luput dari hukuman penjara. Jauh kemudian bentuk asli baru memungkinkan diterbitkan tanpa bahaya. Jelaslah kasus semacam itu sangat menarik dari segi resepsi sastra dalam masyarakat: karya yang pada masa tertentu dianggap melanggar tata susila dan berbahaya, beberapa puluh tahun kemudian ternyata dapat diterima, setidaknya tidak dapat diadili lagi, karena perubahan norma susila yang menjadi lebih longgar.
Persoalan seks akan menjadi sesuatu yang lazim dalam sejarah manusia sejak awalnya hingga akhirnya. Bahkan Tuhan pun tidak pernah mengajarkan hal itu pada Adam sebelumnya, selain mengajarinya nama-nama pohon dan binatang. Namun tidak perlu ada mata pelajaran atau kuliah khusus untuk mengerti dan memahami soal seks, yang bisa membawa persoalan yang berbeda-beda dalam masyarakat heterogen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar